Tumbuh suburnya dinasti politik khususnya di daerah tidak terlepas dari peran partai politik dan regulasi tentang Pilkada. Oligarki di tubuh partai politik menyebabkan mekanisme kandidasi dan pencalonan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selama ini terdapat kecenderungan pencalonan kandidat oleh partai politik berdasarkan keinginan elite partai, bukan melalui mekanisme yang demokratis dengan mempertimbangkan kemampuan dan integritas calon.
Secara bersamaan, dinasti politik terus membangun jejaring kekuasaannya dengan kuat agar tetap dapat mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh partai baik di tingkat daerah maupun pusat.
Sehingga dapat dipastikan dinasti politik mampu menguasai dan mematikan demokrasi dalam partai politik. Dalam konteks masyarakat sendiri juga muncul sinyalemen upaya menjaga status quo di daerahnya dengan mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahana.
Terlepas dari substansi demokrasi yang sulit diwujudkan karena adanya dinasti politik, idealnya dinasti politik tidak sekadar terkait dominasi kekuasaan oleh seorang aktor politik yang mewariskan dan mereproduksi kekuasaannya kepada keluarganya, juga tidak hanya dipahami dalam perspektif politik, tetapi juga menjadi masalah sosiologis dalam realitas masyarakat.
Justru yang menjadi masalah akut adalah kekuasaan yang dibangun dengan dinasti politik juga tidak mampu membawa perubahan sosial ekonomi kepada masyarakat banyak.
Kekuasaan hanyalah menjadi tameng bagi keluarganya untuk menguasai hajat hidup orang banyak dan dilakukan hanya untuk memakmurkan kekuasaan ekonomi politik lingkaran keluarganya.
Dinasti politik sejatinya bukan hanya menjadi kepentingan kolektif warga masyarakat di daerah, melainkan juga menjadi agenda bangsa dalam mendekonstruksi gejala-gejala kekuasaan yang hegemonis dan tiran dalam menguasai berbagai sumber daya lokal.
Dalam spektrum yang lebih luas, dinasti politik yang kolutif dan koruptif adalah masalah serius bagi keberlanjutan demokratisasi di Indonesia dan tidak kalah pentingnya juga menjadi masalah dalam distribusi keadilan pembangunan sosial ekonomi di daerah.
Permasalahan yang kompleks ini seharusnya dapat diatasi oleh instrumen hukum yang kemudian dianggap ampuh untuk menyelesaikannya. Salah satu instrumen tersebut adalah melalui penegakan hukum pemilu dengan desain kerangka hukum yang mengatur mekanisme penyelenggaraan dan penyelesaian yang efektif.
Untuk mengakomodasi hal tersebut, maka kerangka hukum yang ada mesti menjamin pemilih, kandidat, dan partai politik. Kaitannya dengan persoalan dinasti politik, Instrumen hukum tersebut terwujudkan dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-undang. Instrumen inilah yang mencoba membatasi maraknya dinasti politik khususnya dalam setiap kontestasi pilkada.