Beberapa waktu yang lalu, dalam perjalanan dinas menuju Serpong, Tangerang Selatan, driver kantor yang mengantarkan saya, Nurdin, berinisiatif membuka percakapan tentang sejarah berdirinya bengkel otomotif keluarga yang diprakarsai oleh kakaknya.
Nurdin juga berkisah, sesaat setelah tamat Sekolah Menengah Atas, sebelum ikut bergabung bersama skuad kakaknya menjadi dokter bagi kendaraan roda dua maupun roda empat, Ayahnya sempat menawarinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Namun, Nurdin menolak dengan alasan sudah tidak ingin merepotkan orang tuanya lagi. Kalaupun harus kuliah kelak menggunakan biaya yang diperoleh melalui keringatnya sendiri.
Rupanya takdir berkata lain. Memasuki tahun ketiga berprofesi sebagai montir, Nurdin bertemu belahan jiwanya. Dara yang beruntung tersebut berasal dari Kota Bogor. Sedangkan Nurdin tercatat sebagai warga Bogor coret. Saat ini, hingga tahun pernikahan yang ke  (kurang lebih) lima belas, Nurdin dan istrinya telah dikarunia tiga orang buah hati.
"Terus, kapan Mas Adi Ankafia (memutuskan) menikah?" Tanya Nurdin secara sekonyong-konyong. Membuat nafas saya sempat tercekat. Bingung mencari jawaban yang tepat mengingat saya adalah pribadi yang cenderung plin-plan dan belum memiliki kesiapan untuk hidup dalam suatu ikatan sakral. Entah, jika tiba-tiba saya bertemu pasangan yang langsung bikin nyaman dan memantik gairah hidup.
Nurdin juga mengingatkan saya agar sebaiknya segera menikah jika sudah bertemu tambatan hati yang dirasa sesuai dengan tipe yang diingini. Karena, masih menurut Nurdin, jika terlalu lama ditunda-tunda bisa keburu malas dan semakin asik dengan dunia sendiri, masa tua tak punya tempat berbagi cerita. Lagipula, menikah juga merupakan bagian dari ibadah.
Saya segera mengalihkan pembicaraan ke topik yang sedang hangat berkembang setelah sesaat sebelumnya sempat terlintas niat mengetok kepala Nurdin menggunakan kunci inggris yang tergeletak di bawah kursi tempat saya duduk.Â
Justru saya sangat tersentuh oleh siraman rohani Nurdin terkait makna hidup mencari Ridho Allah. Sambil menyetir dengan kecepatan sedang, Nurdin mengingatkan kepada saya agar dalam melakukan apapun harus dilandasi oleh rasa ikhlas. Tidak boleh pamrih dan juga tidak boleh riya' barang sebiji sawi pun. Nurdin menjelaskan sebab akibatnya menggunakan referensi kitab kuning yang diajarkan oleh Gurunya ketika menimba ilmu di sebuah Pondok Pesantren.
Nurdin menggambarkan bahwa kebaikan yang kita tanam sekecil apapun ketika di dunia akan menjadi syafaat di akhirat. Sebaliknya, kejahatan yang kita lakukan selama di dunia juga akan mendapatkan balasan yang setimpal. Senada dengan QS. Al-Isra ayat 7 yang berbunyi "Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri."
Saya sempat berfikir yang dijelaskan oleh Nurdin sangat klise. Saya sudah terlalu sering mendengar petuah semacam itu namun tidak juga puas karena penggalian maknannya belum sampai kepada kedalaman hati saya.
Seolah menangkap kekurangpahaman saya, mengingat saya belum pernah punya pengalaman belajar di Pondok Pesantren, ditambah saya juga masih sangat jarang sekali bergabung dalam majelis-majelis kajian di masjid-masjid, Nurdin membuka cakrawala berpikir saya melalui kisah yang cukup membuat saya terharu.
Diriwayatkan pada suatu masa, seorang santri yang sibuk mengerjakan tugasnya tiba-tiba dikagetkan oleh seekor lalat yang masuk ke dalam gelas minumnya. Alih-alih mengusir atau membunuh lalat tersebut, si santri mengambil minuman lagi dengan gelas lainnya. Lalat yang dahaga tersebut dibiarkannya menikmati segarnya air sepuas-puasnya. Beberapa tahun kemudian, si santri meninggal dunia dengan amalan-amalan yang sangat kurang.
Ketika memasuki pengadilan di akhirat, lalat yang masuk ke dalam gelas minumnya di dunia menjadi pembelanya. Lalat tersebut memohonkan ampunan untuk si santri kepada Allah SWT. Lalat yang tanpa sengaja diselamatkannya dari kehausan yang mendera saat di dunia menjadi syafaat yang membawanya ke surga.
Hikayat yang dinarasikan oleh Nurdin dengan cara sederhana dan tanpa tendensi menggurui tersebut telah membuka pikiran dan batin saya yang selama ini tanpa saya sadari diselimuti ambisi duniawi yang nisbi. Berbuat baik terhadap sesama makhluk ciptaan Allah SWT dengan tidak mengharakan apapun kecuali hanya Ridho-Nya semata seharusnya bukan perkara sulit. Mulailah dari sekarang. Jangan ragu. Berbuat baik terhadap sesama makhluk ciptaan Allah SWT dengan tidak mengharakan apapun kecuali hanya Ridho-Nya semata adalah sumber kebahagiaan.
Adi Ankafia
Serpong, 01 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H