Mohon tunggu...
Faris Tsani Adhira
Faris Tsani Adhira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar yang mengunggah sisa tugasnya

Pena lentik mengurung diri dalam genggaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Tak Bertuhan

21 Desember 2021   10:16 Diperbarui: 27 Desember 2021   11:35 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah itu sudah tak jadi perhatian, abu berpuluh tahun sudah tersapu angin, kayu yang menghitam kian melepuh pula. Tak ada yang ziarah kesana, siapa juga yang mau lawatan ke rumah tak bertuhan? Lama kejadian pelik di tempat ini. Bara dan jeritan, adalah hiasan di Oktober merah 1965.


"Darajat, kita dipanggil Mayjen, segeralah kesana!", Pria berkumis itu berbalik arah setelah berbicara. Darajat segera bangun dari duduknya, ia melangkah keluar ruangan beranjang itu, melewati lorong yang sedikit berlumut. Darajat mengetuk pintu kayu di depannya, seseorang langsung membukakan pintu. Disana terdapat dua orang, yang satu pria berkumis tadi, dan satunya lagi Mayjen yang tadi disebutkan pula. Pria bertubuh tinggi gagah itu menyilakan Darajat dan pria berkumis untuk duduk.

"Negara ini dalam keadaan darurat!", Mayjen itu memulai pembicaraan.
"Ada apa memangnya, Apakah terkait demo kemarin?" Rasa penasaran menyelimuti Darajat, sepertinya dalam hati, wajahnya menyeringai. Ia berpikir misi inilah yang akan menuntunnya menjadi seorang Mayjen.
"Negara sedang di kudeta, Jawa berantakan, dan Presiden tak dapat diharapkan", Mayjen menjelaskan semuanya tentang keadaan genting negara ini.

Darajat menyiapkan ransel untuk keberangkatan, ia berjalan cepat di lapangan landas, di belakangnya diikuti pria berkumis yang juga membawa ransel berwarna sama. Pesawat itu naik, sayapnya diangkat udara, roda depan masuk kembali ke tempatnya.

Darajat seorang Brigadir jenderal, ia dikirim ke Flores saat kemerdekaan. Dia jugalah yang menyiar kabar bebasnya bangsa ini. Sebagai mantan anggota KNIL yang ulung, ia langsung diangkat sebagai Brigadir Jenderal. Begitulah singkatnya, tapi karirnya mandek. Keinginannya menjadi Mayjen tak pernah tercapai.

Bandung masih dingin hari itu, walaupun banyak suara gemuruh dimana-mana. Pekikan nama Tuhan banyak terdengar. Seorang pemuda ramping menyambut kedatangan Darajat. Rumah yang ia datangi merupakan markas ormas yang Mayjen suruh untuk kunjungi.
"Rumah mana yang akan kita serang anak muda?", Darajat bertanya tanpa basa basi, sang pemuda dengan gerak gerik hormat menunjukan lokasi rumah yang akan diserang.
"Rumah siapa ini?"
"Ini rumah seorang aktivis sayap kiri"
"Baiklah kita langsung bergerak kesana".

Darajat datang dengan mobil, bersama pemuda tadi. Kali ini pria berkumis tak ikut karena ditugaskan di tempat lain. Mobil bergerak cepat kearah timur Kota Bandung. Jalan begitu sepi dari kendaraan, hanya saja banyak pekikan lantang warga yang marah.

Rumah yang Darajat kunjungi tampak sedang di renovasi setengah jadi, terdapat banyak kayu tersusun rapi di depannya. Tapi tidak ada satupun pekerja disina. Warga menunggu kedatangan Darajat menantikan aba aba penyerangan, lima orang ia perintahkan untuk masuk lewat belakang. Darajat membuka pagar putih, keluar suara besi tua mengayun dari pagar itu. Lima warga dan pemuda tadi mengikutinya dari belakang.
Rumah itu sunyi, bahkan burung tidak ada yang tertarik hinggap. Ember berisi baju yang habis dicuci ada dekat pintu. Darajat tahu ada orang di dalam sana.
"Masuk!", Darajat memulai aba-aba, "Bunuh penghuni rumah ini, mereka tak bertuhan".

Pekikan nama Tuhan lantang bersuara. Lima warga masuk mendobrak paksa. Satu orang pergi ke kamar depan, memergoki seorang nenek tua yang bersandar di kursi.
"Tuan, apakah orang tua ini juga harus dibunuh?"
"Bunuh semuanya!", Darajat tanpa pandang bulu memerintahkan demikian.

Golok tajam menghujam, jantung tua memuncratkan darah yang sama tua. Tak ada jeritan, orang tua itu tergeletak, matanya sudah buta sejak awal. Kulit keriputnya yang tampak hidup kini kian bias memutih. Batuk terakhir keluar dari mulutnya, dahak berdarah memuncrat keluar mengenai kaki warga. Orang tua itu mati tanpa mengerti.

Di ruang lain warga menemukan seorang perempuan bersama anak kecil. Perempuan itu tampak tetap tegar tatkala dipergoki, anaknya memeluk membaluti kakinya. Mereka berdiri dipojok ruangan tanpa membawa apa-apa.
"Kami menemukannya!"
"Segera bunuh!", Sahutan Darajat itu disertai tangisan anak kecil dari dalam. Ia menjerit melihat keris menghujam dada ibunya, perlahan keris itu dicabut dan ditancapkan lagi dengan menyebut nama Tuhan. Darah ibunya mengucur deras, membanjiri wajahnya. Pelukan ia berikan, ibunya semakin tak berdaya. Jeritan semakin keras. Warga yang resah menendang kepala kecilnya hingga membentur jendela. Darajat melihatnya, kaca jendela itu pecah. Anak itu mengerang kesakitan, wajahnya tak bisa dikenali lagi penuh luka campur darah dirinya dan ibunya.

"Bakar rumah ini tanpa sisa!", perintah Darajat lantang. Warga yang dari tadi berjaga di belakang memutar menuang bensin di sekitar. Darajat merogoh kantong, mengambil korek, memantik dan melemparnya ke rumah itu.

Darajat segera masuk mobil, warga lain berlari mengejar di belakang. Sebelum suara mesin mobil terdengar, jeritan anak tadi terlebih dulu keras mengalir. Diiringi ledakan dahsyat yang menghanguskan mayat bersama puing rumahnya. Kasihan sekali anak itu, mati karena tinggal di rumah tak bertuhan.

Setelah patroli bersama warga ke rumah lainnya, Darajat pulang ke pos jaga, disana ia sendirian. Membuka kotak catur menggerakkan pion, bermain dengan dirinya sendiri. Ia tertawa sendiri, mengingat kejayaan yang akan ia dapatkan. Ratu hitam ia gerakan menyamping, "Skakmat!", tepat saat suara ratu hitam menyentuh papan, kesunyian pecah dengan meluncurnya sebuah peluru dari arah pintu mengenai tangan. Papan catur itu berantakan, terhempas tangan yang berayun tertembak. Peluru kedua datang dan kali ini membuat Darajat tergeletak tak berdaya. Tak sempat berbicara, mulutnya disumpal pion catur.

"Tak kusangka, kamu menikahi orang tak bertuhan. Tapi tak apa akulah yang akan jadi Mayjen", Darajat tak bisa menjawab perkataan pria berkumis itu, mulutnya penuh pion catur yang tersumpal dalam. Darajat menyadari suatu hal, tentang mengapa ia mati disini, tentang siapa anak tadi, tentang siapa orang tua tadi, dan tentang siapa perempuan tadi. Itu keluarga yang lama ia tinggal, mereka tak bertuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun