Mohon tunggu...
Adhi Christiyanto
Adhi Christiyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani

Saya seorang petani. Menulis adalah hobi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suami Melarang Istri Berkarier

18 April 2012   03:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29 6685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepasang manusia pria dan perempuan. Mereka bertemu pertama kali di kampus yang sama tempat mereka menimba ilmu. Mereka berpacaran. Lulus kuliah masing-masing bekerja untuk mengamalkan ilmu yang telah mereka dapat. Sang pria bekerja menjadi pegawai negeri sipil dan sang perempuan bekerja di sebuah penerbitan buku.

Singkat cerita mereka memutuskan untuk menikah. Terjadi kesepakatan. Suami bekerja dan istri di rumah menjadi ibu rumah tangga.

SUAMI KEPALA RUMAH TANGGA

Menjadi pegawai negeri sipil kantor pusat Jakarta memberi konsekuensi untuk sang suami siap ditugaskan di mana saja di seluruh wilayang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gaji sang suami boleh dikata cukup untuk menghidupi keluarga. Sehingga suami memutuskan untuk menjadi kepala rumah tangga dan satu-satunya tonggak ekonomi keluarga. Pada kenyataannya, memang suami mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Semua kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Kehidupan mereka berdua sebagai sebuah keluarga boleh dikata cukup.  Tatkala suami dipindahtugaskan ke daerah tertentu di luar Jawa, sang istri turut menyertai. Memang dari awal sudah disepakati demikian. Istri menjadi ibu rumah tangga dan suami menjadi kepala rumah tangga.

Sebagai pasangan baru, memiliki anak adalah harapan terindah. Dengan demikian kondisi istri harus dipersiapkan sebaik mungkin. Itu sebabnya istri tidak disibukkan dengan pekerjaan di luar rumah alias tidak diharapkan bekerja di luar rumah. Fokus dan konsentrasi hanya untuk mempersiapkan hadirnya si buah hati.

Setelah 2 tahun menikah, mereka dikaruniai seorang putera yang lucu dan sehat. Ekonomi keluarga baik-baik saja. Mereka berdua sebagai orang tua bisa memberikan kasih sayang dan kebutuhan jasmani untuk si buah hati. Suami makin rajin dalam bekerja karena sekarang memiliki tambahan tanggung jawab yaitu membesarkan si buah hati semata wayang. Kehidupan mereka berdua semakin beranjak membaik setelah lahirnya buah hati mereka.

Kesepakatan baru mulai dibuat. Dengan adanya si buah hati maka pekerjaan istri di rumah dalam mengurus rumah tangga bertambah. Suami tetap dengan tanggung jawabnya yang penuh sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai pengurus rumah dan pengurus buah hati mereka. Dengan hadirnya anak, hadir juga tanggung jawab baru untuk suami. Suami tidak semata mencari nafkah untuk keluarga tetapi juga untuk waktu-waktu tertentu di luar pekerjaan, juga ikut mengurus anak. Waktu akhir pekan menjadi hal baru untuk suami. Yang biasanya akhir pekan digunakan suami untuk rekreasi atau istirahat dari pekerjaan kantor, kini harus berbagi waktu dengan istri untuk mengurus anak. Memang itulah tugas seorang suami ketika di dalam keluarga mereka hadir anak si buah hati.

BUKAN KARENA KURANG TAPI KARENA INGIN BERKEMBANG

Dengan bertambahnya anggota keluarga, bertambah pula kebutuhan rumah. Dan sebagai keluarga muda, memiliki keluarga yang lengkap dan rumah yang layak untuk tempat tinggal adalah sebuah harapan mungkin juga bisa disebut sebagai sebuah keharusan. Ketika dulunya masih kontrak sana kontrak sini, kini harus memikirkan untuk memiliki rumah sendiri. Penghasilan suami jika istri pandai menabung, akan cukup untuk membeli rumah dalam kurun waktu yang panjang. Gaji suami yang tidak tergolong besar menuntut istri pandai-pandainya menabung. Tapi kebutuhan hidup di kota juga tidak murah. Banyak godaan, banyak juga pengeluaran-pengeluaran tidak terduga sehubungan dengan hadirnya si buah hati. Dari mulai susu bayi yang mungkin tergolong mahal atau si bayi tidak cocok dengan susu buatan pabrik yang biasa-biasa saja, sampai dengan susu ekslusif yang tidak lagi cukup untuk si bayi yang menuntut orang tua harus memberikan supplemen pengganti. Salah satunya susu pabrik yang berkualitas.

Hidup di tengah masyarakat dengan banyak tawaran konsumtif menjadi tantangan tersendiri. Mereka berdua sebagai sebuah keluarga juga ingin hidup layak. Layak dalam ukuran relatif. Apa sih yang disebut layak? Kadang kala untuk hal sederhana soal makan pun juga menjadi relatif. Menu 4 sehat 5 sempurna disebut sebagai ukuran yang layak. Makan di luar tiap minggu pun disebutnya sebagai ukuran kelayakan hidup. Rekreasi tiap minggu ke tempat-tempat rekreasi pun bisa menjadi ukuran layak. Memiliki kendaraan bermotor pribadi baik sepeda motor maupun mobil juga bisa menjadi ukuran layak.

Dan mungkin yang terakhir menjadi alasan adalah bukan karena layak dan tidak layak (karena ukuran layak ini relatif tergantung sudut pandang dan pola pikir masing-masing keluarga) tapi karena ingin berkembang. Tidak mau stagnan begitu saja. Dulu belum punya rumah, sekarang ingin punya rumah. Ingin punya motor sendiri. Sudah memiliki motor, ingin motor lagi sehingga masing-masing suami dan istri punya motor sendiri-sendiri. Ketika sudah hadir anak, ingin punya mobil supaya bisa bepergian bertiga dengan anak. Memberi keamanan dan kenyamanan lebih untuk si buah hati supaya tidak kepanasan atau kehujanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun