Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STT Pelita Dunia

Bonum est Faciendum et Prosequendum et Malum Vitandum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memilih yang Terbaik

21 Juni 2024   11:36 Diperbarui: 21 Juni 2024   11:43 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/185914290857253046/

Hidup kita dipenuhi dengan pilihan. Sejak kita bangun pagi, maka kita sudah harus memilih. Apa yang akan kita lakukan? Apa yang akan kita makan? Baju apa yang akan kita pakai? Hari ini ingin pergi ke mana? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kita untuk memilih dalam hidup ini.

Itulah sebabnya kita perlu bijaksana dan berhikmat dalam memutuskan pilihan. Jangan hanya berorientasi pada pandangan mata saja, tetapi perlu hikmat untuk menjatuhkan pilihan pada yang terbaik -- tidak hanya sekadar baik. Ada banyak orang yang gagal dalam hidupnya karena salah memilih. Misalnya: Adam dan Hawa salah pilih karena memakan buah yang dalam pandangan mata menarik dan nikmat untuk dimakan (Kej. 3). Kemudian Lot melihat seluruh lembah sungai Yordan sebagai tempat yang baik dan menarik secara kasat mata. Akibat pilihannya itu justru membuatnya semakin dekat kepada kota Sodom dan Gomora dan nyaris binasa akibat kejahatan mereka.

Hal inilah yang juga banyak dilakukan oleh orang Kristen hari ini, di mana banyak memilih pilihan yang baik saja, padahal Tuhan menghendaki kita memilih yang terbaik. Dalam konteks Lukas 10:42 ungkapan "yang terbaik" menggunakan istilah "agathos". Kata Yunani untuk kebaikan adalah agathos . Artinya baik secara etika. Kata itu bukan berarti indah, melainkan baik secara moral. Maria memilih apa yang lebih unggul secara moral. Artinya mendengarkan ajaran Yesus lebih baik daripada menyiapkan makanan dan minuman bagi tamu yang haus dan lapar.

Pilihan Marta dalam perikop itu bukanlah pilihan yang buruk karena juga sangat bermanfaat bagi orang lain. Akan tetapi, pilihan Marta itu bukanlah pilihan yang terbaik. Sama halnya ketika dalam sebuah persekutuan, kita sibuk mempersiapkan hal-hal yang sifatnya jasmaniah, seperti: makanan, minuman, dll., tetapi kita sendiri tidak mempersiapkan diri untuk menikmati makanan rohani dengan duduk diam dan mendengarkan Firman Tuhan. Sehingga kita pun dapat mengalami pertumbuhan rohani dalam konteks pengenalan akan kehendak Tuhan.

Ada banyak orang Kristen hari ini memilih pilihan seperti Marta. Dia datang ke gereja, sibuk memimpin pujian, sibuk bermain musik, sibuk menjadi koster, sibuk menerima tamu, sibuk menjadi pembawa kantong kolekte, tetapi ketika Firman Tuhan diperdengarkan sama sekali tidak mau untuk duduk tenang dan mendengar suara Tuhan berbicara kepadanya. Justru dia sibuk ngobrol, sibuk ke toilet hingga tidak fokus kepada pengajaran firman Tuhan.

Bagaimana memahami memilih yang terbaik dalam konteks Lukas 10: 38-42? Berikut ini ada tiga poin penting yang perlu diperhatikan.

  • Memilih yang terbaik berarti tidak sibuk dengan pekerjaan rumah tangga

Pada ayat 40 muncul frasa, "Marta sibuk sekali melayani". Ungkapan "sibuk" dalam bahasa Yunani menggunakan istilah "periespato (perispaomai)". Cukup menarik, karena kata perispaomai di sini dalam bentuk imperfek yang hendak menegaskan bahwa Marta sudah sibuk dan masih terus sibuk. Akibat kesibukannya itu membuatnya tidak fokus lagi kepada Yesus. Mungkin saja kesibukan yang dilakukan oleh Marta, awalnya dilakukan untuk Yesus tetapi karena betapa kesibukan itu telah menyita waktu, menyita perhatian bahkan menyita fokusnya, maka sekarang bukan lagi untuk Yesus tetapi untuk memuaskan passion dan juga keinginannya. 

Kemudian "melayani" dalam bahasa Yunani menggunakan istilah "diakonian (diakonia)". Kata "diakonia" mengacu pada menyajikan "makanan dan minuman kepada mereka yang makan". Artinya Marta sibuk mempersiapkan makanan dan minuman bagi tamu-tamunya termasuk Yesus. Sekalipun kita tidak tahu makanan apa yang dia siapkan: apakah itu sarapan, makan siang atau makan malam. Kebanyakan wanita yang sedang mempersiapkan kerumunan tamu sangat sibuk mencoba menyatukan semuanya di menit-menit terakhir.

Dalam hal ini, Marta ingin memberikan pelayanan yang maksimal kepada Yesus. Mungkin juga dia sangat mengasihi Yesus, sehingga dia pun berkeinginan untuk menyenangkan hati-Nya. Itulah sebabnya, dia sibuk menyuguhkan makanan dan minuman bagi Yesus. Itu sesuai dengan tradisi Yahudi bahwa seorang tamu harus diperlakukan dengan baik. Tetapi dia lupa dan tidak fokus kepada setiap perkataan atau pengajaran yang disampaikan oleh Yesus. Tidak mengherankan Marta tidak mengerti kehendak dan apa yang diinginkan oleh Yesus. Bahkan Marta merasa bahwa Yesus sama sekali tidak peduli kepadanya (ay.40).

Apakah Yesus benar-benar tidak peduli? Seringkali pertanyaan seperti ini muncul dari setiap orang Kristen yang tidak mengerti kehendak Tuhan. Mereka selalu merasa tidak dipedulikan Tuhan, merasa sendiri, padahal justru merekalah yang tidak pernah memahami kehendak Tuhan dan selalu merasa bahwa tidak dipedulikan.

  • Memilih yang terbaik berarti tidak kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara

Pada ayat 41 muncul frasa, "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara". Ungkapan "engkau kuatir" dalam bahasa Yunani menggunakan istilah "merimnas (merimnao)". Dalam Perjanjian Baru ada 26 kemunculan kata kekuatiran, dan kata merimnao serta berbagai bentuk serumpunnya digunakan sebanyak 22 kali. Seringkali berarti kepedulian dan perhatian yang tepat, kadang-kadang berarti kekuatiran/kecemasan. Artinya kata ini bisa dipahami dalam arti yang positif, namun pada umumnya lebih pada arti negatif.

Penggunaan kata merimnao dalam arti yang positif terdapat dalam Filipi 2:19-20, 2 Korintus 11:28, I Korintus 12:25, dll. Tetapi dalam konteks Lukas 10:41 lebih kepada arti yang negatif. Karena di sini Yesus memarahi Marta karena membiarkan kegelisahan mengendalikan dirinya. Hal yang serupa disampaikan oleh Yesus dalam khotbah di bukit supaya murid-murid Yesus tidak kuatir (Mat. 6:25,28,31).

Ada yang mendefinisikan "kekuatiran" sebagai "tetesan kecil rasa takut yang berkelok-kelok di dalam pikiran hingga memotong saluran yang menjadi saluran pembuangan semua pikiran lainnya". Kemudian Austen Riggs menggambarkannya sebagai  "lingkaran pemikiran tidak efisien yang berputar di sekitar titik ketakutan".

Artinya bagaimana pun kita menggambarkan kekuatiran itu, dia adalah pandemi psikologis pada generasi kita. Kita kuatir akan hari esok, kuatir dengan perekonomian, kuatir dengan masa depan anak-anak kita. Dan harus ditegaskan di sini bahwa kekuatiran itu dapat berdampak buruk kepada kesehatan kita, karena itu akan berpengaruh kepada pikiran, hormon, dan juga metabolisme. Sehingga dapat mempengaruhi gula darah, terjadi ketegangan otot (karena meningkatnya hormon kortisol), membuat susah tidur (berdampak kepada diabetes, risiko stroke hingga gangguan ginjal), hingga mengganggu pencernaan kita. Dengan demikian, hidup dalam kekuatiran sama sekali tidak menguntungkan.

