Perikop ini berbicara tentang pengajaran Tuhan Yesus tentang bagaimana mengasihi sesama manusia dan sekaligus memberikan jawaban atas pertanyaan tentang siapakah sesama manusia kita.Â
Kisah ini hanya dicatat dalam Injil Lukas (10:25-37). Di mana Lukas mencatatnya sebelum menjelaskan tentang sikap Maria dan Marta (10:38-42) terhadap Pengajaran Tuhan Yesus.Â
Tidak salah apabila kita berkata bahwa kisah Maria dan Marta merupakan gambaran konkrit dari kehidupan Kristen yang mengasihi Tuhan, karena mencintai Firman-Nya. Sedangkan dalam kisah Orang Samaria merupakan gambaran konkret tentang sikap kehidupan orang Kristen yang mengasihi sesama manusia.
Oleh karena kedua hal di atas seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan atau didikotomikan, sehingga yang satu lebih diprioritaskan dan yang lain diabaikan.Â
Tidak mungkin ada orang yang mengatakan mengasihi Tuhan sedangkan dalam kehidupan praktisnya tidak dapat mempraktikkan kasih itu kepada sesamanya.Â
Demikian pula sebaliknya. Seperti yang juga tercatat dalam ayat 27, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.".
Kisah ini diawali dari niat seorang Ahli Taurat untuk mencobai Yesus (ay.25). Kata "mencobai" di situ, Lukas menggunakan kata "ekpeirazon (ekpeirazo) dapat diartikan melemparkan godaan atau mengatakan ujian.Â
Artinya, niat dari Ahli Taurat ini tidak baik dan hendak menjatuhkan atau mencari kesalahan Yesus supaya dia dapat menghujat-Nya. Hal yang sama yang pernah dilakukan oleh Orang Farisi (seperti dicatat pada Mat. 19:3) dan bahkan Iblis (Mat. 4:1-11). Ahli Taurat itu mencobai Yesus dengan bertanya: "Guru, apa yang harus ku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
Namun jawaban Yesus pada ayat 26 seolah-olah mengindikasikan bahwa Yesus tidak terjebak dalam niat tidak baik Ahli Taurat itu. Yesus menjawabnya, "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?"Â
Karena orang ini adalah orang Yahudi yang juga sekaligus merupakan ahli Taurat, maka Yesus justru menegaskan kepadanya untuk kembali membuka dan melihat isi Hukum Taurat yang tentunya tidak asing bahkan dikuasainya -- karena dia adalah ahli Taurat.
Lalu Ahli Taurat itu menjawab, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (ay.27).Â
Dan Yesus pun membenarkan jawaban itu sambil memerintahkan kepadanya untuk melakukan supaya dia dapat memperoleh hidup kekal (ay.28).
Namun respons yang keliru sekali lagi ditunjukkan oleh Ahli Taurat itu dengan berusaha mencari pembenaran diri melalui perkataannya, "Dan siapakah sesamaku manusia?" (ay. 29).
Sebagai respons Tuhan Yesus terhadap jawaban Ahli Taurat tersebut, maka Dia pun mulai menceritakan kisah tentang Orang Samaria yang baik hati sebagai gambaran konkret bagi konsep mengasihi sesama manusia.
Dalam ayat 31-35, Yesus menjelaskan ada tiga figur yang diperhadapkan dengan seseorang yang telah dirampok oleh para penyamun ketika dia sedang dalam perjalanan dari Yerusalem hendak ke Yerikho.Â
Dia tidak hanya dirampok, namun dia juga dipukuli hingga hampir mati (ay.30). Orang itu perlu pertolongan. Oleh karena bukan hanya dia sudah tidak memiliki apa-apa lagi, melainkan juga karena dia sedang terluka parah dan perlu perawatan.
Lalu muncullah figur yang pertama, seorang imam. Ketika dia melihat orang itu, dia tidak menolongnya. Sebaliknya, dia justru melewatinya dari seberang jalan. Sikap ini sebenarnya tidak kita harapkan. Mengapa? Karena orang itu adalah seorang imam. Lewat lagi figur yang kedua, yakni: seorang Lewi. Akan tetapi dia pun menunjukkan sikap yang sama dengan imam, yang sebelumnya telah terlebih dahulu lewat. Dia tidak menolongnya, sebaliknya dia justru melewati dan meninggalkan orang itu.
Akan tetapi sikap yang berbeda justru diperlihatkan oleh seorang Samaria. Ketika dia melihat orang itu, maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.Â
Lalu dia mulai menolong orang itu dengan membalut luka-lukanya dan menyiraminya dengan minyak dan anggur, kemudian dia membawa orang itu ke penginapan untuk merawatnya -- dia menanggung segala biaya mengobatan dan perawatan orang itu hingga sembuh.
Siapakah di antara ketiga figur di atas yang menunjukkan sikap mengasihi sesama manusia? Kita pasti semua setuju bahwa orang Samaria-lah yang telah benar-benar menunjukkan belas kasihan dan mengasihi sesamanya manusia.Â
Hal itu ditandai dengan: (1) hatinya tergerak oleh belas kasihan kepada orang yang dirampok di atas; (2) dia menolong dan merawat orang itu hingga sembuh. Meskipun dia merupakan orang Samaria, akan tetapi justru dialah yang senantiasa dapat mempraktikan mengasihi sesama manusia. Hal itu berarti dia juga mengasihi Tuhan. Oleh karena mengasihi sesama manusia berangkat dari kasih kepada Tuhan.
Memang ada diskusi para ahli yang membela atau membenarkan sikap orang Lewi dan Imam yang tidak menolong orang yang dirampok itu. Menurut mereka, alasan orang Lewi dan Imam tidak menolongnya karena kemungkinan besar orang itu berasal dari Utara.Â
Di mana dalam pandangan orang-orang di Yerusalem termasuk pandangan orang Lewi dan Imam, bahwa mereka yang berasal dari Utara tidak lagi menjalankan Hukum Taurat secara murni atau tidak ada yang baik dari Utara. Itulah sebabnya mereka tidak mau mengambil resiko dengan menolong orang tersebut.Â
Sebaliknya, mengapa orang Samaria yang justru menolongnya? Oleh karena orang Samaria merasa bahwa orang itu adalah teman atau sekutunya dari Utara. Itulah sebabnya dia mau dan rela untuk mengeluarkan uangnya untuk merawat orang itu hingga sembuh.
Akan tetapi, bagi saya pendapat di atas tidaklah benar bahkan cenderung berlebihan dan lebih bersifat fantasi belaka. Oleh karena ketika Tuhan Yesus mengungkapkan kisah di atas, tujuannya adalah untuk mengajarkan tentang mengasihi sesama manusia.Â
Sehingga tendensi di atas tidaklah benar dan pasti tidak tersirat dalam kisah itu. Justru dari kisah di atas sekaligus menjadi sindiran kepada Ahli Taurat itu yang cenderung memperlihatkan sikap yang sama dengan orang Lewi dan imam -- yang hanya tahu tentang Taurat namun tidak bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan praktisnya.Â
Itulah sebabnya melalui kisah di atas Yesus ingin dia melihat orang Samaria yang justru memiliki kehidupan yang mengasihi sesama manusia.
Itulah sebabnya dalam ayat 37b, Yesus berkata kepadanya, "Pergilah dan Perbuatlah Demikian!" Supaya keinginannya untuk memperoleh kehidupan kekal dapat terwujud. Akan tetapi, apakah konsep ajaran dalam perikop ini lebih Arminian? Jawabnya: Tidak. Mengapa?
Memang seolah-olah perikop ini menegaskan bahwa melalui perbuatan kita dapat diselamatkan atau dengan mengasihi sesama maka kita memperoleh hidup kekal. Harus kita catat bahwa perbuatan mengasihi sesama tidak pernah otonom atau berdiri sendiri.Â
Ketika kita mampu mengasihi sesama dengan benar dan tulus, maka tentu itu berangkat dari kasih kepada Tuhan. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, mengasihi sesama tidak dapat didikotomikan dari mengasihi Tuhan. Justru dasar kita mengasihi sesame adalah kasih kepada Tuhan.Â
Dan kasih kepada Tuhan itu diperoleh melalui anugerah (pemberian cuma-cuma) dari Tuhan. Karena tidak ada seorang manusia yang berdosa yang mampu mengasihi Tuhan, kalau bukan Tuhan yang memampukannya untuk mengasihi Tuhan.
Untuk itu, sekarang yang harus kita lakukan adalah pergi dan melakukan apa yang orang Samaria itu telah perbuat. Supaya hidup kita memuliakan Tuhan dan kita pun memperoleh hidup yang kekal.
Soli Deo Gloria!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H