Mohon tunggu...
Adi Ankafia
Adi Ankafia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Freelancer

Euphemia Puspa Tanaya Jasmine

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Wiro (Kurang) Sableng

8 September 2018   14:03 Diperbarui: 10 September 2018   07:31 3206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : entertaintment.kompas.com

Sedikit flashback, sebagai generasi yang mengalami masa kanak-kanak di era 90-an, sosok Wiro Sableng yang masih melekat dalam benak saya adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang diperankan oleh Tony Hidayat. Film perdananya berjudul "Empat Brewok Dari Goa Sanggreng" diproduksi pada tahun 1988. 

Selanjutnya hingga awal tahun 90-an, berdasarkan informasi yang saya peroleh dari Wikipedia, Tony Hidayat secara berturut-turut memerankan Wiro Sableng dalam film : Dendam Orang-Orang Sakti, Neraka Lembah Tengkorak, Tiga Setan Darah Dan Cambuk Api Angin, Sepasang Iblis Betina, Siluman Teluk Gonggo, dan Khianat Seorang Pendekar. Selebihnya tidak banyak informasi terkait profil Tony Hidayat. 

Nama Hidayat yang menempel dibelakangnya membuat saya sempat mengira jika Tony Hidayat adalah saudara kandung dari Ryan "Lupus" Hidayat. Ternyata dugaan saya salah. Sama halnya ketika saya mengira jika 3 personel Duran Duran adalah saudara kandung karena memiliki nama belakang Taylor (Andy Taylor, Roger Taylor, dan John Taylor), ternyata bukan, hehehe.

Pada masa-masa film perdana Wiro Sableng tayang di bioskop, saya masih berusia balita. Saya pertama kali mengenal film Wiro Sableng saat ditayangkan kembali di televisi pada pertengahan tahun 90-an. 

Saat itu saya sudah berusia Sekolah Dasar  (SD), tepatnya kelas 3 SD. Seingat saya televisi yang menayangkan adalah Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Saya menikmatinya di rumah sepulang sekolah. Bahkan saya pernah membolos sekolah ketika sebagian film ditayangkan pada jam sekolah. Saya menggunakan alasan sakit untuk tidak masuk sekolah. 

Tidak seperti masa sekarang yang bisa mengabari melalui aplikasi WhatsApp (walaupun nantinya juga harus dilengkapi dengan surat keterangan dari dokter, setidaknya informasinya bisa sampai lebih cepat). Saat itu orang tua saya harus menulis surat keterangan sakit yang diberikan kepada pihak sekolah tempat saya menimba ilmu. 

Pada film Wiro Sableng selanjutnya yang berjudul "Satria Kapak Tutur Sepuh" yang diproduksi tahun 1990, Tony Hidayat digantikan oleh Atin Martino.

Medio tahun 2000-an, kisah Wiro Sableng diangkat ke dalam bentuk serial televisi yang diperankan oleh Herning Sukendro (Ken Ken). Konon, Ken Ken adalah pendekar lulusan perguruan pencak silat ternama di Indonesia. Ken Ken membintangi Wiro Sableng dari episode 1 sampai 59. Memasuki musim kedua, tongkat estafet petualangan Wiro Sableng dilanjutkan oleh Abhie Cancer yang total membintangi serial dari episode 60 sampai 91.

Dari keempat aktor pemeran Wiro Sableng tersebut, bagi saya, Tony Hidayat yang paling memiliki kesan mendalam. Kesablengannya sebagai Wiro telah menancap kuat yang akhirnya menjelma menjadi semacam standar bagi saya bahwa siapapun yang akan memerankan Wiro Sableng selanjutnya harus mempedomani Tony Hidayat. 

Kesablengannya begitu natural, dan bagaimana sosok Wiro yang meski Sableng ternyata juga seorang pemalu terutama jika sudah menyangkut urusan gadis pujaan, lalu bagaimana Wiro Sableng bertransformasi menjadi pendekar yang jujur dan semakin bijaksana seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman-pengalaman yang menempanya. Tony Hidayat sukses menterjemahkannya dengan sangat baik dalam porsi yang tepat. 

