Bermula pertengahan 2013 silam, di Makassar. Saya mulai sering membeli koran (surat kabar) di langganan saya. Namanya, Sudarno.
Tapi, sebenarnya kenal (lihat) koran sejak masih kecil. Meskipun lupa tahunnya, koran pertama yang saya lihat adalah ketika dibawa ibu ke salah satu lapak koran di Jl Emmy Saelan, Mamuju.
Memang, dulu sering bersama ibu ke lapak itu. Meskipun tidak beli koran. Karena selain koran, lapak itu juga menjual buku lain. Ibu beli buku resep makanan dan teka teki silang, saya dibelikan Majalah Bobo.
Bertahun-tahun kemudian, ketika SD (sepertinya 2005), saya semakin dekat dengan koran. Rumah tempat saya mengetik tulisan ini, dulunya langganan koran.
Nama korannya Radar Sulbar. Setiap hari setiap pagi diantar oleh anak muda yang tidak terlalu tampan. Namun, punya etos kerja cukup baik. Korannya kadang dikasih langsung, kadang pula cuma diletakkan di meja teras.
Koran diantarnya menggunakan sepeda motor, Honda Supra X. Sepeda motor itulah yang kemudian juga ia pakai untuk menjemput dan mengantar penumpang, ngojek.
Saat selesai mengantar koran ke rumah-rumah dan kantor-kantor, ia beralih jadi tukang ojek pangkalan. Pekerjaan yang menyenangkan bagi dia yang hobi naik sepeda motor.
Di situlah, lebih kurangnya saya mulai mengenal koran. Meskipun tidak lantaran ikut membacanya. Mulai coba membaca ketika kelas XII SMA. Bukan koran. Tapi buku cerita. Meskipun tidak selalu dibaca habis.
Buku pertama yang habis saya baca adalah Bumi Manusia, karya Pramoedya. Buku itu saya dapatkan ketika masih mahasiswa baru di UIN Makassar. Dari buku itu kemudian saya diajak kembali mengenal koran lebih jauh. Mengenal sejarahnya, masih Hindia Belanda atau mungkin jauh sebelum itu, koran digambarkan secara gamblang. Jelas dan sangat mudah saya pahami. Tidak berbelit-belit.
Tidak hanya cukup mengenal koran. Saya kemudian mengenal sejarah hidup Tirto Adhi Soerjo. Meskipun tidak sepopuler para tokoh sejarah pergerakan nasional lainnya seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hadjar Dewantara, maupun Soekarno atau Mohammad Hatta. Andil Tirto Adhi Soerjo teramat besar sebagai orang yang mulai menentang penindasan. Caranya tentu apik. Elegan dan modern.
Kiprah Tirto dirintis sejak awal abad 20. Perjuangannya lewat jalur jurnalistik dan berbagai organisasi pergerakan. Rakyat Hindia Belanda waktu itu disadarkan untuk berpikiran lebih maju. Sosok dan pemikirannya, bagi sejarah pers Indonesia dan pergerakan nasional inilah yang menjadi inspirasi lahirnya Tirto.id.
Di berbagai referensi Tirto Adhi Soerjo, ia adalah orang Indonesia pertama yang menerbitkan surat kabar yang ditulis, dimodali, serta dikelola oleh sendiri. Soenda Berita.
(mungkin) Tahun 1907, Tirto Adhi Soerjo mendirikan dan memimpin penerbitan koran lainnya, yaitu Medan Prijaji. Inilah surat kabar pertama di Indonesia yang menjalankan fungsi jurnalisme advokasi.
Kecintaan koran semakin menjadi-jadi. Bermula pertengahan 2013 silam, di Makassar. Saya mulai sering membeli koran (surat kabar) di langganan saya. Namanya, Sudarno.
Sama seperti perantau lain, Sudarno yang berasal dari Jawa juga mengawali perantauannya sejak tahun 2000. Alasannya lucu. Ketika sebagian besar daerah di Jawa belum stabil karena ulah Orde Baru. Ha ha ha...
Tidak sedikit cerita dari perantau memang dimodali dari rasa genting dan gelisahnya. Mereka berangkat, tidak peduli cukup uang apa tidak. Yang penting bisa bertahan besok. Besok dan besoknya lagi di daerah tujuan. Sulawesi, khususnya Makassar adalah pintu mengasikkan bagi masuknya perantau. Termasuk Sudarno.
Perkenalan saya dengan Sudarno memang tidak dalam. Itu pun terpaksa karena hanya lapak yang dijajakan paling dekat dengan kost tempat saya tinggal.
Minggu pagi itu, selepas sarapan pagi, saya singgah di lapaknya. Koran pertama yang saya cari, Fajar. Bukan tanpa alasan, lima hari lalu saya mengirim tulisan ke sana. Semacam cerita pendek.
Fajar memang menyediakan kolom khusus bagi orang yang mau menulis. Kebetulan kolom bagi puisi dan cerita pendek serta apresiasi terbit hari Minggu. Rubrik Budaya. Harganya cuman Rp 5.000 per eksemplar. Uang pecahan seribuan itu lalu saya berikan ke Sudarno. Sudarno kemudian memberikan saya koran.
Saya tidak lantas pulang ketika koran sudah saya raih. Hujan tiba-tiba turun. Terpaksa saya berteduh di samping lapak Sudarno. Karena mungkin kasihan, Sudarno mengajak saya masuk ke lapaknya, yang sependek ingatan saya hanya berukuran dua meter. Sempit sekali.
Menunggu hujan yang tidak kunjung reda saya mengisi waktu membuka setiap halaman koran. Maksud mencari tulisan saya. Dalam hati berkata "semoga terbit deh". Ah.. belum beruntung. Rupanya redaktur Fajar lebih memilih tulisan dosen UMI. Saya lupa namanya.
Tak mau bersedih, koran saya tutup dan lipat baik-baik. Percakapan dengan Sudarno dimulai. Panjang lebar, walaupun semua sebenarnya hanya basa-basi. Tidak ada isi.
Hujan mulai reda. Saya pamit ke Sudarno. Sebelum pamit sudah saya bilang, kalau pun besok saya agak telat paginya, simpankan saya koran yang sama. Maklum, waktu itu, koran kadang sudah habis sebelum jam 8 pagi.
Tiba di kosan, saya masih memikirkan tulisan yang tidak terbit itu. Padahal bagi saya, tulisan itu ok juga. Tapi lebih mungkin penilaian redaktur tidak ok. Saya kemudian ingat, teman saya dulu pernah bilang, kalau mau menulis di koran harus sering baca-baca koran.
Perhatikan tulisan yang sering dimuat di koran itu. Katanya, redaktur atau perusahaan media punya karakteristik sendiri mengenai tulisan yang bakal terbit di korannya.
Ucapan itu yang kemudian saya pegang. Hampir setiap hari saya membeli koran di Sudarno. Koran apa saja. Membaca hampir setiap tulisan yang dikirim orang. Sudarno pun sudah paham jika saya datang ke lapaknya. Kadang ngutang karena uang lebih dulu habis untuk kuota internet.
Setelah merasa paham dengan maksud ucapan itu, tulisan saya banyak saya kirim ke media-media di Makassar. Fajar, Tribun Timur, Koran Amanah, Sindo Makassar sesekali Harian Kompas.
Bentuknya opini. Memilih opini karena tulisan itu yang sebenarnya paling punya peluang diterbitkan. Koran menyediakan rubrik opini yang terbit setiap hari. Semakin kekinian isunya, semakin berpeluang diterbitkan.
Bukan di Fajar. Bukan pula di koran Makassar. Tulisan pertama saya terbit di koran Radar Sulbar, Mamuju. Tahun 2015. Berkesan memang. Meskipun koran itu belum menyediakan honor bagi penulis yang mengirimkan tulisannya. Tapi, bagaimana pun persoalan honorarium, cuman bonus belaka.
Bukan lagi di Fajar, tulisan pertama saya yang diterbitkan koran di Makassar malah Tribun Timur. Itu pun waktu saya kebetulan di Sinjai. Menulis tentang desa tempat saya KKN. Heheheh Menulis di posko ditemani pisang goreng.
Kabar dimuatnya tulisan saya juga datang dari Sudarno.
Pemilik lapak koran yang saya ceritakan tadi. Lewat pesan WA sekitar pukul 9 pagi. Saya kemudian membalasnya. Honor saya dari Tribun Timur akan saya bagi dua ke Sudarno.
Setelah itu kemudian saya terus mengirim tulisan. Memang benar kata orang, tulisan yang diterbitkan media membuat kita sebagai penulis kecanduan. Saya terus mengirim tulisan ke beberapa media. Banyak tulisan yang saya kirim dan lebih banyak pula yang ditolak redaktur tanpa sebab.
Namun, bagi saya, menulis bukan soal dimuatnya atau tidak. Bukan pula soal honornya ada atau tidak. Tapi, menulis adalah refleksi diri. Membaca apa yang belum dibaca dalam diri. Semakin sering menulis, semakin menyadarkan saya jika saya ini tidak tahu apa-apa.
Kecintaan saya terhadap koran semakin meluas. Tentu semua bermula dari Bumi Manusia dan Sudarno dan semua orang-orang baik di sekitar saya. Entah kebetulan atau bukan, kemudian saya bekerja di salah satu perusahaan koran yang telah menerbitkan tulisan pertama saya di koran. Radar Sulbar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H