Dari situ, bantu lagi untuk menjabarkan dengan detail misi hidup. Dalam pembentukan sebuah program, langkah semacam ini dikenal dengan logical frame. Misi ini menjadi penting karena, kita anggap saja, menjadi tapakan mereka sejak SMA sampai mati. Merumuskan misi ini tentu tidak bakal sulit karena mereka sudah tahu potensi masing-masing. Tinggal mengklopkan saja dengan hal-hal yang mau dilakukan dan disesuaikan dengan potensi diri.
Jika ada siswa yang ingin menjadi pengusaha dengan kesukaan mereka terhadap bisnis, kita bisa membantu dengan memberikan panduan soal kampus atau sekolah setelah SMA. Dari situ kita bisa mengarahkan, akan menghadapi mata kuliah apa saja mereka di noktah itu. Seperti apa saja ujian dan tugas-tugas sehingga mereka punya dasar yang kuat menjadi pengusaha.
Kemudian, dibantu juga untuk mempraktikkan seperti apa menjadi pengusaha yang sukses. Pengusaha sukses mana saja yang harus mereka jadikan inspirasi dan patut ditiru. Kesulitan seperti apakah yang akan mereka dapatkan ketika menempuh jalan menjadi pengusaha, dan sebagainya.
Andaikata ada yang punya talenta menulis yang baik, kita bisa memberikan pemahaman kampus-kampus atau sekolah, atau pendidikan nonformal lain untuk mendukung mereka menjadi penulis yang baik. Buku-buku apa saja yang mereka harus lahap. Penulis mana saja yang mesti mereka temui untuk berguru. Berapa naskah yang harus mereka selesaikan dalam sepekan untuk menjadi penulis berkaliber internasional.
Pun demikian dengan ragam misi hidup lainnya. Misalnya ada yang hendak menjadi birokrat, politikus, guru, dosen, profesional bidang komputer, dan sebagainya.
Gerakan Semesta
Penulis sepakat dengan tawaran frasa Kompasiana yakni Konsep Pendidikan Gerakan Semesta. Justru, gagasan ini lahir karena memang ingin menjadikan setiap item yang penulis jelaskan sebagai bagian integral dari pendidikan kita.
Dan ini realistis untuk dilaksanakan. Instrumen di sekolah memungkinkan kita mengejawantahkan paparan ide di atas. Guru bimbingan konseling misalnya, akan mendapat tugas mahamulia ketimbang hanya dijadikan "polisi sekolah". Pekerjaan semacam ini justru adalah ihwal penting yang bisa dilakukan guru bimbingan konseling. Guru bimbingan konseling bukan lagi untuk memarahi siswa yang rambutnya gondrong, jarang masuk kelas, nakal, suka berkelahi, dan sebagainya.
Sebab, dengan mengimplementasikan paparan yang penulis ketengahkan, tugas guru bimbingan konseling akan semakin "mudah". Dalam artian tidak lagi dipusingkan dengan perilaku-perilaku kontraproduktif siswa, tetapi dipusingkan dengan mengatur masa depan anak-anak asuh mereka.
Andaipun ada masalah, pasti berkenaan dengan talenta dan visi-misi hidup mereka. Misalnya, kemauan mereka untuk sekolah setinggi mungkin terkendala dengan bujet yang dimiliki orangtua. Atau, ada beberapa pilihan untuk dijadikan sebagai profesi pada masa mendatang dan membutuhkan advis, mana yang paling optimal untuk dipilih.
Jika ini menjadi sebuah kesadaran bersama, institusi pendidikan kita benar-benar mencerdaskan. Siswa akan menjadi senang bersekolah karena di sanalah mereka bisa optimal dalam berkegiatan, belajar, dan menapaki masa depan, setahap demi setahap, selangkah demi selangkah. Bukankah yang namanya semesta terdiri dari beragam item yang saling berkelindan?