Kapasitas desa yang menurut Badan Pusat Statistik lebih dari 80 ribu ini sangat berpotensi menjadi mesin politik yang luar biasa massif untuk memenangkan kontestasi politik 2024. Tuntutan perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) adalah fakta kuat adanya transaksi politik. Itu terjadi dengan jelas, dimana beberapa kepala desa yang tergabung dalam aksi lalu mengecam nasib suara partai politik yang duduk di Parlemen pada Pemilu 2024 jika mereka menolak tuntutannya.
Urgensi Substansi Revisi UU Desa
Setiap aksi akan memunculkan reaksi. Secara kelembagaan bisa dilihat dukungan terhadap tuntutan kepala desa mengalir dari parlemen, kementerian, hingga Istana. Semangat mendukung ini kemudian berbanding lurus dengan semangat mengkritik tuntutan yang dianggap "syahwat kekuasaan" ini dari berbagai golongan masyarakat. Dukungan dari lembaga negara secara terbuka janganlah membuat kepala desa menjadi jemawa. Namun, para kepala desa harus lebih waspada mengingat relasi antara dukungan dan kepentingan kekuasaan sangat erat. Ketakutan yang muncul jika dukungan ini bersyarat transaksional politik di masa pemilu yang akan datang sehingga demokrasi digunakan sebagai alat oligarki, bukan demokratisasi.
Revisi UU Desa pada dasarnya adalah hal yang wajar selama berpedoman pada 3 aspek utama, yakni filosofis, sosiologis, dan yuridis. Yang perlu menjadi perhatian dan catatan untuk semua kalangan, revisi UU Desa jangan sampai jatuh pada kepentingan politik transaksional. Konfigurasi politik yang dibangun dalam membuat produk hukum harus berangkat dari konfigurasi politik yang demokratis dan prinsip moralis. Isu penting dalam revisi UU Desa justru tentu bukan hanya berkaitan dengan masa jabatan semata, yang utama adalah bagaimana revisi UU Desa mampu merespons berbagai macam perubahan sosial seperti disrupsi ekonomi dalam lingkungan masyarakat yang apabila di rangkum meliputi: status desa dalam tata kelola pemerintahan NKRI, kewenangan desa dan pemerintah desa dalam mengatur dan mengurus rumah tangga desa dan kepentingan masyarakat desa, dan isu lainnya yang dianggap urgen.
Masyarakat desa memiliki struktur solidaritas sosial yang kuat. Spirit gotong royong, kerja sama, dan kebersamaan sangat kental terasa. Inilah bentuk kesolidan mekanik untuk kerja social. Akan tetapi, solidaritas tersebut jika bersinggungan dengan konflik kepentingan dengan mudah akan menciptakan damarkasi sosial. Kontestasi politik juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Perkara pilihan dalam kontestasi adalah hal yang rentan melahirkan ceruk perpecahan. Akibatnya, kecanggungan berpolitik karena bersinggungan dengan konstruksi solidaritas pedesaan bertransformasi pada kecanggungan hidup bersosial. Butuh waktu untuk lama menghilangkan kecanggungan-kecanggungan yang ada. Ini adalah soal persepsi sosial yang menjadi anasir politik dari sejumlah Kades. Perbaikan terhadap keretakan sosial tidak hanya menyangkut waktu, melainkan bangunan komunikasi politik seorang pemimpin (Kades) dengan warga desanya. Artinya, pendekatan patronasi ketokohan (social leader) dengan mengedepankan nilai dan moralitas pedesaan menjadi hal fundamental untuk meredam konflik sosial akibat perbedaan pilihan dalam politik. Kepemimpinan seorang Kades akan diuji di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H