Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STT Pelita Dunia

Bonum est Faciendum et Prosequendum et Malum Vitandum

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penulis "Benalu"

19 Juli 2024   20:44 Diperbarui: 19 Juli 2024   21:00 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini sedang viral didiskusikan dan diberitakan oleh media cetak tentang polemik jabatan Guru Besar. Topik ini mengemuka ke publik karena terkuaknya segelintir oknum yang demi mengejar jabatan fungsional sebagai Guru Besar maka menghalalkan segala macam cara untuk mencapainya. Termasuk mempublikasi artikel hasil penelitian di jurnal-jurnal internasional yang tergolong sebagai jurnal predator. 

Lalu, mengapa mereka memilih jurnal itu? Sejauh pengamatan dan informasi dari diskusi-diskusi teman-teman dosen, biasanya jurnal predator menawarkan berbagai kemudahan seperti: bisa publis kapan saja, reviunya longgar bahkan bisa kompromi hingga biaya publikasi yang relatif murah. Itulah sebabnya banyak dosen yang mengambil jalan pintas demi tercapainya hasrat untuk menggapai jabatan fungsional sebagai Guru Besar.

Jurnal-jurnal predator memang selalu mengobral kemudahan-kemudahan kepada para akademisi tentang mudahnya mempublikasi artikel hasil penelitian. Sehingga akademisi yang memang memiliki mental yang rapuh pasti langsung menerima tawaran itu karena berpikir bisa menempuh jalan pintas dan mudah demi memperoleh publikasi internasional bereputasi. 

Padahal dengan mempublikasikan artikel di jurnal-jurnal predator maka akan menimbulkan persoalan serius di masa depan terutama saat akan mengurus jabatan Guru Besar. Karena apabila terindikasi mempublikasikan artikel di jurnal predator maka pasti di-black list. Inilah yang sebaiknya dipikirkan baik-baik oleh setiap dosen supaya berhati-hati dalam mempublikasikan artikelnya.

Uraian di atas hanyalah salah satu problem publikasi artikel ilmiah di lingkungan dosen dan sekaligus memperlihatkan betapa carut-marutnya dunia publikasi para dosen. Sebenarnya tulisan opini ini ingin mengulas problem serius yang lain yang juga terkait dengan publikasi jurnal para dosen. 

Karena problem ini justru sangat serius sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari setiap pemangku kebijakan. Problem itu adalah tentang penulis "benalu".

Apa itu penulis benalu? KBBI mendefinisikan ungkapan "benalu" sebagai tumbuhan yang menumpang pada tanaman lain dan mengisap makanan dari tanaman yang ditumpanginya atau pasilan. Kemudian pengertian lanjutan dari KBBI adalah orang yang merugikan atau menguasai orang atau tempatnya menumpang. Demikianlah kita dapat memahami arti dan makna dari ungkapan benalu.

Ketika ungkapan "benalu" ini diasosiasikan kepada penulis artikel jurnal, maka biasanya penulis benalu tidak berkeringat sama sekali mulai dari penelitian hingga penulisan laporan penelitian dalam bentuk artikel. Biasanya penulis benalu akan muncul di detik-detik terakhir sebelum artikel tersebut disubmit ke sebuah jurnal. 

Penulis benalu juga seringkali menggunakan otoritas jabatannya, apakah dia sebagai dosen ataukah sebagai senior bagi setiap korban mereka. 

Itulah sebabnya, penulis benalu paling sering berposisi sebagai penulis kedua, ketiga, keempat, kelima hingga yang kesekian, yang penting nama mereka tercatut pada sebuah artikel yang mana mereka sama sekali tidak berkeringat dalam penelitian dan penulisan artikelnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun