Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menulis Opini: Mereproduksi Ide

30 Desember 2011   13:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:34 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Menulis opini itu pada dasarnya membuat ide baru dari bahan bacaan yang pernah kita santap. Dari bahan bacaan itulah kita mendapatkan informasi baru yang kemudian kita tulis dalam bahasa sendiri. Ini yang disebut mereproduksi ide. Tak mungkin ada penulis hebat kalau ia bukan rajin membaca dan menelaah. Suatu keajaiban kalau ada penulis yang mengaku piawai menulis tanpa membaca terlebih dahulu. Nah, karena menulis opini itu mereproduksi ide, ada beberapa hal yang bisa dilakoni.

Pertama, kuasai topik
Menulis akan terasa menyenangkan jika topiknya kita kuasai dengan baik. Kita mengerti betul dengan tema itu. Kita mudah merangkai kata, mereproduksi ide dalam topik itu. Kalaupun ada hal yang sulit, itu lebih pada hal teknis. Tetapi secara umum kita paham dengan bahan tulisan itu.
Artikel yang kita tulis akan bernas, punya isi, punya karakter jika kita memang menguasai dengan baik. Pembaca pun bisa merasakan energi positif dari tulisan yang dibuat si empunya ide. Barangkali kita sebagai pembaca punya pengalaman membaca artikel yang menarik. Saat itu kita seolah-olah--dalam bahasa Kompasianer Ajinatha--orgasme. Nikmat betul membacanya. Kalau disuruh mengulang gagasan dalam artikel itu, kita bisa. Itu contoh artikel yang dibikin penulis yang menguasai topik.

Kita pun demikian. Sulit menulis yang oke kalau secara prinsip kita tak paham dengan isinya. Mau ke mana arah tulisan, apa saja yang mau ditulis, poin apa saja yang akan ditawarkan. Sama saja seperti saya menulis artikel ini. Karena suka, cukup menguasai, ada pengalaman di situ, enak menulisnya. Meski kesulitan ada, toh tak terlalu mengganggu.

Jangan pernah memaksakan diri menulis sesuatu yang topiknya tak kita kuasai. Bukannya tak mau belajar, tetapi akan lebih baik diendapkan dulu sebelum menulis. Apakah topik ini kita kuasai atau tidak. Tak melulu menulis sesuai dengan ragam pekerjaan, pengalaman, atau kekuatan utama diri kita. Kita toh bisa menulis hasil penceritaan orang lain. Yang penting, topiknya kita kuasai.

Kedua, perbanyak membaca
Mereproduksi gagasan akan semakin oke jika bahan bakunya melimpah dan berkualitas. Mencari topik yang pas untuk ditulis akan terbantu dengan banyaknya bacaan yang kita konsumsi. Semakin banyak membaca, semakin kaya data. Semakin sering membaca, semakin tajam perspektif kita. Semakin melimpah bacaan, semakin mudah menarik kesimpulan.

Tegasnya, bacalah banyak literatur saat memulai mengumpulkan ide. Misalnya, kita hendak menulis soal kematian Vaclav Havel. Kebetulan kita memang menyukai tema-tema luar negeri beserta tokoh-tokohnya. Tentu membaca banyak artikel tentang Havel akan membantu kita. Semakin banyak membaca, pengetahuan tentang topik yang hendak ditulis akan bertambah.
Ini urgensinya membaca.

Stephen D. Krashen menulis, "hasil riset menunjukkan bahwa kita belajar menulis lewat membaca". Dengan redaksi lain, reproduksi ide akan semakin menarik dengan bahan bacaan yang melimpah. Ruah.

Ketiga, perbanyak ide sendiri
Usaha mereproduksi jelas bukan sekadar mengulang gagasan orang. Basi namanya. Tulisan yang bernas ialah yang punya perspektif yang baru, yang segar, yang mewacanakan. Tanpa itu, tulisan kita bakal sama dengan bahan bacaan awal. Sebab itu, usahakan memperbanyak gagasan baru terhadap objek yang ditulis. Kalau orang sudah banyak menawarkan solusi soal pecah kongsi kepala-wakil kepala daerah, kita mesti ide baru. Carilah apa yang belum pernah ditawarkan penulis lain. Ini membuat kita punya keunggulan komparatif.

Kalau sekadar mengulang, tulisan kita tak memberikan sesuatu yang baru. Maka, olahlah sebanyak mungkin sumber kemudian merumuskan formula baru sebagai gagasan kita. Kemudian, runtutkan ide kita itu baris demi baris, alinea per alinea.

Ide baru barangkali tak banyak disokong pembaca lantaran mungkin tak masuk akal. Akan tetapi, dalam ranah opini, semua pendapat boleh disorongkan. Soal ide bersobok dengan realitas yang "mustahil", itu soal lain. Dalam ranah wacana, ide segila apa pun bisa kita lontarkan. Sebab, terkadang kalau mau menyesuaikan dengan regulasi, tak ketemu titik persamaannya. Mana ketemu ide memancung koruptor dengan regulasi di republik ini atau ide keharusan kepala daerah-wakil menuntaskan masa jabatan dan tidak boleh mundur untuk maju di pemilihan gubernur.

Keempat, perbanyak diskusi
Mereproduksi ide bisa diperkaya dengan diskusi. Diskusi apa saja. Apakah yang sengaja digelar panitia tertentu atau kita berdiskusi dengan satu atau dua orang. Intinya ada tukar pendapat. Berbagi begitu. Umumnya ini saya lakukan jika ada poin yang saya kurang mengerti namun kisi-kisinya saya bisa pahami sedikit. Kalau kita masih di sivitas akademika kampus, proses menulis dengan bahan diskusi ini, mudah dilakukan. Dulu ada teman yang kalau diskusi cenderung pendiam. Ia mendengar saja. Sering begitu. Tapi besoknya di koran lokal, tulisan dia dimuat. Sering sekali. Sampai-sampai teman-temannya "protes". "Lu ini, kalau diskusi aja, diem. Eh, tahu-tahu nulis di koran. Minta dong honornya". Hahaha, ada-ada saja.

Berdiskusi akan melatih sikap kita menanggapi ide orang lain. Apakah kita sepakat atau tidak dengan ide itu. Itu juga melatih kita berbeda pendapat dan menyanggah argumentasi secara bijak. Dengan diskusi bisa juga memperkuat hipotesis kita sebagai dasar menulis. Dengan tukar pendapat juga kita bisa menguji apakah gagasan kita oke atau tidak.

Diskusi memang banyak gunanya. Yang terpenting dalam diskusi ialah menghargai pendapat orang lain. Apa pun argumentasi rekan diskusi, kita terima dengan hati lapang. Sebab, itulah yang bakal memperkuat dan memperkaya khazanah tulisan kita.

Kelima, jangan lupa KISS!
Saban menulis soal opini atau artikel, ini yang kerap saya ulang. Meski sulit, saya mengupayakan kalimat yang singkat. Bisa delapan kata dalam satu kalimat, bagus. Maksimal empat belas kata, juga tak apa. Sebab, jika lebih dari itu, bisa memusingkan. Semakin memusingkan, malas meneruskan bacaan. Sebab itu, mari kita menulis singkat, tepatnya pendek dan sederhana.

Peter Henshall dan David Ingram dalam buku Menjadi Jurnalis memberi konsep KISS. Maknanya, keep it short and simple. Bikin kalimat pendek dan sederhana. Gagasan yang bagus jika dinarasikan terlalu panjang bisa membosankan. Sebaliknya, gagasan yang biasa, tapi ditulis ringkas, mudah dipahami. Untuk itu, menulis pendek ini tantangan buat semua penulis. Menulis pendek juga membantu kita merunutkan ide yang hendak digulirkan. Satu per satu ditulis. Kalimat per kalimat ditatah. Alinea per alinea disusun. Pendek-pendek saja. Jangan panjang-panjang.

Hernowo dalam Quantum Writing menulis bahwa ada pengukuran efektif yang dikembangkan Robert Gunning. Ia berasal dari Robert Gunning Clear Writing Institute di Santa Barbara, Kalifornia. Ini alat pengukur tingkat bacaan suatu tulisan. Nama metodenya Fog Index.

Menurut Fog Index, kita akan aman menulis jika satu kalimat ada 10-14 kata. Hati-hati jika lebih dari itu. Kecuali untuk penulisan materi yang sangat teknis. Penelitian menunjukkan 50 persen pembaca tersesat jika kalimat mengandung lebih dari 14 kata. Bahkan, 80 persen pembaca akan bingung jika dalam satu kalimat lebih dari 20 kata. Maka itu, yuk kita menulis pendek.

Keenam, sesekali beri kutipan
Supaya reproduksi ide kita kuat, sesekali diselingi kutipan. Bisa kutipan langsung, ujaran, misalnya. Atau bisa juga kutipan dari buku atau artikel. Ini sebagai selingan supaya ada penyegaran. Di poin di atas saya juga mengutip soal Fog Index tadi sebab buat saya itu baru. Paling tidak, itu menarik untuk dikutip.

Memberikan kutipan itu serasa efek kedut, sesekali saja. Supaya terkejut, supaya ada hentakan. Tapi, kembali ke gagasan awal, perbanyak ide segar dari kita sendiri. Kutipan bisa mendukung gagasan kita, bisa juga sebaliknya. Asal kontennya masih konteks, itu bagus dipakai.

Mengutip memang tak ada persentase pasti. Bisa hanya 20 persen atau kurang dari itu. Yang pasti itu sekadar penyegaran agar pembaca menemukan perspektif lain. Yang utama ya tetap gagasan kita. Jangan malu mengutip, apalagi kalau narasinya memang sudah dikenal. Misalnya Lord Acton, power tends to corrupt. Itu sudah dikenal. Aneh juga kalau kita menulisnya tanpa menjelaskan itu tesis siapa. Ya kan?

Ketujuh, berikan solusi konstruktif
Ide segar berbanding lurus dengan solusi dalam tulisan. Beberapa penulis memang beranggapan kalau opini tak mesti berisi solusi. Asal sudah dipaparkan, itu sudah cukup. Tak perlu memaksakan ada solusi. Saya kira ini benar kalau kita melihat konteks tulisannya. Kalau tulisan kita mayoritas naskahnya pemaparan, ada kecenderungan tak memerlukan solusi. Akan tetapi, kalau konten yang kita tulis soal problem, biasanya ada solusi. Mau tak mau, penulis "dipaksa" memberikan solusi, apa bagusnya, apa sarannya, dan sebagainya.

Sebetulnya, menulis solusi di opini itu bagus untuk belajar. Penulisnya dipaksa untuk mencurahkan gagasan terbaiknya dalam tulisan. Dengan memberikan solusi, ada hal baru yang bisa dibaca khalayak. Adanya solusi, bisa menjadi pembanding untuk pengambil kebijakan. Boleh jadi, kesimpulan yang kita bikin menarik minat pemangku kepentingan. Syukur-syukur penulisnya diundang menyampaikan secara resmi gagasannya dalam acara resmi. Buat saya, menulis opini itu mereproduksi ide, bagaimana pendapat Anda? Terima kasih. Selamat memasuki tahun baru 2012. Semoga kita semakin bijak dan produktif menulis. Wallahualam bissawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun