Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Presidential Threshold dan Wacana Tiga Periode

19 Maret 2021   10:35 Diperbarui: 19 Maret 2021   10:52 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adhe Ismail Ananda, S.H., M.H (Dosen IAI Al Mawardah Warrahmah Kolaka)

Salah satu implikasi dari system pemerintahan presidensial adalah kekuasaan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislative, dimana Presiden menjabat sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. 

Berbeda dengan system pemerintahan presidensial, di system pemerintahan parlementer, dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam presidensial, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, tetapi dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara.


Melakukan studi komparasi ataupun disparita antara ciri-ciri kedua sistem pemerintahan kemudian kaitannya dengan pemilu, maka terlihat perbedaan secara signifikan di kedua system pemerintahan tersebut, bahwa sistem pemerintahan parlementer hanya mengenal satu kali pemilu, yaitu pemilu legislatif atau pemilu parlemen yang selanjutnya parlemen itulah yang akan memilih perdana menteri selaku kepala pemerintahan beserta kabinetnya dari kalangan anggota parlemen.

Sementara disistem pemerintahan presidensial mengenal dua pemilu, yaitu pemilu untuk memilih presiden dan pemilu untuk memilih parlemen. Masing-masing lembaga berdiri sendiri dan tidak bisa saling menjatuhkan. Kedua lembaga memiliki masa jabatan tetap (4 tahun, 5 tahun, atau 6 tahun), sehingga jadwal pemilunya juga jelas, yaitu mengikuti masa jabatan presiden dan parlemen.


System presidensil dipilih karena salah satu kesepakatam alasan dari diadakannya amandemen UUD 1945 adalah dalam agenda untuk menguatkan system presidensial, walaupun sebenarnya tidak ada alasan secara ilmiah yang membuktikan kalua system presidensial cocok untuk Indonesia. Tetapi parah ahli umumnya memberikan alasan kuat bahwa presidensial cocok untuk atmosfer negara yang multi-partai dan untuk Indonesia yang semenjak merdeka hingga saat ini selalunya multi-partai bagai jamur di musim hujan.


Kaitannya pemilu dengan system presidensial dapat kita lihat dalam desain konstitusi Indonesia yang merumuskan bahwa peserta pemilu hanya boleh di ikuti oleh usulan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu (Pasal 6A (2) UUD 1945). 

Bagi negara demokrasi, jelas rumusan ini mengunci ruang bagi calon peserta pemilu yang tidak ada afiliasinya dengan partai politik. Ketentuan UUD 1945 ini kemudian diturunkan kedalam UU Pemilu yang juga desainnya tidak jauh beda bahkan terkesan lebih kuat kunciannya karena adanya ketentuan presentase yang karenanya kita hari ini tidak pernah memiliki calon presiden banyak.


Pelaksanaan pilpres di awal reformasi, yaitu pada 1999, 2004, dan 2009 selalu menghadirkan lebih dari dua calon. Khususnya di tahun 2004 yang di ikuti oleh 5 pasangan calon, ini dapat dimaklumi dikarenakan pemilu pada waktu itu sedang dalam proses tahapan dan ambang batasnya sementara waktu hanya 4%. Namun, setelahnya, presentase tersebut terus berkembang hingga kemudian mencapai angka 20% yaitu pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 hanya tersedia dua pasangan calon. 

Padahal, dalam negara demokratis harusnya memberikan ruang yang sebesar-besarnya kepada kader-kader terbaik bangsa untuk ikut berkompetisi di dalam kancah pemilu, sehingga betul-betul melahirkan iklim pemilu yang demokratis. Dengan demikian, kompetisi adalah suatu keharusan dan tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem politiknya menjadi sistem yang otoriter, absolut, dan meniadakan alternatif.


Kondisi yang menggambarkan terbatasnya jumlah calon membawa konsekuensi pada merosotnya derajat persaingan dalam pilpres, salah satunya disebabkan oleh aturan ambang batas pencalonan (presidential threshold) yang dipatok sangat tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, partai politik atau gabungan partai politik yang akan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi persyaratan yaitu memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.


UUD 1945 mengamanatkan agar pilpres berlangsung secara kompetitif, yaitu diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Hal ini dapat dibaca dari ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka peluang pelaksanaan pilpres dua putaran dengan syarat apabila di putaran pertama tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Sementara menurut Putusan MK 50/PUU-XII/2014, pelaksanaan pilpres dua putaran hanya mungkin dilakukan jika terdapat minimal tiga pasangan calon. 

Jika hanya terdapat dua pasangan calon, pilpres cukup dilaksanakan dalam satu putaran di mana pemenangnya adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak tanpa memperhatikan lagi persebaran suaranya di masing-masing provinsi. Dengan demikian, semangat yang terkandung dalam konstitusi adalah keinginan untuk mewujudkan pilpres yang sangat kompetitif dengan tersedianya berbagai alternatif pilihan calon dan memberi legitimasi kuat terhadap presiden yang terpilih nantinya.

Urgensi pilpres yang bersifat kompetitif cerminan dari demokrasi, sebab demokrasi yang sehat selalu membutuhkan dua hal sekaligus, yaitu satu sisi meniscayakan sebanyak-banyaknya partisipasi warga untuk memilih dan di sisi yang lain pilihan mereka mesti didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang jelas. 

Dalam konteks ini, mampu menciptakan rasionalitas pemilih karena pemilih memiliki tingkat pengetahuan politik yang lebih tinggi pada isu-isu politik sebagai akibat dari tingginya intensitas kampanye oleh para kandidat yang bersaing sehingga jumlah informasi politik akan semakin beragam dan terekspos secara luas. Berbagai macam informasi ini pada akhirnya akan memengaruhi kualitas wacana pemilih.

Sekalipun ketentuan tentang ambang batas pencalonan oleh MK dinyatakan konstitusional, tidak berarti kemudian menutup kesempatan bagi terselenggaranya pilpres yang kompetitif. Masih ada harapan untuk membuat pelaksanaan pilpres menjadi lebih kompetitif lagi melalui perubahan dalam UU Pemilu, yaitu merevisi ketentuan tentang pembentukan koalisi, apalagi uu pemilu hari ini sedang dalam tahap revisi.


Namun ditengah harapan perbaikan kualitas pemilu melalui pembenahan regulasi, muncul wacana periodeisasi presiden yang di tambah menjadi 3 periode. 

Kaitan antara wacana 3 periode dengan system presidensial adalah tekanan dan potensi presiden untuk bertindak otoriter yang sangat tinggi. Sebab system presidensial tidak terlepas dari gabungan formulasi system raja yang kemudian mengadopsi system dekokrasi, oleh karena itu cenderung bersifat otoriter. 

Apalagi hal tersebut diikuti oleh dukungan parlemen yang kuat, dukungan politik dan koalisi yang juga kuat, tapi tidak di imbangi oleh kekuatan opisisi, maka godaan otoriter itu semakin menggiurkan. Sehingga godaan akan wacana presiden 3 periode mudah saja berhembus.

Seperti yang terjadi di amerika, presiden Ronald Wilson Reagan yang terpilih menjadi presiden dikarenakan dukungan popular vote and electoral vote yang sangat besar (seorang aktor, bintang film plus tampan dan pintar ngomong) dan penguasa di partai republic membuatnya mudah untuk terpilih dan diikuti oleh godaan mengubah konstitusi untuk mengizinkannya menjadi presiden 3 periode.

Maka upaya untuk mengubah UUD 1945 untuk dapat terpilh sekali lagi ataukah dengan mengubah system pemilihan dengan mengembalikannya ke MPR Kembali yang Kedua upaya ini bisa saja terjadi, sebab dukungan politik dan koalisi yang begitu kuat saat ini sehingga godaan dan ketakutan kerah sana bisa saja terjadi.


Oleh karena itu, seyogyanya setiap aturan yang dibuat harus memperhatikan hubungan idealitas dan realitas, bukannya lahir dari intervensi pragmatisasi politik yang memberi ruang bagi kaum oligarki untuk masuk dan menguasai system yang seolah-olah membuat aturan tersebut adalah perintah ketatanegaraan, padahal itu merupakan kepentingan politiik. Inilah yang kemudian di maksud sebagai kejahatan regulasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun