“Di Al Amien itu, konsep pesantrennya menyatu dengan masyarakat. Tidak terpisah. Jadi, kontribusi para santri kelihatan betul di masyarakat. Dan itu memang sudah konsepnya begitu. Kami akhirnya terbiasa dengan suasana perdesaan. Dan masyarakat pun akrab dengan kegiatan pesantren. Kami ingin yang seperti itu,” tutur Darojat.
Kata Darojat, selama nyantri, ia beruntung bisa menjadi sekretaris kepala pondok. “Saya terbiasa begadang, mengerjakan surat menyurat, dan sebagainya. Termasuk soal menulis,” ujar Darojat.
Darojat memang piawai menulis. Ia terbiasa menulis opini di surat kabar. Esainya juga bagus.
[caption caption="Modul Al Faatih yang disusun sendiri oleh Darojat Gustian dan istrinya, Susilowati. "]
Susi menambahkan, ia dan suami memang ingin memberikan kontribusi buat kampung di mana mereka tinggal.
“Dari cerita suami itulah, bahwa pesantren dan komunitas masyarakat menyatu, kami makin yakin membuat Al Faatih ini.”
Semua Gratis
Saya mengamati ruang baru yang dibikin Susi dan Darojat. Setahun yang lalu saya ke sini, ruangan untuk mengaji masih menggunakan ruang depan rumah mereka. Waktu itu, memang padat sekali. Puluhan anak tumplek di sana. Anak-anak diatur sesuai dengan klelompok umurnya.
Setahun tak ke sini, perubahan Al Faatih membuat saya berdecak kagum. Halaman depan yang dahulu masih lapang, kini sudah berubah menjadi tempat belajar. Dua tingkat pula. Sayangnya pas saya ke sana, anak-anak baru saja kelar beres-beres.
Genangan air masih terlihat di lantai semen. Dinding juga belum dicat. Bagian lantai atas terbuat dari kayu. Masih ada satu ruang di atas yang belum rampung. Saya geleng-geleng kepala lantaran tahu keluarga ini hanya mengandalkan Susi yang bekerja sebagai karyawan di Lampung Post.
“Duit ngebangun dari mana, Mbak,” tanya saya.