Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menulis Opini: Mereproduksi Ide

30 Desember 2011   13:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:34 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Berdiskusi akan melatih sikap kita menanggapi ide orang lain. Apakah kita sepakat atau tidak dengan ide itu. Itu juga melatih kita berbeda pendapat dan menyanggah argumentasi secara bijak. Dengan diskusi bisa juga memperkuat hipotesis kita sebagai dasar menulis. Dengan tukar pendapat juga kita bisa menguji apakah gagasan kita oke atau tidak.

Diskusi memang banyak gunanya. Yang terpenting dalam diskusi ialah menghargai pendapat orang lain. Apa pun argumentasi rekan diskusi, kita terima dengan hati lapang. Sebab, itulah yang bakal memperkuat dan memperkaya khazanah tulisan kita.

Kelima, jangan lupa KISS!
Saban menulis soal opini atau artikel, ini yang kerap saya ulang. Meski sulit, saya mengupayakan kalimat yang singkat. Bisa delapan kata dalam satu kalimat, bagus. Maksimal empat belas kata, juga tak apa. Sebab, jika lebih dari itu, bisa memusingkan. Semakin memusingkan, malas meneruskan bacaan. Sebab itu, mari kita menulis singkat, tepatnya pendek dan sederhana.

Peter Henshall dan David Ingram dalam buku Menjadi Jurnalis memberi konsep KISS. Maknanya, keep it short and simple. Bikin kalimat pendek dan sederhana. Gagasan yang bagus jika dinarasikan terlalu panjang bisa membosankan. Sebaliknya, gagasan yang biasa, tapi ditulis ringkas, mudah dipahami. Untuk itu, menulis pendek ini tantangan buat semua penulis. Menulis pendek juga membantu kita merunutkan ide yang hendak digulirkan. Satu per satu ditulis. Kalimat per kalimat ditatah. Alinea per alinea disusun. Pendek-pendek saja. Jangan panjang-panjang.

Hernowo dalam Quantum Writing menulis bahwa ada pengukuran efektif yang dikembangkan Robert Gunning. Ia berasal dari Robert Gunning Clear Writing Institute di Santa Barbara, Kalifornia. Ini alat pengukur tingkat bacaan suatu tulisan. Nama metodenya Fog Index.

Menurut Fog Index, kita akan aman menulis jika satu kalimat ada 10-14 kata. Hati-hati jika lebih dari itu. Kecuali untuk penulisan materi yang sangat teknis. Penelitian menunjukkan 50 persen pembaca tersesat jika kalimat mengandung lebih dari 14 kata. Bahkan, 80 persen pembaca akan bingung jika dalam satu kalimat lebih dari 20 kata. Maka itu, yuk kita menulis pendek.

Keenam, sesekali beri kutipan
Supaya reproduksi ide kita kuat, sesekali diselingi kutipan. Bisa kutipan langsung, ujaran, misalnya. Atau bisa juga kutipan dari buku atau artikel. Ini sebagai selingan supaya ada penyegaran. Di poin di atas saya juga mengutip soal Fog Index tadi sebab buat saya itu baru. Paling tidak, itu menarik untuk dikutip.

Memberikan kutipan itu serasa efek kedut, sesekali saja. Supaya terkejut, supaya ada hentakan. Tapi, kembali ke gagasan awal, perbanyak ide segar dari kita sendiri. Kutipan bisa mendukung gagasan kita, bisa juga sebaliknya. Asal kontennya masih konteks, itu bagus dipakai.

Mengutip memang tak ada persentase pasti. Bisa hanya 20 persen atau kurang dari itu. Yang pasti itu sekadar penyegaran agar pembaca menemukan perspektif lain. Yang utama ya tetap gagasan kita. Jangan malu mengutip, apalagi kalau narasinya memang sudah dikenal. Misalnya Lord Acton, power tends to corrupt. Itu sudah dikenal. Aneh juga kalau kita menulisnya tanpa menjelaskan itu tesis siapa. Ya kan?

Ketujuh, berikan solusi konstruktif
Ide segar berbanding lurus dengan solusi dalam tulisan. Beberapa penulis memang beranggapan kalau opini tak mesti berisi solusi. Asal sudah dipaparkan, itu sudah cukup. Tak perlu memaksakan ada solusi. Saya kira ini benar kalau kita melihat konteks tulisannya. Kalau tulisan kita mayoritas naskahnya pemaparan, ada kecenderungan tak memerlukan solusi. Akan tetapi, kalau konten yang kita tulis soal problem, biasanya ada solusi. Mau tak mau, penulis "dipaksa" memberikan solusi, apa bagusnya, apa sarannya, dan sebagainya.

Sebetulnya, menulis solusi di opini itu bagus untuk belajar. Penulisnya dipaksa untuk mencurahkan gagasan terbaiknya dalam tulisan. Dengan memberikan solusi, ada hal baru yang bisa dibaca khalayak. Adanya solusi, bisa menjadi pembanding untuk pengambil kebijakan. Boleh jadi, kesimpulan yang kita bikin menarik minat pemangku kepentingan. Syukur-syukur penulisnya diundang menyampaikan secara resmi gagasannya dalam acara resmi. Buat saya, menulis opini itu mereproduksi ide, bagaimana pendapat Anda? Terima kasih. Selamat memasuki tahun baru 2012. Semoga kita semakin bijak dan produktif menulis. Wallahualam bissawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun