Publik kembali di hebohkan dengan adanya pemberitaan bahwa sebanyak 6 Fraksi DPR menyetujui masa perpanjangan jabatan kepala desa yang semula 6 tahun dalam 3 periode menjadi 9 tahun dalam 2 periode. Mereka antara lain dari Fraksi Golkar, PDIP, PKB, Gerindra, PKS, dan PPP. Sementara sisa tiga fraksi lainnya, yakni NasDem, Demokrat, dan PAN belum menyatakan sikap, dikarenakan Ketiga fraksi tersebut absen dalam rapat panitia kerja (panja) yang membahas soal revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di Badan Legislasi DPR. (CNN, Kamis 22/6).
Kondisi ini tidak terlepas dari aksi yang dilakukan sebelumnya oleh sejumlah kepala desa untuk menuntut adanya Revisi terhadap UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya perihal masa jabatan kades yang awalnya 6 tahun menjadi 9 tahun. Aksi demonstrasi tersebut didukung oleh Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) yang bahkan mengancam untuk menyelenggarakan demonstrasi yang lebih besar jika tuntutan tidak dikabulkan. Sikap tersebut patut dipertanyakan, sebab tuntutan memperpanjang masa jabatan kades tidak memiliki dasar yang rasional, terkesan dipaksakan, bahkan cenderung transaksional.
Penghianatan Terhadap Negara Hukum dan Konstitusi
Apabila ditinjau dalam perspektif Negara hukum dan konstitusi, penambahan masa jabatan kepala desa bertolak belakang dengan semangat pembatasan kekuasaan dan amanat konstitusi dalam prinsip negara hukum di Indonesia. Selain itu, masa jabatan yang panjang akan membuka peluang korupsi lebih besar, serta melanggar dan mengkhianati prinsip demokrasi yang telah susah payah dibangun sejak dulu. Cara bernegara kita mengatur adanya sirkulasi kekuasaan untuk memberikan akses kuasa yang sama terhadap warga negara. Konstitusi menghendaki demikian agar publik dapat melakukan koreksi dan evaluasi dalam ritual tahunan demokrasi, yaitu Pemilu. Artinya, dalam suksesi kepemimpinan, kontrak sosial dalam konstruksi bernegara terus terjalin dalam perbincangan antara penguasa dan warga negara (Ferdian Andi, 2021).
Pembatasan kekuasaan juga sebagai upaya menghindari absolutisme dan keserakahan. Sebab bangsa kita memiliki pengalaman traumatik dengan kekuasaan absolut yang melahirkan totalitarianisme. Presiden Soekarno pernah mendeklarasikan diri sebagai Presiden seumur hidup, Soeharto juga menggunakan instrument dan organ negara sebagai alat melanggengkan kekuasaannya. Oleh karene pengalaman tersebut, Konstitusi menyadari dan mengatur pembatasan kekuasaan agar tidak jatuh pada kesewenang-wenangan. Kita perlu menghayati apa yang dikatakan Lord Acton, seorang professor sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris bahwa "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).
Alasan dan Kondisi Desa Hari Ini
Jika dirangkum dari berbagai sumber, maka akan ditemukan bahwa alasan perpanjangan masa jabatan ini adalah untuk meredam kondisi social pasca pemilihan kepala desa yang akan berakibat pada tergangunya stabilitas jalannya pemerintahan di desa. Namun lagi-lagi alasan ini sangat susah untuk di rasionalkan. Sebab hampir tidak ditemukan relasi antara dinamika perpolitikan desa dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa selama 6 tahun sebagaimana diatur saat ini.
Desa hari ini masih dilingkupi sejumlah masalah, mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi. Tren penindakan korupsi yang diinventarisir ICW setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan, sebab korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-202 dimana terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Oleh karena itu, pengambil kebijakan, baik itu eksekutif maupun legislatif, seharusnya fokus urun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk didalamnya mereduksi potensi korupsi. Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa.
Potensi Politik Transaksional Menuju 2024
Politik transaksional masih menjadi bagian dari tipologi perpolitikan di Indonesia. Kita memahami politik transaksional sebagai politik balas budi, berbagi keuntungan dari suatu kemenangan politik. Ia terjadi di antara dua pihak. Bisa pemerintah dengan rakyat, parlemen dengan elit parpol, atau penguasa dengan pengusaha. Indikasinya bisa berupa money politics, oligarki, politik pragmatisme, karpet merah penanaman modal, populisme, bahkan barter jabatan, atau lebih tepatnya lebih tepatnya melanggengkan kekuasaan.