Kisah dibuka dengan Mahesa Birawa bersama asistennya, Kalingundil (diperankan oleh Dian Sidik) dan (sepertinya) satu pasukan pendekar yang berjuluk Empat Brewok Dari Goa Sanggreng menyerang desa bernama Jatiwalu.Â
Mahesa Birawa membebaskan seluruh pasukannya untuk mengambil apapun (harta benda, dan tentunya memperkosa gadis-gadis) dari desa tersebut asalkan jangan menyentuh urusan yang menjadi ranah pribadinya.
Desa Jatiwalu barangkali tak memiliki kesalahan yang cukup prinsip kepada Mahesa Birawa, kecuali karena dipimpin seorang Kepala Desa bernama Raden Ranaweleng (diperankan oleh Marcell Siahaan). Kegilaannya dilandasi atas rasa sakit hati cinta bertepuk sebelah tangan yang sepanjang waktu membuat tidurnya tidak nyenyak.Â
Pemicunya adalah Suci. Perempuan anggun berwajah ayu/geulis kalem, oriental-Jawa/Sunda, rambut legam terikat menyingkap lehernya nan jenjang, tubuh semampai, senyum tersungging dari bibir sensualnya, yang... adakah yang lebih tepat selain Happy Salma sebagai pemerannya?Â
Dalam pertarungan yang cukup alot dan sengit, Raden Ranaweleng akhirnya meregang nyawa karena tak mampu mengatasi kesaktian Mahesa Birawa. Suci ikut menyusul suaminya ke alam baka. Dia memilih lebih baik mati daripada hidup sebagai tawanan cinta Mahesa Birawa. Dari balik jendela rumah tampak seorang bocah menyaksikan kedua orang tuanya dibantai oleh pendekar-pendekar yang tidak dikenalnya.Â
Mahesa Birawa memerintahkan Kalingundil menangkap bocah itu lalu melemparkannnya ke kobaran api agar mati sekalian sehingga seluruh dendamnya tuntas dan tak berjejak. Beruntung, seorang nenek tua yang sakti, Sinto Gendheng (diperankan oleh Ruth Marini) dengan sigap segera menangkapnya sebelum benar-benar jatuh dan terpanggang hidup-hidup.Â
Wiro Saksana dibawa terbang ke suatu tempat, meninggalkan Mahesa Birawa bersama pasukannya dengan tawa khasnya yang membahana memecah malam yang chaos dan penuh duka. Mahesa Birawa tampak tidak percaya menyaksikan peristiwa tersebut. Kenyataan yang berpotensi menjadi semacam duri dalam daging bagi Mahesa Birawa di masa depan.
Nun, di belantara hutan di kaki Gunung Gede, Wiro Saksana dibesarkan oleh Sinto Gendheng. Nenek sakti dengan lima tusuk konde yang menancap di kepalanya tersebut menggembleng Wiro Saksana untuk menjadi pendekar yang sakti mandagruna pembela kebenaran.Â
Dari hari ke hari, dalam prosesnya, secara bertahap Sinto Gendheng mentransfer ilmu silat, baik dari segi teknis maupun kanuragan kepada Wiro Saksana. Sinto Gendheng juga memberikan ajaran-ajaran bersifat spiritual kepada Wiro Saksana, tentang Tuhan, falsafah hidup, kebaikan, kejujuran dan tentang arti manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Tujuh belas tahun berlalu dan oleh karena umurnya dianggap cukup, Sinto Gendheng merasa sudah saatnya mewariskan kesaktian paripurna kepada Wiro Saksana. Sinto Gendheng membekali Wiro Saksana dengan dua senjata pamungkas berupa Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam, kira-kira sejenis batu meteor yang jatuh ke bumi jutaan tahun lalu.Â