Selain itu, kekuatiran bukanl hanya masalah manusia modern. Hal ini merupakan isu yang terjadi pada abad pertama, dan Perjanjian Baru memberikan instruksi yang sangat spesifik mengenai cara mengatasi kekuatiran -- termasuk Marta yang dikemukakan dalam perikop ini. Jadi, kekuatiran telah menjadi momok yang menakutkan bagi gereja Tuhan. Kekuatiran juga dapat juga menghalangi kita merasakan hadirat Tuhan sekalipun itu di dalam sebuah ibadah.

Mengapa Marta kemudian mengalami kekuatiran? Hal ini merupakan akibat karena dia terlalu sibuk melayani mempersiapkan makanan dan membuatnya tidak lagi fokus kepada Yesus. Jadi, kita pun harus berhati-hati. Jangan sampai kita gagal fokus kepada Yesus hanya karena terlalu sibuk melayani hal-hal yang bersifat jasmani.

Kemudian ungkapan "menyusahkan diri" menggunakan istilah "thorubaze (thorubazo)" dalam bahasa Yunani. Dalam konteks ini, ungkapan ini mempertegas kekuatiran dan sikap Marta yang terlalu sibuk melakukan dan memikirkan hal-hal yang sifatnya sementara dan yang duniawi. Padahal semuanya itu tidak bersifat kekal dan dapat diambil dari padanya. Prinsip ini mengajarkan kita untuk tidak tergiur kepada hal-hal yang duniawi, melainkan mari kita berpikir untuk harta kekekalan.

Pada ayat 39 dikemukakan bahwa, "Maria duduk di kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya". Ungkapan "duduk" dalam bahasa Yunani menggunakan istilah "parakathestheisa (parakathezomai)". Duduk di kaki Tuhan menunjukkan posisi kerendahan hati, posisi ibadah dan posisi belajar. Jadi bagian ini memberitahu kita bahwa Maria merendahkan dirinya untuk menyembah Yesus, dan belajar dari firman-Nya. Orang seperti inilah yang mendapat perhatian Tuhan.

Kemudian ungkapan "terus mendengarkan" menggunakan istilah Yunani "akouo" dalam bentuk indikatif imperfek aktif (ekouen). Artinya, Maria duduk di kaki Tuhan sambil terus mendengarkan pengajaran dari Yesus. Sebagai manusia yang telah dilahirkan kembali, penting untuk mengetahui mana yang menjadi kebutuhan pokok kita. Itulah sebabnya Yesus berkata pada ayat 42, "tetapi hanya satu saja yang perlu". Artinya hanya satu saja yang kita perlukan sebagai manusia rohani, yaitu: mendengarkan Firman Tuhan.   

Fred Craddock mengatakannya. "Ada saatnya untuk pergi dan melakukan; ada waktu untuk mendengarkan dan merenung. Mengetahui mana yang merupakan masalah kebijaksanaan rohani. Jika kita bertanya kepada Yesus teladan mana yang berlaku bagi kita, orang Samaria atau Maria, jawabannya mungkin Ya." Terkadang penting bagi kita untuk pergi dan melakukan -- untuk melayani orang lain, untuk mengasihi orang lain, untuk membagikan iman kita, untuk melakukan semua hal yang Yesus perintahkan untuk kita lakukan. Namun setelah kita melakukan hal-hal ini, sama pentingnya untuk meluangkan waktu berkualitas bersama Yesus -- datang beribadah, meluangkan waktu untuk berdoa setiap hari, menghadiri Sekolah Minggu atau belajar Alkitab, duduk di kaki Yesus dan belajar dari-Nya.

Bagaimana menilai dan mengetahui apakah kita sudah menjadi manusia rohani atau masih manusia duniawi? Lihat saja apa yang menjadi kesukaannya, lihat saja apa yang dia makan, lihat saja apa yang setiap hari dia lakukan. Seorang perokok, makanannya adalah rokok. Seorang pemabuk, makanannya adalah alkohol. Seorang pezina, makanannya adalah berzina. Demikian juga seorang anak Tuhan yang telah dilahirkan kembali, makanannya adalah firman Tuhan.

Jadi mari kita merenungkannya! Apakah kita sudah memilih pilihan yang terbaik dalam hidup kita? Ataukah kita masih terlalu sibuk melayani dan mempersiapkan makanan jasmani sehingga lupa untuk duduk di kaki Tuhan dan mendengarkan suaranya? AP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun