Mohon tunggu...
Istiana Nuraini
Istiana Nuraini Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Forever grateful

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gambaran Abstrak Miliknya

24 Januari 2021   11:24 Diperbarui: 24 Januari 2021   12:00 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini tokoh utama kita adalah seorang perempuan. Wajahnya dipenuhi dengan tai lalat dan sedikit noda hitam bekas jerawat, rambutnya kusam. Bibirnya hitam, hobinya merokok di mana-mana.

Tokoh Utama kita tak sibuk mencari perhatian lawan jenis, tak sibuk dengan media sosial yang joget sana sini. Apalagi sibuk dengan  memoles wajahnya, tokoh utama tak akan pernah melakukan hal itu. Menurutnya, semua itu membosankan.

Jika kau bertemu dengannya dan ingin mengajak berbincang, tak akan pernah mau. Ia lebih  memilih menghabiskan waktu dengan beberapa kertas yang berhamburan penuh coretan. Walaupun tengah malam, saat ide dalam otaknya terkuras, ia akan beranjak mencari gambaran yang tepat untuk memenuhi hasratnya.

Malam itu, yang hampir sama dengan malam-malam sebelumnya. Tokoh utama kita berjalan di antara kegelapan rumah mewah, hembusan angin mengenai rambutnya yang berantakan. Kemudian ia terdiam sejenak melihat salah satu rumah, dengan desain yang begitu elegan. Tokoh utama kita beringsut mendekati rumah itu, memberanikan diri duduk di tangga rumah. Setelah dirasa nyaman, ia pun mulai mengoreskan pensil pada sebuah buku kecilnya. Kemudian beberapa menit kemudian ia beranjak pulang.

Sesampainya di rumah, ia bergegas menghampiri kertas yang berhamburan. Mencari di laci sebuah kertas yang ukurannya lebih besar, ia mulai menggambar kembali sesuai dengan gambaran pada ketas kecil yang sudah ditempel pada dinding. Gambar itu berjejer dengan gambaran kecil lainnya.

....

Saat cahaya di ufuk timur mulia muncul, tokoh utama kita ini sudah siap. Membawa gulungan kertas yang berisi sesuai dengan gambaran di kertas kecil yang masih terlihat menempel di dinding. Ada satu keanehan di sana, ia berjalan menuju tempat yang didatangi tadi malam.

Beberapa langkah dari rumah kemarin, terlihat seorang laki-laki dalam mobil melambaikan tangan kepada seorang perempuan. Lalu melaju  dengan kencang, sehingga  tokoh utama kita  tak sempat memberikan gambaran itu padanya. kertas gulungan itu terpaksa diberikan kepada seorang perempuan. Perempuan itu tak lain adalah istri dari sosok yang melaju dengan mobil tadi.

"Apakah ini dipesan oleh suamiku?" tanya perempuan tersebut. Tokoh utama menjawab tidak. Karena penasaran dengan gulungan kertas, perempuan itu membuka, disusul tawa kecil dari bibirnya.

"Apa yang kau lihat dalam gambar tersebut?"

"Aku melihat sosok laki-laki yang jatuh dan berguling-guling di tangga"

Tokoh utama kita lalu pergi. Sedangkan perempuan tadi masih terus tertawa sembari kakinya melangkah masuk ke rumah. Tepat di hari ini. suasana kota sedang sibuk memberitakan pengusaha besar guling tikar, yang kutahu pengusaha itu adalah suami orang yang menerima gulungan kertas.

...

Sepertinya, malam nanti tokoh utama kita tak akan beranjak keluar mencari ide. Karena ia sudah sangat sibuk mengores kertas, setelah kejadian pertemuan dengan sepasang suami istri tadi siang.

Ketika perutnya mulai keroncongan, ia beranjak mencari persediaan makanan. Apesnya, ia tak menemukan sesuatu apa pun yang dapat memenuhi hasrat perutnya. Dengan sangat terpaksa ia harus keluar untuk urusan ini. Setibanya di salah satu pusat perbelanjaan, ia melihat sepasang suami istri lansia. Tokoh utama kita mematung sejenak, bukan terharu atau pun merasa kagum akan kedua pasangan itu. Karena bukan hal itu yang sedang ia pikirkan, melainkan  yang lain.

Setelah kejadian itu, tokoh utama kita menjadi terburu-buru, seperti mengejar sesuatu. Setibanya di rumah ia bukan malah memenuhi hasrat perut yang telah tertunda tadi, malahan memilih menghampiri meja kerjanya. Mengambil satu kertas besar dan seperti biasa ia mulai memolesnya, ternyata ia hanya ingin segera menuangkan ide.

Hari  telah berlalu, dari kemarin setelah ia memakan sepotong roti yang dibeli. Berjalan menelusuri kota, aku tak mengerti ia sedang mencari siapa. Tapi yang pastinya seseorang yang akan mendapat gulungan kertas darinya.

Tokoh utama kita berhenti di salah satu sudut taman, menghampiri seorang gadis yang sebaya dengannya. Gadis cantik, pendiam dan sepertinya kutu buku. Tanpa basa-basi tokoh utama kita memberikan gulungan kertas yang telah di persiapkan. Gadis itu pun membukanya, lalu mengernyitkan alis.

"Apa yang kau lihat?"

"Aneh, kau tak salah menanyakan hal itu, sedangkan gambaranmu menurutku hanya sekadar coret coretan abstrak."

"Kau benar, aku memang hanya mencoret-coret kertas itu. Tapi coba kau lihat lagi. Adakah sebuah gambaran  lain yang dapat kau lihat?"

"Oh iya aku mengerti, ternyata dari balik coretan ini ada sebuah jalan yang sepi kemudian terlihat seorang anak gadis merengkuh di sudut itu. Apakah benar itu?"

Tokoh utama kita hanya tersenyum tipis, lalu pamit.

Entah ini kebetulan lagi atau bagaimana, sekarang sepasang suami istri di pusat perbelanjaan adalah orang tua  dari gadis itu.

...

Sudah beberapa hari tokoh utama kita diam, saat dunia sibuk mencarinya. Gambaran-gambarannya mulai di pertanyakan, ia juga tak mau angkat bicara untuk  mengakuinya. Awal bulan musim semi, Tokoh utama kita berjalan di antara orang berlalu-lalang. Mereka belum juga bosan membicarakan gambaran tokoh utama kita, yang mereka anggap sebagai ramalan.

Kota ini begitu sangat yakin, jika seniman di balik gambaran abstrak itu adalah seorang peramal. Mereka ingin sekali menemukan orang di balik gambaran itu, karena memang beberapa orang ingin menanyakan bagaimana ia di masa depan, atau hanya sekadar ingin tahu sosok seperti apa di balik gambar itu.

Tokoh utama kita mengelar tikar di sudut pasar, menata semua gambaran kecil yang ia simpan. Awalnya beberapa orang hanya meliriknya, sampai satu orang tersadar dan berteriak jika dialah peramal gambaran abstrak.

Tokoh utama kita malah sibuk dengan kertas di depannya, semua orang berebut untuk di ramal.

"He peramal, apa yang kau gambar sekarang?"

"Apa yang kau lihat?"

"Ternyata kau mesum juga ya, mana mau aku menyebutnya"

"He apanya yang mesum, itu hanya seekor kucing dan tikus" salah satu dari mereka mengelak.

"Bukan! itu hanya sebuah jalan yang kosong dan sunyi" orang lainnya menimpali.

"Tak ada yang menarik dari lukisan itu" Timpal seorang ibu yang menggandeng anaknya.

Begitulah orang-orang sedang mencari kebenaran, apa yang ada dalam gambaran abstrak itu. Sampai ada seorang anak berkata pada tokoh utama kita.

"Nona kenapa gambaranmu begitu jelek, tetapi banyak orang yang melihatnya?"

Begitulah anak-anak, berani mengutarakan kejujuran dan berpendapat meski perkataannya kurang sopan.

"Coba kau lihat lagi. Sekarang apa yang kau lihat Nak?"

Anak itu terdiam sejenak, memerhatikan lukisan dari setiap sudutnya.

" Semangkok bubur" Katanya kemudian.

Tokoh utama kita tersenyum

"Kau benar Nak, aku sedang rindu bubur buatan nenekku."

"Sudahku bilang tadi, memang tak ada yang aneh di lukisan itu, tapi kalian tetap saja percaya" Kata ibu anak itu dan lalu menarik pergi anaknya. Sepertinya ibunya memang tak suka dengan ramalan.

Semua orang di sana, semakin bingung. Mengapa anak itu bisa menebak gambarannya, apakah memang ramalan itu ditujukan untuknya? Atau memang seorang anak mampu melihat kebenaran yang tersembunyi di balik suburnya kebohongan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun