Mohon tunggu...
Faris Tsani Adhira
Faris Tsani Adhira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar yang mengunggah sisa tugasnya

Pena lentik mengurung diri dalam genggaman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Tak Bertuhan

21 Desember 2021   10:16 Diperbarui: 27 Desember 2021   11:35 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ruang lain warga menemukan seorang perempuan bersama anak kecil. Perempuan itu tampak tetap tegar tatkala dipergoki, anaknya memeluk membaluti kakinya. Mereka berdiri dipojok ruangan tanpa membawa apa-apa.
"Kami menemukannya!"
"Segera bunuh!", Sahutan Darajat itu disertai tangisan anak kecil dari dalam. Ia menjerit melihat keris menghujam dada ibunya, perlahan keris itu dicabut dan ditancapkan lagi dengan menyebut nama Tuhan. Darah ibunya mengucur deras, membanjiri wajahnya. Pelukan ia berikan, ibunya semakin tak berdaya. Jeritan semakin keras. Warga yang resah menendang kepala kecilnya hingga membentur jendela. Darajat melihatnya, kaca jendela itu pecah. Anak itu mengerang kesakitan, wajahnya tak bisa dikenali lagi penuh luka campur darah dirinya dan ibunya.

"Bakar rumah ini tanpa sisa!", perintah Darajat lantang. Warga yang dari tadi berjaga di belakang memutar menuang bensin di sekitar. Darajat merogoh kantong, mengambil korek, memantik dan melemparnya ke rumah itu.

Darajat segera masuk mobil, warga lain berlari mengejar di belakang. Sebelum suara mesin mobil terdengar, jeritan anak tadi terlebih dulu keras mengalir. Diiringi ledakan dahsyat yang menghanguskan mayat bersama puing rumahnya. Kasihan sekali anak itu, mati karena tinggal di rumah tak bertuhan.

Setelah patroli bersama warga ke rumah lainnya, Darajat pulang ke pos jaga, disana ia sendirian. Membuka kotak catur menggerakkan pion, bermain dengan dirinya sendiri. Ia tertawa sendiri, mengingat kejayaan yang akan ia dapatkan. Ratu hitam ia gerakan menyamping, "Skakmat!", tepat saat suara ratu hitam menyentuh papan, kesunyian pecah dengan meluncurnya sebuah peluru dari arah pintu mengenai tangan. Papan catur itu berantakan, terhempas tangan yang berayun tertembak. Peluru kedua datang dan kali ini membuat Darajat tergeletak tak berdaya. Tak sempat berbicara, mulutnya disumpal pion catur.

"Tak kusangka, kamu menikahi orang tak bertuhan. Tapi tak apa akulah yang akan jadi Mayjen", Darajat tak bisa menjawab perkataan pria berkumis itu, mulutnya penuh pion catur yang tersumpal dalam. Darajat menyadari suatu hal, tentang mengapa ia mati disini, tentang siapa anak tadi, tentang siapa orang tua tadi, dan tentang siapa perempuan tadi. Itu keluarga yang lama ia tinggal, mereka tak bertuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun