Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

"Gara-gara Pak Amien Rais, Tulisan Saya Tidak Dimuat"

8 Januari 2012   03:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:11 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Keempat, lamban mengirim.

Yang namanya opini, lebih cepat dikirim, lebih baik. Lelet sehari saja, bisa fatal. Pengalaman ini contohnya. Waktu Sampit bergejolak tahun 2001 lalu, siangnya saya langsung menulis. Cukup panjang saya menulis. Semua bahan yang ada saya olah dengan baik. Harapannya agar artikel itu bisa naik cetak. Begitu kelar, sore saya kirim. Karena waktu itu tak akrab dengan surat elektronik, saya memakai disket. Kantor redaksi Lampung Post yang saya tuju. Rampung mengirim, tinggal menunggu saja. Soal dimuat tidaknya, besok saja korannya ditengok.

Syukurnya artikel itu terbit. Panjang, satu halaman penuh dengan satu karikatur. Saat membaca koran di kampus, beberapa sejawat aktivis pers mahasiswa "marah-marah". "Gua udah nyiapin tulisan, Yan, panjang juga. Tapi punya lu udah dimuat duluan soal Sampit." Itu kata seorang teman. Yang lain juga menimpali. Keunggulan saya waktu itu cuma satu: saya cepat mengirim. Mereka tidak. Soal kualitas, barangkali punya mereka lebih oke. Tapi karena aktualitas yang diutamakan, tulisan saya yang nampang. Alhamdulillah, ada tabungan bayar SPP.

Kelima, tak sesuai selera redaktur.

Selera redaktur acap menjadi "keputusan redaksional" halaman opini surat kabar. Meski secara umum aktualitas diutamakan, secara pribadi redaktur menyukai konten tertentu. Ini bisa terjadi karena punya latar akademis tertentu, latar organisasi kemahasiswaan, dan integritas. Maksud saya begini, kalau redaktur opininya bekas aktivis kampus dan piawai menulis, ia menyukai tulisan yang kontennya kritik kepada pemerintah. Pokoknya, ada konten kritik yang "kereas" dan cerdas, peluang dimuatnya lebih besar. Atau kalau redaktur opininya mantan aktivis Islam di kampus, juga menyukai tema yang "berbau" keislaman. Bisa jadi juga latar redaktur yang sarjana politik, lebih gandrung dengan opini yang demikian. Begitu pula dengan redaktur opini yang berbasis komunikasi, lebih menyukai cara penyampaian tulisan yang mengalir dengan gaya bercerita. Atau dalam konteks tertentu, redakturnya tak suka dengan kultus tertentu.

Lagi-lagi saya punya pengalaman menulis di Lampung Post. Tahun 2001, Kompas membuat edisi khusus Satu Abad Bung Karno. Edisi Juni kalau tidak salah. Saya membeli dan membacanya sampai tuntas. Banyak ide yang menggumpal di kepala. Mau saya tumpahkan dalam bentuk tulisan. Cuma, saya berpikir, pasti akan banyak penulis yang membuat soal ini untuk Lampung Post.

Supaya mengetahui konstelasi di redaksi, saya mencoba menelepon redakturnya. Tak seberapa akrab sebetulnya, cuma tahu saja yang mbak yang bersangkutan adalah redaktur opini. Saya menelepon ke kantor. Saya bicarakan apakah tulisan soal satu abad Bung Karno sudah ada yang menulis. Hesma Eryani, nama redaktur itu, menjawab, "Banyak, Adian, yang menulisnya. Cuma aku enggak ada yang kuat. Semuanya memuji. Tak ada kritik sama sekali. Malas saya memuatnya." Itu kata dia via telepon. Saya bilang, "Enggak, Mbak, tulisan yang mau saya bikin sarat kritik." Dia menjawab, "Ya sudah, bikinlah yang bagus. Sore ini sebelum jam tiga kutunggu di kantor." Klik. Gagang telepon ditutup.

Saya bergegas ke rental komputer. Tanpa kerangka karangan tertulis, saya menulis secepat mungkin. Waktu tersisa cuma dua jam kurang sedikit. Karena motivasi yang menggebu, saya menulisnya dengan cepat. Setelah rampung, edit sedikit. Taruh di disket. Saya pun menuju redaksi. Sampai di sana sudah ditunggu dengan sang redaktur. Ia pun membaca tulisan itu sambil manggut-manggut. "Judulnya kubuat jadi ini saja ya," kata dia seraya mengetikkan judul untuk tulisan saya itu: "Menempatkan Soekarno". Saya pun pulang. Soal dimuat tidaknya ya harus menunggu sampai besok. Besok pagi-pagi sudah di kios koran. Alhamdulillah, tulisan itu masuk lagi.
*
Ada kalanya kebijakan redaksi menegaskan hal tertentu soal opini. Misalnya, koran lokal lebih mementingkan isu lokal ketimbang nasional. Artinya isu pilkada daerah Lampung jelas lebih seksi ketimbang politik nasional. Kasus tanah di Lampung lebih ditunggu redaktur ketimbang isu lain. Ini juga mesti dipahami penulis agar menyesuaikan konten tulisan dengan panduan media massa.

Cerita "menaklukkan" redaktur tak melulu saya alami. Soal penolakan yang tersebut dalam poin-poin di atas juga sering dialami. Sering menulis soal perempuan pas Hari Kartini tapi tak pernah dimuat. Saat ketemu redakturnya, dia bilang, "Adian, naskah kau bagus. Cuma, karena Hari Kartini, aku prioritaskan buat perempuan penulis." Saya hanya mengangguk. Alasan yang logis. Jadi, terbukti kan, naskah yang bagus tak selalu jadi pilihan.

Saya punya stok naskah terkait tema lingkungan. Cukup banyak. Tapi, kalau cuma mengandalkan Lampung Post sebagai media yang dituju, jelas tidak mungkin. Tak mungkin setiap pekan ada tulisan bertema lingkungan dimuat. Apalagi kalau cantelan peristiwanya tidak terlalu kuat. Saya kemudian mengirimkan itu ke beberapa jurnal lingkungan yang dikelola beberapa sohib. Kalau tak begitu, sayang kan tulisan itu tak ada yang baca. Ini juga bukti, tulisan tak dimuat bukan karena jelek. Kebijakan redaksi yang menentukan.

Ini hampir sama dan sebangun dengan Kompasiana. Katakanlah itu pilihan Administrator menjadikan satu artikel menjadi headline (HL). Tulisan yang tak HL, bukan berarti buruk. Bisa jadi, tulisan bagus di waktu yang tak tepat. Kita menulis bagus, cuma aktualitasnya kurang. Ada yang menulis biasa saja, tapi karena aktual, jadi HL.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun