Mohon tunggu...
Istiana Nuraini
Istiana Nuraini Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Forever grateful

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penyakit Hati

3 November 2020   06:56 Diperbarui: 24 Januari 2021   11:57 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara macam apa ini, tak ada yang peduli dengan kami. Tak perlu menyebut dengan kami kalangan menengah ke bawah, sebut saja dengan semestinya. Rakyat miskin, rakyat bodoh, atau gelandang mungkin. Terserah! Seenaknya kalian saja.

Dunia memang sibuk dengan pandemi yang menyebar, semua usaha telah dilakukan, tapi bagaimana dengan kami. Kami seorang petani miskin, semua kebutuhan hanya berpatok pada hasil tani. Jika seenaknya sendiri membeli hasil dengan harga murah, apa bisa kita makan. Semuanya menjadi dendam dalam hati, bagi para petani.

Dulu masih permulaan penyebaran virus COVID 19 ini, semua jalanan di tutup rapat, tak ada yang boleh keluar. Kami petani memaksakan diri keluar untuk mengais rezeki, bersyukurlah kalian yang masih bisa bekerja di rumah, tak usah mengeluh karena bosan. Kami yang harus pantas mengeluh, bukan kalian.

Kami memang hanya petani pisang, bukan bahan pokok yang penting. Tetapi hanya hasil panen pisanglah yang memenuhi kebutuhan kami, jika tak ada yang membeli bagaimana bisa membeli nasi, atau kami tak butuh nasi hanya perlu makan pisang setiap hari.

Ada warta baru yang sangat cepat menyebar kepada kami para petani, tak ada lagi tempat untuk menjual pisang-pisang ini. Semua tengkulak menolak membeli hasil panen kami, penyebabnya sama kebijakan baru menutup beberapa pasar di kota. Sembari memikul beberapa panen, raut wajah kami menjadi tak bersemangat, seperti bunga yang tak pernah disiram, layu dan terbuang. Tapi kami masih bersabar dan coba mengerti waktu itu.

Sampai akhirnya tiba di mana saat semua diperbolehkan, tak ada peraturan seperti sebelumnya, meski untuk protokol kesehatan tetap harus berlaku. Semua petani senang sudah tak ada lagi hasil yang tak laku di pasaran, disisi lain ada sesuatu yang mengusik pikiran. Keluarlah kebijakan baru dengan tujuan memperbaiki ekonomi, kami di sini kesal dan ingin marah. Jika itu tujuannya, tapi mengapa hasil kita di beli dengan murah, bahkan terasa tak butuh dengan pisang kami.

Kami sangat ingin mengakhiri semua penderitaan ini, rasanya ingin membawa semua panen ke gedung presiden, berjualan di depan sana saja. Karena amarah semua petani sudah tak tertahan, kami berbondong-bondong membawa semuanya ke pinggir kali. 

Membuang satu demi satu pisang itu, karena kami merasa tak berguna. Untuk apa bersusah paya memanen semuanya, jika nantinya hanya diupah dengan murah. 

Kami berjuang di luar dengan risiko besar malah mendapat hasil yang tak sepadan, kalian yang selalu mengeluh bosan , mendapat hasil sepuluh kali lipat dari kami. Kami merasa, ini tak adil.

Kami pikir aksi ini akan mengubah semuanya, ternyata tidak. Hidup tetap seperti sebelumnya, untuk kedua kalinya kami akan membuang hasil panen lagi. Tapi kami terhenti, seorang wanita muda mencoba meredakan api amarah kami. 

Wanita itu yang akan membeli semua hasil kami, dengan harga yang semestinya kami mau. Sungguh aneh perempuan itu, padahal di awal adanya pandemi ini, ia dikeluarkan dari pekerjaannya dan sekarang juga berprofesi seperti kami sebagai petani, tetapi ia hanya menjadi buruh tani sang juragan desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun