Entah, kenapa, saya selalu merasa tidak percaya bahwa orang yang sedang membaca buku di cafe-cafe mengerti apa yang ia telah baca.
Mematikan musik dan menyuruh pengunjung lain untuk diam karena ada seseorang membaca sama saja dengan mengusir semua pengunjung yang ada. Artinya itu sama saja mengusir setiap pundi-pundi rupiah.Â
Satu orang pembaca tentu tidak nemilik hak untuk didengarkan keluhan kesahnya, dibanding puluhan pengunjung yang sedang nongkrong cantik dan ganteng. Padahal si pembaca punya hak untuk mendapat ketenangan jika cafe tersebut memang betul-betul ingin meningkatkan literasi dan akrab dengan pengunjung pembaca.
Tapi, bukan berarti saya juga pesimis dengan situasi seperti yang saya uraikan. Ada saatnya nanti, di mana semua orang akan membaca buku, di mana saja. Situasi di mana semua orang akan memberi ruang bagi orang yang membaca buku.
Membaca itu sama seperti makan. Dan seperti sedang makan, selalu ada proses-proses sampai pada hasil. Mulai dari menyendok, memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya, lalu kemudian ditelan hingga sampai di pencernaan dan akhirnya kenyang. Membaca juga seperti itu, selalu ada proses-proses hingga kita menuai hasil dari bacaan kita.
Semoga saja kelak, itu akan terjadi, dan saya bisa segera kembali mengembalikan minat baca saya yang belakangan ini menurun. Semoga saya tidak akan malas lagi membaca, tidak perlu dulu banyak menulis seperti ini, jika bacaan masih jauh dari anggapan orang.
Pada pesan terakhir, jangan mencontohi laku buruk saya. Membacalah terus.
#ajs
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H