Tanpa bermaksud berlebihan, Tony Hidayat layak dinobatkan sebagai role model bagi aktor-aktor yang ingin mencoba memerankan Wiro Sableng. Tony Hidayat adalah Wiro Sableng di dunia nyata.

Masa hibernasi Wiro Sableng yang cukup lama menimbulkan kegelisahan sekaligus keprihatinan bagi saya. Belakangan film-film Indonesia sudah berkembang dengan sangat baik. Ada banyak genre yang ditawarkan dan layak tonton. Meski tidak sedikit pula film-film yang menyisipkan horror mesum, namun sudah semakin berkurang seiring tingkat kesadaran para penikmat film tanah air akan kebutuhan pada film-film yang berkualitas.

Jauh sebelum Wiro Sableng generasi milenial keluar dari pertapaannya, saya pernah mengangankan bahwa salah satu aktor yang (kira-kira) bakal pantas memerankan Wiro Sableng adalah Vino G. Bastian. 

Hal yang mendasari perkiraan saya tersebut adalah, Vino G. Bastian merupakan anak dari pencipta tokoh Wiro Sableng, Bastian Tito. Ini bukan perkara nepotisme, tapi, seharusnya Vino G. Bastian sudah akrab dengan "sosok" Wiro Sableng sejak kecil. Saya berasumsi dalam keseharian, Vino G. Bastian secara tidak kasat mata sangat lekat dengan kepribadian Wiro Sableng. 

Secara imaginer, Wiro Sableng menjadi semacam sisi lain Vino G. Bastian. Atau, jangan-jangan, Wiro Sableng adalah bayang-bayang Vino G. Bastian yang sudah menempel dan mengikuti sejak kelahirannya di dunia? Atau, jika ingin lebih ekstrim lagi, bisa jadi Wiro Sableng adalah perwujudan sifat yang diluar akal manusia, sudah ditiupkan ke dalam ruh Vino G. Bastian sejak dalam kandungan. Ingat, gagasan Bastian Tito menciptakan tokoh Wiro Sableng sudah ada jauh sebelum tahun 1970-an. Mungkin sejak beliau masih remaja saat sedang gila-gilanya pada kisah-kisah pendekar dari Tiongkok, buku pertama Wiro Sableng published tahun 1970, dan Vino G. Bastian lahir di tahun 80-an. Dengan kata lain, Vino G. Bastian sebagai Wiro Sableng sudah terverifikasi: Hijau. Tinggal bagaimana orang-orang dibalik layar yang terlibat, seperti produser, sutradara, dan penulis naskah menangkap potensinya lalu mengemas dan membawa arah (visi dan misi) ceritanya.

Sumber Gambar : goodreads.com
Sumber Gambar : goodreads.com
Namun, sayangnya, saat Wiro Sableng akhirnya benar-benar difilmkan kembali ke layar lebar dengan Vino G. Bastian sebagai pemerannya, ekspektasi saya ibarat peribahasa jauh panggang dari api. 

Sekalipun digandeng oleh rumah produksi Lifelike Pictures, Fox International Productions yang merupakan anak perusahaan distributor film kelas bonafide, 20th Century Fox. Secara keseluruhan Wiro Sableng yang digarap oleh sutradara Angga Dwimas Sasongko, penulis naskah Seno Gumira Adjidarma, Tumpal Tampubolon, dan Sheila Timothy ini belum sepenuhnya memengani hati penonton, khususnya penonton yang mengikuti sepak terjang Wiro Sableng dari mulai buku cerita sampai film-filmnya terdahulu, baik layar lebar dan serial. Saya tidak bermaksud membandingkan. Namun, rasanya juga penting untuk menapaktilasi sejarah Wiro Sableng.

Vino G. Bastian dan aktor-aktris yang terlibat bukan tidak kompeten. Bagaimana tidak, film ini dibanjiri jajaran aktor dan aktris watak yang tidak perlu disangsikan lagi kualitas aktingnya, seperti Dwi Sasono, Lukman Sardi, Teuku Rifnu Wikana, Sherina Munaf, Happy Salma, dan Ruth Marini. Jangan lupakan juga si bibir seksi (bentuk kuncup yang seolah selalu meminta untuk dikecup), Marcella Zalianty. Didukung pula oleh maestro pencak silat tanah air, Cecep Arif Rahman. 

Mereka bahkan belajar beladiri yang dipandu oleh fighting coreographer kelas wahid, Yayan Ruhian (pemeran antagonis, Mahesa Birawa) untuk mempersiapkan film ini. Keseriusan juga ditunjukkan oleh crew dibelakang layar, mereka telah melakukan riset mendalam terkait cerita Wiro Sableng dari semua buku-bukunya. Konon, persiapan sudah dilakukan sejak tahun 2016 silam.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Catatan bagi Vino G. Bastian, karena dia adalah pusat dari cerita, sebagai Wiro Sableng, secara fisik sudah sangat memenuhi kriteria namun kedalaman akan karakter Wiro Sableng belum terpenuhi. Sifat sablengnya masih tergolong kaku atau nanggung. Tidak sedikit yang beranggapan, Vino G. Bastian belum bisa keluar dari penokohan Kasino yang pernah diperankannya dalam dwilogi Warkop Reborn. Tidak salah memang. 

Tapi, saya memiliki pendapat lain, Vino G. Bastian masih sering terbawa karakter-karakter pada film-film remaja yang pernah dia bintangi sebelum-sebelumnya. Seperti, misalnya sering terlontar bahasa-bahasa atau ungkapan-ungkapan yang tidak baku. Sepele tapi efeknya bisa sangat fatal.

Teaser dan trailer yang dilempar ke khalayak ramai beberapa bulan sebelum premiere mengindikasikan film dengan rasa Hollywood yang cukup kental. Sinematografi dengan teknologi visual effect yang megah. Tone yang membawa kembali pada nuansa zaman kolosal tampak terasa. Menghipnotis siapapun yang memiliki pengalaman emosional dengan sosok Wiro Sableng. Promosi yang begitu gencar dan dikemas secara apik dengan strategi yang cukup jitu. Intimidatif. Kita semua secara otomatis dibuat tidak sabar melalui waktu untuk berkumpul kembali membangun nostalgia dalam satu ruang bernama bioskop.

Kisah dibuka dengan Mahesa Birawa bersama asistennya, Kalingundil (diperankan oleh Dian Sidik) dan (sepertinya) satu pasukan pendekar yang berjuluk Empat Brewok Dari Goa Sanggreng menyerang desa bernama Jatiwalu. 

Mahesa Birawa membebaskan seluruh pasukannya untuk mengambil apapun (harta benda, dan tentunya memperkosa gadis-gadis) dari desa tersebut asalkan jangan menyentuh urusan yang menjadi ranah pribadinya.

Desa Jatiwalu barangkali tak memiliki kesalahan yang cukup prinsip kepada Mahesa Birawa, kecuali karena dipimpin seorang Kepala Desa bernama Raden Ranaweleng (diperankan oleh Marcell Siahaan). Kegilaannya dilandasi atas rasa sakit hati cinta bertepuk sebelah tangan yang sepanjang waktu membuat tidurnya tidak nyenyak. 

Pemicunya adalah Suci. Perempuan anggun berwajah ayu/geulis kalem, oriental-Jawa/Sunda, rambut legam terikat menyingkap lehernya nan jenjang, tubuh semampai, senyum tersungging dari bibir sensualnya, yang... adakah yang lebih tepat selain Happy Salma sebagai pemerannya? 

Sumber Gambar : Twitter Vino G. Bastian dan Lifelike Pictures, Fox International Productions
Sumber Gambar : Twitter Vino G. Bastian dan Lifelike Pictures, Fox International Productions
Sayangnya, jika tidak ingin disebut sialnya, Suci lebih memilih menambatkan hatinya pada sosok santun bertanggung jawab dan penuh kasih sayang bernama Raden Ranaweleng. Cinta mereka semakin sempurna oleh kehadiran buah hati, laki-laki, bernama Wiro Saksana. Usianya sudah (saya perkirakan) 6 tahun. Mahesa Birawa kalah telak.

Dalam pertarungan yang cukup alot dan sengit, Raden Ranaweleng akhirnya meregang nyawa karena tak mampu mengatasi kesaktian Mahesa Birawa. Suci ikut menyusul suaminya ke alam baka. Dia memilih lebih baik mati daripada hidup sebagai tawanan cinta Mahesa Birawa. Dari balik jendela rumah tampak seorang bocah menyaksikan kedua orang tuanya dibantai oleh pendekar-pendekar yang tidak dikenalnya. 

Mahesa Birawa memerintahkan Kalingundil menangkap bocah itu lalu melemparkannnya ke kobaran api agar mati sekalian sehingga seluruh dendamnya tuntas dan tak berjejak. Beruntung, seorang nenek tua yang sakti, Sinto Gendheng (diperankan oleh Ruth Marini) dengan sigap segera menangkapnya sebelum benar-benar jatuh dan terpanggang hidup-hidup. 

Wiro Saksana dibawa terbang ke suatu tempat, meninggalkan Mahesa Birawa bersama pasukannya dengan tawa khasnya yang membahana memecah malam yang chaos dan penuh duka. Mahesa Birawa tampak tidak percaya menyaksikan peristiwa tersebut. Kenyataan yang berpotensi menjadi semacam duri dalam daging bagi Mahesa Birawa di masa depan.

Nun, di belantara hutan di kaki Gunung Gede, Wiro Saksana dibesarkan oleh Sinto Gendheng. Nenek sakti dengan lima tusuk konde yang menancap di kepalanya tersebut menggembleng Wiro Saksana untuk menjadi pendekar yang sakti mandagruna pembela kebenaran. 

Dari hari ke hari, dalam prosesnya, secara bertahap Sinto Gendheng mentransfer ilmu silat, baik dari segi teknis maupun kanuragan kepada Wiro Saksana. Sinto Gendheng juga memberikan ajaran-ajaran bersifat spiritual kepada Wiro Saksana, tentang Tuhan, falsafah hidup, kebaikan, kejujuran dan tentang arti manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Tujuh belas tahun berlalu dan oleh karena umurnya dianggap cukup, Sinto Gendheng merasa sudah saatnya mewariskan kesaktian paripurna kepada Wiro Saksana. Sinto Gendheng membekali Wiro Saksana dengan dua senjata pamungkas berupa Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam, kira-kira sejenis batu meteor yang jatuh ke bumi jutaan tahun lalu. 

Sinto Gendheng mengukir rajah berupa angka 212 di dada dan telapak tangan Wiro Saksana untuk melegitimasi kependekarannya. Sebagai identitas, Wiro Saksana diberi gelar oleh Sinto Gendeng dengan sebutan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dari sinilah asal-usul slogan atau pameo "Muridnya Sableng, Gurunya Gendheng" yang selama ini kita kenal. Sempurna.

Penjelasan tentang makna 212 yang ditanyakan oleh Wiro Sableng kepada Sinto Gendheng terkesan dangkal dalam naskahnya. Tidak cukup memuaskan untuk menemui sebuah pencerahan dari ajaran pemantapan keyakinan berupa Manunggaling Kawulo Gusti, yang jika ditelusuri maknanya, seperti dilansir dari kanal  rekreasipikir, menurut  Syech Siti Jenar, disebutkan bahwa "Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan" sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia :

"Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (Q.S. Shaad: 71-72).

Masih dari sumber yang sama, Menurut R. Ng. Ranggawarsita (1802-1873) : Pokok keilmuan Syech Siti Jenar disebut sebagai "Ngelmu Ma'rifat Kasampurnaning Ngurip" (ilmu ma'rifat kesempurnaan hidup [the science of ma'rifat to attain perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan basis ilmiah ajaran tersebut adalah renungan filsafat yg bentuk aplikasinya adalah metafisika dan etika.

Sinto Gendheng memerintahkan Wiro Sableng turun gunung dan mencari Mahesa Birawa untuk dibawa kembali ke hadapannya. Hidup ataupun mati. Bersamaan dengan itu pula, Wiro Sableng baru mengetahui fakta bahwa Mahesa Birawa bernama asli Suranyali, adalah mantan murid Sinto Gendheng yang membangkang dan diliputi dendam serta orang yang bertanggung jawab atas kematian kedua orangtuanya. Dengan kata lain, Mahesa Birawa (seharusnya) adalah kakak seperguruan Wiro Sableng. Klise!

Petualangan yang sesungguhnya dimulai. Namun, dari sini pula, nostalgia mulai tercoreng oleh plot--plot cerita yang masuk secara tiba-tiba. Alurnya menjadi tidak jelas.

Setelah berhasil menumbangkan Kalingundil dan Empat Brewok Dari Goa Sanggreng yang menyatroni keluarga kerajaan yang sedang melakukan penyamaran dalam perjalanan incognito di sebuah warung makan yang berdinding bambu. Atribut khas dalam film-film kolosal pada umumnya. 

Bahkan, disini ada satu adegan dimana Kalingundil berteriak lantang kepada pemilik warung (diperankan oleh Ence Bagus) untuk segera menyediakan makanan yang enak sambil menggebrak meja. Persis seperti sebuah iklan bumbu masak di era 90-an. 

Wiro Sableng segera mengejar salah satu dari Empat Brewok Dari Goa Sanggreng yang memburu Pangeran (diperankan oleh Yusuf Mahardika) yang berhasil lolos bersama kawalan tantenya, Rara Murni (diperankan oleh Aghniny Haque). 

Sebelum scene di warung makan tersebut, di perjalanan Wiro Sableng sempat bertemu Anggini (diperankan oleh Sherina Munaf) dan gurunya, Dewa Tuak (diperankan oleh Restu Triandy/Andy /rif). 

Kemunculan mereka juga tanpa penjelasan, latar belakangnya, darimana asal-usulnya, motivasi yang mendasarinya. Lebih menggelikan lagi, secara sekonyong-konyong Dewa Tuak menyodorkan Anggini untuk dijadikan istri Wiro Sableng. Sungguh aneh! 

Bagaimana mungkin dua makhluk asing yang baru pertama kali bertemu, bisa saling jatuh cinta lalu memutuskan untuk menikah? Padahal tidak tahu seluk-beluk masing-masing sebelumnya. Cinta pada pandangan pertama? Nonsense! Ingin memberikan sentuhan komedi romantis namun tidak memiliki bangunan naskah yang kuat. Dalam hal ini, jelas Hanung Bramantyo lebih ahli.

Sama halnya dengan kehadiran Bujang Gila Tapak Sakti (diperankan oleh Fariz Alfarizi). Penonton seolah diwajibkan untuk menerima dengan mahfum jalan cerita yang disajikan begitu saja. Jika ingin lebih tahu, silahkan baca bukunya, mungkin begitu pikir Produser, Sutradara, dan Penulis Naskah. 

Lalu, hey! Siapa sih, Kakek Segala Tahu (diperankan oleh Yayu Unru) yang selalu ada di pasar itu? Saya sungguh tidak mengerti. Seperti gagal paham saya akan pengalaman-pengalaman pahit ditolak bekerja oleh gerai makanan cepat saji produk Amerika yang mewarnai kisah sukses para jutawan dunia. Apa maksudnya? Ataukah mereka (para jutawan dunia itu) hendak mengatakan bahwa gerai makanan siap saji produk Amerika itu merupakan simbolisasi dari sistem kapitalis yang sudah selayaknya diberangus dari muka bumi?

Dalam perjalanan selanjutnya, setelah empat tokoh utama, Wiro Sableng, Anggini, Bujang Gila Tapak Sakti, Rara Murni menjadi akrab satu sama lain dengan cara yang ajaib yang diselingi insiden kecil pertemuan sekilas dengan Bidadari Angin Timur (diperankan oleh Marsha Timothy), Wiro Sableng dihadapkan pada kenyataan bahwa pencariannya menemukan Mahesa Birawa bermuara pada suatu peristiwa kudeta yang dilancarkan oleh keluarga sebuah kerajaan (ada yang ingat nama kerajaannya apa?). 

Diceritakan, Werku Alit (diperankan oleh Lukman Sardi) ingin menggulingkan dan menguasai kerajaan yang dipimpin oleh kakaknya sendiri, Paduka Raja Kamandaka (diperankan oleh Dwi Sasono). 

Sebagai otak dibalik makar, Werku Alit bersekongkol dengan salah satu prajurit dari dalam kerajaan bernama Kalasrenggi (diperankan oleh Teuku Rifku Wikana) yang diluar dugaan memiliki afiliasi dengan pasukan Mahesa Birawa. Selain Kalingundil dan Empat Brewok Dari Goa Sanggreng, Mahesa Birawa ternyata juga memiliki persekutuan dengan Bajak Laut Bagaspati (Cecep Arief Rahman), Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga (diperankan oleh Hanata Rue), dan Kala Hijau, anggota Partai dari Lembah Tengkorak (diperankan oleh Gita Arifin). 

Khusus Bajak Laut Bagaspati, penggambarannya dalam film ini mengingatkan saya pada Jack Sparrow (The Pirates Of Carribean). Selain cambuk sakti, Bajak Laut Bagaspati juga memiliki senjata berupa pistol.

Saya hampir saja keluar dari bioskop, meninggalkan film, ketika di tengah pertarungan yang cukup seru antara Wiro Sableng versus Mahesa Birawa, tiba-tiba Bidadari Angin Timur muncul lalu mengakhiri pertarungan yang hampir membunuh Wiro Sableng hanya dengan mengibas-ngibaskan gaunnya. What the... (?). 

Kehadiran Bidadari Angin Timur malah merusak kesakralan dalam sebuah pertarungan pertaruhan hidup dan mati. 

Padahal, penonton, atau setidaknya saya, ingin sekali melihat bagaimana Wiro Sableng bangkit dari situasi yang hampir membunuhnya. Bisa jadi, selain diharapkan memberi inspirasi, adegan tersebut berpotensi menjadi salah satu yang paling berkesan (epic) bagi penonton. Sebal sekali saya rasanya!

Marcella Zalianty sebagai Permaisuri kerajaan tidak mendapat porsi yang cukup. Sekedar pemanis yang tak memberi pengaruh signifikan bagi naskah film, sangat minim dialog. 

Barangkali, karena Produser, Sutradara, dan Penulis Naskah seperti memaksakan ingin menampilkan semua inti cerita dengan merangkum dari 185 serial bukunya ke dalam jatah durasi sepanjang 123 menit, yang terjadi adalah bangunan cerita yang tidak kokoh, banyak celah yang tak terjelaskan, sebuah kemasan film yang arah (visi dan misi) ceritanya berantakan, konflik yang muncul sepotong-sepotong.

Materi pemain jelas tidak perlu diragukan lagi. Dari segi sinematografinya yang melibatkan teknologi visual effect berupa Computer Graphic Images/Computer Generated Image (CGI), hasilnya juga sudah cukup mendukung meski ada sedikit editing yang agak kasar. Yang masih menjadi permasalahan cukup serius adalah naskah.

Terlepas dari penilaian subyektif saya, tidak bisa dipungkiri, Wiro Sableng menjadi salah satu film tanah air paling laris dan paling ditunggu. Disamping itu, film Wiro Sableng bisa menjadi pintu bagi dunia internasional untuk mengenal silat Nusantara. Selain, melalui event-event olah raga seperti Asian Games 2018 Jakarta-Palembang yang baru saja usai beberapa waktu lalu. Wiro Sableng berpotensi menjadi ikon bagi superhero lokal.

Sekali lagi, catatan dari saya, untuk lebih meneguhkan sifat sableng pada sekuel selanjutnya, saya sangat berharap sekali Vino G. Bastian bisa mempedomani Tony Hidayat. Bukan untuk menjadi Wiro Sableng sebagaimana Tony Hidayat. Akan tetapi, agar bagaimana Vino G. Bastian bisa memunculkan sifat sableng dengan lebih natural. Agar sifat sableng itu kembali ke khitahnya.

Apresiasi khusus juga saya berikan kepada Sherina Munaf yang mampu menterjemahkan karakter Anggini dengan sangat baik, yang cukup mampu menjadi sandaran bagi saya untuk tetap mengikuti film sampai selesai. Bukan karena dia cantik, jika mengambil kriteria cantik, tentu Agniny Haque lebih unggul dari Sherina Munaf. Akan tetapi keprofesionalan dia menjaga alur cerita untuk tetap terasa masuk akal bagi saya.

Saya memberikan rating 6.8/10. Selamat menonton!

Bogor, 1 -- 8 September 2018


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun