Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Darojat-Susi Bikin “Pesantren” Kikis Stigma Kampung dari Maksiat ke Sholih-sholihat

30 Januari 2016   08:41 Diperbarui: 30 Januari 2016   19:39 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kami terkesan sama ibu itu. Padahal sudah kami omongkan, kalau lagi enggak ada, enggak ngasih juga enggak apa-apa. Tapi dia tetap ngotot. Kata dia, kalau anaknya rajin salat dan bisa ngaji kan juga membantu dia di akhirat kelak. Dia pengen banget anaknya bisa hafal Alquran,” lanjut Susi.

Lantas, dari mana Susi dan Darojat mencukupi operasional Al Faatih ini. Kerja sama suami-istri ini patut diacungi jempol.

Susi bercerita, awalnya Darojat ingin bekerja di lembaga lain, entah sebagai pengajar atau karyawan. Namun, tekad untuk mengabdi di masyarakat tetap ada. Masalahnya, kalau keduanya juga bekerja, siapa yang akan total mengurus lembaga ini.

Susi mahfum, sebagai kepala keluarga, suaminya tentu ingin memberikan nafkah yang baik dan mencukupi untuk keluarga. Akan tetapi, perkembangan Al Faatih juga mesti diurus dengan baik karena pekerjaan ini adalah ladang amal saleh yang luar biasa. Susi dan Darojat pun bersepakat.

“Aku tetap kerja di Lampung Post, toh enggak makan waktu lama juga di luar. Sedangkan suami total mengurus Al Faatih. Dari mengajar, mengurus administrasi, dan sebagainya. Alhamdulilah punya suami kayak dia,” cerita Susi.

Darojat menambahkan, jika mereka berdua bekerja di luar, tentu mesti memikirkan seorang tenaga yang khusus mengurusi “pondok pesantren” ini. Dan itu jelas merupakan pengeluaran rutin. Dengan Darojat fokus mengurus Al Faatih, pekerjaan administrasi dan segala pernak-perniknya bisa dikerjakan sendiri.

“Aku maklum sih kalau suami awalnya agak gimana gitu. Mungkin enggak enak karena enggak ada penghasilan. Tapi makin ke sini aku makin yakin, pilihan kami itu benar. Bayangkan aja, Bang. Semua administrasi ini, Abinya yang urus. Mulai bikin buku kemajuan siswa, bikin modul belajar tajwidnya, sampai urusan piagam dan sebagainya, dia yang urus. Kalau malam kami ngobrol mau bikin apa gitu, eh paginya udah jadi. Dia rupanya semalaman begadangan, nulis itu semua. Alhamdulillah banget,” lanjut Susi.

Untuk kelengkapan sebuah lembaga pendidikan Islam, Al Faatih cukup baik. Saya melihat panduan dan modul yang dibikin Darojat. Semua dibikin sendiri. Dicetak sendiri. Alat mengajar pun semua diusahakan sendiri. Ada juga yang dibantu orang lain seperti meja belajar kecil. Tetabuhan berupa rebana juga ada.

Susi bersyukur, suaminya tipikal pendidik sekaligus pekerja keras. Jika ada yang sedang dikerjakan, Darojat bisa semalaman begadangan di depan komputer. Paginya, karyanya sudah ada. “Bayangin kalau kami mesti gaji orang khusus untuk mengerjakan yang kayak gini, Bang,” kata Susi.

Kikis Stigma Maksiat

Kampung di mana Susi dan Darojat tinggal, lebih dikenal dengan Umbul Mantang. Entahlah, apakah dahulunya di sini banyak tanaman mantang atau ubi jalar, saya tidak bertanya lebih detail. Yang pasti, beberapa kawan pernah mengatakan, kampung ini cukup dikenal sebagai penghasil tuak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun