Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STT Pelita Dunia

Bonum est Faciendum et Prosequendum et Malum Vitandum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Marah yang Benar

28 Juni 2021   16:07 Diperbarui: 28 Juni 2021   16:43 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kita pasti pernah marah. Bisa saja marah kepada teman, karyawan, atau anak kita. Ketika kita marah maka pasti ada faktor yang menyebabkannya. Bisa saja karena teman kita telah melakukan sesuatu yang menyakiti hati kita, bisa juga karena karyawan di kantor tidak bekerja dengan baik, bahkan bisa juga karena anak kita justru melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan prinsip yang kita sampaikan kepadanya.

Ada orang yang mengatakan, marah adalah kondisi di mana perasaan emosional meningkat dan tidak terkendali dari perasaan seperti biasanya. Sekalipun sebenarnya marah dapat dipahami sebagai emosi yang ditandai oleh pertentangan terhadap seseorang yang disebabkan karena merasa telah diperlakukan tidak benar atau tidak adil. Sekalipun demikian, penyebab seseorang marah sangat variatif atau tidak semua sama.

Alkitab mengajarkan kita tentang marah yang benar dan marah yang tidak benar. Marah yang benar biasanya karena melihat telah terjadi ketidakadilan, telah terjadi kejahatan, telah terjadi kompromi, sehingga merugikan hak orang lain. Sedangkan marah yang tidak benar adalah emosi yang tidak terkontrol yang muncul dari dalam diri seseorang untuk membela dirinya dan kepentingannya sendiri.

Yesus pernah marah ketika melihat Bait Allah di Yerusalem dijadikan sarang penyamun oleh orang-orang Yahudi (Mat. 21:12-17; Mrk. 11:15-19;Luk. 19:45-48; dan Yoh. 2:13-16). Yesus melihat Bait Allah telah menjadi cemar, kotor, bau, karena telah dipenuhi oleh orang-orang yang korup dan hanya mencari keuntungan sendiri. Mereka tidak lagi menghormati Bait Allah sebagai tempat menyembah Allah, tempat perjumpaan dengan Allah, malah di sana menjadi pusat kejahatan yang menjijikkan bagi Tuhan.

Kondisi itu membuat Yesus menjadi sangat marah. Itulah sebabnya, Yesus mengusir semua penjual yang tidak jujur, membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati. Kemarahan Yesus muncul untuk menolak praktik kejahatan dan ketidakadilan dalam masyarakatnya.  Bahkan kejahatan mereka memuncak karena telah mengubah fungsi dari Bait Allah sebagai tempat berdoa menjadi tempat penyamun atau tempat di mana para penyamun bersembunyi dan tinggal.

Sumber Image: http://renunganlenterajiwa.com/2018/11/08/yesus-sang-pembaharu-renungan-jumat-9-november-2018/
Sumber Image: http://renunganlenterajiwa.com/2018/11/08/yesus-sang-pembaharu-renungan-jumat-9-november-2018/

Apa yang telah dilakukan oleh Yesus ketika mengekspresikan kemarahannya kepada orang-orang Yahudi yang telah mengotori Bait Allah dengan tindakan-tindakan yang jahat dapat dikategorikan sebagai marah yang benar. Karena Dia telah menunjukkan sikap yang tegas tanpa kompromi terhadap segala bentuk kejahatan. Tidak hanya itu, kemarahan Yesus di sini telah membela hak-hak umat untuk dapat beribadah dengan baik. Oleh karena kehadiran para pedagang yang tidak jujur di sana justru merusak ibadah yang telah dilakukan oleh umat.

Kemudian kita beralih kepada kemarahan Musa. Siapakah Musa? Musa adalah pemimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. Dia adalah pemimpin yang rendah hati dan cerdas. Oleh karena dia telah melalui dua fase penting dalam kehidupannya yang dapat membentuknya menjadi pemimpin yang rendah hati. Empat puluh tahun pertama hidupnya dijalani di istana Firaun di Mesir, sebagai putra dari Puteri Firaun. Di sana dia mendapatkan fasilitas anak kerajaan yang seba premium. Di sana dia banyak belajar berbagai macam ilmu, mulai dari ilmu strategi perang, ilmu pemerintahan dan politik, dan ilmu-ilmu yang lainnya. Dari situ kemudian menjadikannya menjadi pribadi yang cerdas.

Sumber Image: http://ifgfsolo.blogspot.com/2018/02/belajar-dari-kegagalan-musa.html
Sumber Image: http://ifgfsolo.blogspot.com/2018/02/belajar-dari-kegagalan-musa.html

Akan tetapi, Tuhan belum mau memakainya sekalipun dia sudah menjadi pribadi yang cerdas. Oleh karena Tuhan hanya ingin memakai pribadi yang rendah hati untuk mengerjakan tugas pelayanan. Itulah sebabnya, Musa dibawa Tuhan keluar dari zona nyamannya dan pergi ke padang untuk belajar kepada kambing domba Yitro. Itu dilakukan selama periode empat puluh tahun kedua dari kehidupan Musa. Nanti setelah itu barulah Tuhan mau memakainya menjadi pemimpin umat Israel keluar dari tanah Mesir menuju Tanah Perjanjian.

Sekalipun demikian, Musa tidak dapat memasuki tanah Kanaan. Penyebab utamanya adalah peristiwa ketika mereka masih di padang gurun dan tidak ada air sama sekali untuk mereka minum. 

Lalu umat itu berdatangan dan mengerumuni Musa dan Harun untuk menyampaikan sungut-sungut mereka. Kemudian Musa dan Harun pergi ke kemah pertemuan untuk meminta petunjuk dari Tuhan. 

Di sana Tuhan berpesan, "ambillah tongkatmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul; katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya; demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya" (Bil. 20:8).

Sesudah itu, Musa mengambil tongkatnya lalu mengumpulkan umat itu dan berkata, "dengarlah kepadaku, hai orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?" (ay.10). Sesudah itu, Musa mengangkat tangannya lalu memukul bukit batu itu dengan tongkatnya dua kali, maka keluarlah banyak air, sehingga mereka dapat minum.

Akan tetapi, apa yang dilakukannya itu justru melanggar perintah Tuhan karena Tuhan memerintahkan kepadanya cukup berbicara kepada batu itu maka akan mengeluarkan air. Namun apa yang dilakukan oleh Musa justru memukul batu itu bahkan hingga dua kali. Memang air tetap keluar, namun apa yang telah dilakukannya itu merupakan sikap yang tidak menghormati kekudusan Allah di depan mata orang Israel. Akibatnya, dia tidak bisa masuk ke dalam tanah Kanaan.

Mengapa Musa tidak taat kepada perintah Tuhan? Sekalipun tidak dicatat secara tersurat, namun terlihat jelas dari ekspresi yang ditunjukkannya, Musa dikuasai dengan emosi atau kemarahan yang tidak terkontrol kepada umat Israel. Hal itu terlihat jelas dari ungkapannya dalam ayat 10. Bahkan ketika dalam perkataannya itu, dia mengatakan "kami" bukan "Tuhan" meunjukkan bahwa Musa dan Harun telah mengambil-alih wewenang Tuhan. Sehingga dalam kemarahannya yang tidak terkontrol itu, Musa telah menghujat Tuhan.

Betapa kemarahan yang tidak terkontrol dapat berdampak negatif dalam kehidupan kita. Karena melaluinya, kita dapat menghujat Tuhan dan kita juga dapat menjadi tidak taat kepada setiap perintahnya. Itulah sebabnya, kemarahan yang tidak benar seperti ini seringkali berujung kepada pembunuhan dan dendam berkepanjangan.

Marilah kita belajar untuk menempatkan dan mengekspresikan kemarahan kita hanya untuk situasi dan kondisi yang benar saja. Supaya sekalipun kita marah, kita tetap mempermuliakan Tuhan, tidak merugikan orang lain, dan diri kita sendiri. AP/PG. 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun