Saya dan partner traveling sekaligus sahabat/Partner In Crime saya dari zaman SMA, Andri Sofyan Husein (untuk selanjutnya disebut Basir karena sosoknya yang mirip dengan salah satu tokoh di serial Misteri Gunung Merapi) melanjutkan perjalanan menuju Phnom Penh, Cambodia menggunakan bis Mekong Express dari Ho Chi Minh City, Vietnam pada malam kedua, tepatnya tanggal 5 Januari 2012.
Bis berangkat pada pukul 00.30 waktu setempat. Tidak ada perbedaan waktu antara Ho Chi Minh City dengan Jakarta. Bis melaju dengan kecepatan sedang menembus sunyinya Ho Chi Minh City.Â
Beberapa warung makan dan minum di pinggir jalan tampak berkemas-kemas. Saya menikmati setiap fragmen yang tersaji dari balik jendela bis, sementara Basir sudah terlelap akibat kelelahan setelah seharian menyusuri Ho Chi Minh City dengan jalan kaki yang mana sesekali saya dan Basir berganti peran sebagai aktor dan kameramen dalam mendokumentasikan perjalanan.
"Jancuk!" Umpat Basir pelan. Kombinasi antara setengah sadar dan setengah ngelindur.
Kesan saya terhadap Ho Chi Minh City adalah masakan-masakannya yang sebagian besar melibatkan bumbu kayu manis. Setiap warung yang kami singgahi dan setiap gang yang kami lalui menguarkan aroma kayu manis. Bahkan, saking masifnya, seolah-olah asap kendaraan bermotor mulai roda dua, roda tiga hingga roda empat juga mengepulkan bau kayu manis.Â
Saya tidak tahu pengalaman personal Basir dengan bau kayu manis ini, tapi, bagi saya cukup menimbulkan trauma yang mengakibatkan saya menjadi antipati terhadap makanan dan minuman yang melibatkan bumbu kayu manis. Bahkan sampai sekarang setelah 6 tahun perjalanan tersebut. Setiap kali hidung saya mencium aroma kayu manis, seketika itu juga perut saya langsung mual-mual.
Menurut penjelasan sopir bis, kantor imigrasi Moc Bai baru buka pukul 07.00 pagi. Tidak ada apa-apa di sekitar kantor imigrasi Moc Bai kecuali hanya kesunyian. Gerimis turun membasahi kaca jendela bis. Saya memilih untuk tidur.
Ketika pagi tiba dan kantor imigrasi Moc Bai sudah buka, dari balik gerbang muncul satu orang dengan mengendarai motor, saya lupa mereknya apa, namun, sekilas, fisically tampak seperti motor Supra di Indonesia.Â
Setelah ngobrol-ngobrol dengan sopir bis, kami diminta mengumpulkan paspor dan uang senilai USD 25 kepada orang bermotor tersebut. Saya, Basir, dan gerombolan traveler dari Argentina satu per satu diproses keluar dari Vietnam. Petugas imigrasi di Moc Bai dingin dalam melayani. Tanpa senyum. Setelah proses tersebut kami berjalan mengikuti komando orang bermotor tadi.Â