Mohon tunggu...
Adhe Junaedi Sholat
Adhe Junaedi Sholat Mohon Tunggu... Buruh - Memahamimu. Memahamiku

Catatan pendek dari pikiran panjang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hari Pers Nasional dan Saya Masih Cinta Koran

9 Februari 2022   20:29 Diperbarui: 9 Februari 2022   20:30 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di satu festival di SMA Negeri 1 Mamuju, 2012

Tak mau bersedih, koran saya tutup dan lipat baik-baik. Percakapan dengan Sudarno dimulai. Panjang lebar, walaupun semua sebenarnya hanya basa-basi. Tidak ada isi.

Hujan mulai reda. Saya pamit ke Sudarno. Sebelum pamit sudah saya bilang, kalau pun besok saya agak telat paginya, simpankan saya koran yang sama. Maklum, waktu itu, koran kadang sudah habis sebelum jam 8 pagi.

Tiba di kosan, saya masih memikirkan tulisan yang tidak terbit itu. Padahal bagi saya, tulisan itu ok juga. Tapi lebih mungkin penilaian redaktur tidak ok. Saya kemudian ingat, teman saya dulu pernah bilang, kalau mau menulis di koran harus sering baca-baca koran.

Perhatikan tulisan yang sering dimuat di koran itu. Katanya, redaktur atau perusahaan media punya karakteristik sendiri mengenai tulisan yang bakal terbit di korannya.

Ucapan itu yang kemudian saya pegang. Hampir setiap hari saya membeli koran di Sudarno. Koran apa saja. Membaca hampir setiap tulisan yang dikirim orang. Sudarno pun sudah paham jika saya datang ke lapaknya. Kadang ngutang karena uang lebih dulu habis untuk kuota internet.

Setelah merasa paham dengan maksud ucapan itu, tulisan saya banyak saya kirim ke media-media di Makassar. Fajar, Tribun Timur, Koran Amanah, Sindo Makassar sesekali Harian Kompas.

Bentuknya opini. Memilih opini karena tulisan itu yang sebenarnya paling punya peluang diterbitkan. Koran menyediakan rubrik opini yang terbit setiap hari. Semakin kekinian isunya, semakin berpeluang diterbitkan.

Bukan di Fajar. Bukan pula di koran Makassar. Tulisan pertama saya terbit di koran Radar Sulbar, Mamuju. Tahun 2015. Berkesan memang. Meskipun koran itu belum menyediakan honor bagi penulis yang mengirimkan tulisannya. Tapi, bagaimana pun persoalan honorarium, cuman bonus belaka.

Bukan lagi di Fajar, tulisan pertama saya yang diterbitkan koran di Makassar malah Tribun Timur. Itu pun waktu saya kebetulan di Sinjai. Menulis tentang desa tempat saya KKN. Heheheh Menulis di posko ditemani pisang goreng.
Kabar dimuatnya tulisan saya juga datang dari Sudarno.

Pemilik lapak koran yang saya ceritakan tadi. Lewat pesan WA sekitar pukul 9 pagi. Saya kemudian membalasnya. Honor saya dari Tribun Timur akan saya bagi dua ke Sudarno.

Setelah itu kemudian saya terus mengirim tulisan. Memang benar kata orang, tulisan yang diterbitkan media membuat kita sebagai penulis kecanduan. Saya terus mengirim tulisan ke beberapa media. Banyak tulisan yang saya kirim dan lebih banyak pula yang ditolak redaktur tanpa sebab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun