Mohon tunggu...
Adhe Junaedi Sholat
Adhe Junaedi Sholat Mohon Tunggu... Buruh - Memahamimu. Memahamiku

Catatan pendek dari pikiran panjang

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Cafe Juga Bisa Dijadikan Tempat Membaca yang Khidmat

11 September 2018   02:21 Diperbarui: 11 September 2018   07:51 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan bacaan buku saya menurun. Saya lebih menghabiskan suara dengan berkomentar pada banyak hal kurang penting. Termasuk ikut campur masalah politisi. Saya sadari, bahwa saya lebih suka berkomentar ketimbang bertindak dan bergerak. Pokoknya hasil tidak, yang penting komentar sampai.

Dulu, saya bisa menyelesaikan bacaan satu hingga dua buku dalam sebulan, kadang jika buku yang saya baca tidak terlalu tebal, kisaran 200-an halaman, bahkan malah bisa sampai tiga buku dalam sebulan. Itu dulu. 

Sekarang, bahkan menyelesaikan satu buku saja, amat berat. Jika membaca buku, saya mendapati diriku sebenarnya tidak mengetahui apa-apa. Ada begitu banyak sesuatu yang saya tidak tahu, dan karena membaca, saya semakin terus mencari apa yang tidak saya ketahui.

Sekarang, justru, saya senang membeli buku, tapi, kesenangan itu tidak berbanding lurus dengan kesenangan saya membaca. Ada banyak buku yang saya beli, tapi tidak banyak yang saya baca. Semua masih tersusun rapi di atas meja.

Pernah suatu hari kembali untuk serius membaca buku, tapi seketika sirna, saat ada keluarga dari Mamuju datang ke Makassar untuk berobat. Alhasil saya, harus selalu berada di rumah sakit. Tanpa buku.

Saya barangkali tipe orang yang tidak suka membaca di tempat ramai, membaca di antara orang-orang yang mengobrol, mondar-mandir, mendengar suara musik.

Saya lebih suka membaca jika tidak ada satu orang pun berada di samping saya. Membaca tanpa suara apa pun, suasana hening dan tenang. Dan, saat seperti itu, saya lebih dalam menyelami buku yang saya baca.

Barangkali saya bukan orang yang suka membaca di ruang terbuka, di cafe yang menyediakan banyak sekali buku di rak dinding. Saya tentu tidak bisa membayangkan, apa yang nantinya akan saya dapat ketika membaca banyak kalimat sambil mendengar suara musik cafe atau suara orang ngobrol atau suara gem onlen dari hape. Padahal, jika bisa, saya juga mau seperti yang lain, yang bisa tetap khidmat membaca sambil didengarkan musik tiktok!

Bicara tentang buku dan cafe. Saya selalu ingin menanyakan ini, ke banyak ahli, tentang pantaskah buku-buku dipajang di cafe-cafe untuk dibaca orang yang datang. Saya selalu melihat bahwa saat ini, cafe-cafe di banyak daerah tidak lagi menawarkan makanan dan minuman sebagai sajian bagi pengunjung, tidak lagi memanjakan pengunjung dengan konsep interior cafe, melainkan memajang banyak buku bacaan seperti yang ada di perpustakaan, dengan maksud barangkali demi meningkatkan minat baca manusia.

Saya senang, jika si pemilik cafe juga mencintai dan memerhatikan literasi demi kemajuan bangsa yang pasti akan jauh lebih baik. Tapi, apakah si pemilik cafe juga rajin membaca? Tapi, apakah, si pemilik cafe sadar jika sebenarnya cafe bukanlah tempat baik bagi buku? Bukan tempat baik untuk membaca? Atau barangkali buku hanya jadi "tumbal" untuk mendatangkan pelanggan? O tidak, jangan sampai. Sebab, masih banyak pustaka-pustaka yang dikelola oleh orang-orang hebat yang masih kekurangan buku bacaan.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa akan sampai mana kita terus berbohong. Mungkin saya salah kalau menganggap cafe tidak cocok untuk dijadikan tempat membaca buku. Tapi, saya ingin menanyakan kepada kalian, maukah si pemilik cafe mematikan musiknya dan melarang pengunjung lain untuk tidak ribut kalau ada seseorang yang membaca buku di tempat itu? Biar si pembaca buku, bisa dengan khusuk menunaikan ibadah baca bukunya sampai selesai.

Entah, kenapa, saya selalu merasa tidak percaya bahwa orang yang sedang membaca buku di cafe-cafe mengerti apa yang ia telah baca.

Mematikan musik dan menyuruh pengunjung lain untuk diam karena ada seseorang membaca sama saja dengan mengusir semua pengunjung yang ada. Artinya itu sama saja mengusir setiap pundi-pundi rupiah. 

Satu orang pembaca tentu tidak nemilik hak untuk didengarkan keluhan kesahnya, dibanding puluhan pengunjung yang sedang nongkrong cantik dan ganteng. Padahal si pembaca punya hak untuk mendapat ketenangan jika cafe tersebut memang betul-betul ingin meningkatkan literasi dan akrab dengan pengunjung pembaca.

Tapi, bukan berarti saya juga pesimis dengan situasi seperti yang saya uraikan. Ada saatnya nanti, di mana semua orang akan membaca buku, di mana saja. Situasi di mana semua orang akan memberi ruang bagi orang yang membaca buku.

Membaca itu sama seperti makan. Dan seperti sedang makan, selalu ada proses-proses sampai pada hasil. Mulai dari menyendok, memasukkannya ke dalam mulut, mengunyahnya, lalu kemudian ditelan hingga sampai di pencernaan dan akhirnya kenyang. Membaca juga seperti itu, selalu ada proses-proses hingga kita menuai hasil dari bacaan kita.

Semoga saja kelak, itu akan terjadi, dan saya bisa segera kembali mengembalikan minat baca saya yang belakangan ini menurun. Semoga saya tidak akan malas lagi membaca, tidak perlu dulu banyak menulis seperti ini, jika bacaan masih jauh dari anggapan orang.

Pada pesan terakhir, jangan mencontohi laku buruk saya. Membacalah terus.


#ajs

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun