Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Vaksinasi: Antara Hak dan Kewajiban

16 Januari 2021   07:34 Diperbarui: 16 Januari 2021   10:47 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adhe Ismail Ananda, S.H., M.H  (Dosen Hukum dan Syariah IAI Al Mawaddah Warrahmah Kolaka)

Pandemi Covid-19 Sebagai sebuah Bencana Nasional Non-Alam yang hampir genap satu tahun melanda Indonesia memberikan dampak yang sangat luas dan signifikan bagi semua sektor dan sendir kehidupan, dan ini tentunya membutuhkan cara-cara efektif pemerintah sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk menanggulangi semua dampak yang ditimbulkan dari Covid-19 ini.

Salah satu cara yang di gunakan oleh pemerintah adalah dengan mengeluarkan berbagai macam regulasi dan kebijakan yang diharapkan menjadi penunjang percepatan penanganan Pandemi Covid-19, diantaranya baru-baru ini adalah Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020 Tentang Pengadaan Vaksin dan Proses Vaksinasi Covid-19.

Vaksinasi ini diharapkan dapat memberikan kekebalan dalam tubuh agar masyarakat tidak terpapar virus Covid-19 sehingga mampu mencegah laju penyebaran virus covid-19, oleh karena itu dalam Perpres ini pemerintah mengambil langkah-langkah luar biasa dan pengaturan khusus dan menjadikannya dasar hukum dalam pengadaan vaksin termasuk program vaksinasi. Tentunya, keberhasilan dari program ini tergantung pada tingkat kepatuhan para pemangku kepentingan dalam menjalankan ketentuan yang sudah ditetapkan.

Menyikapi program vaksinasi ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Lembaga yang mewadahi para ulama dan cendikiawan muslim untuk membimbing, membina dan mengayomi umat islam Indonesia yang sebagian merespon program vaksinasi ini dengan sikap keraguan akan hukum dan kehalalannya kemudian mengeluarkan Fatwa dengan nomor 02 Tahun 2021 tentang Produk Vaksin Covid-19 Dari Sinovac Life Sciences Co.Ltd. China dan Bio Farma (Persero). Dalam fatwanya, dengan berbagai macam pertimbangannya MUI memutuskan bahwa vaksin Covid-19 Dari Sinovac Life Sciences Co.LTD. China dan Bio Farma (Persero) hukumnya Suci dan Halal. Sehingga fatwa ini kemudian mampu menjawab kekhawatiran public mengenai hukum dan kehalalan vaksin covid-19 ini. Tetapi pasca dikeluarkannya regulasi ini isu yang kemudian hangat diperbincangkan publik adalah mengenai hak dan kewajiban, baik itu pemerintah maupun warga negara dalam hal program vaksinasi ini.

Pembahasan mengenai hak dan kewajiban memang selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas, karena keduanya merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan dan memiliki hubungan kausalitas. Dalam konteks berbangsa dan bernegara yang umumnya saat ini ditandai dengan corak Welfarestate (Negara Kesejahteraan) yang menganut gagasan bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan rakyatnya sebagai bentuk Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa selain menjamin hak-hak individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh atas hak-hak yang dijamin.

Dalam konteks kesehatan sebagai hak konstitusional warga negara maka kita akan merujuk pada pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".

Sementara tanggung jawab atas kesehatan masyarakat tersebut dituangkan dalam pasal 28I ayat (4), bahwa "Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah". Jadi hak asasi pada umumnya selalu berbanding lurus dan memiliki hubungan kausalitas dengan kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lainnya, sebagaimana dalam ketentuan pasal 69 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM bahwa "Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya".

Perlindungan, Pemenuhan dan Pemajuan HAM merupakan kewajiban pemerintah adalah bagian dari prinsip demokrasi bahwa pemerintah diberi amanah kekuasaan adalah untuk melindungi hak-hak warga negara, terlebih lagi dengan konsep negara kesejahteraan (Welfarestate) sebagai konsep negara modern telah memberikan kekuasaan lebih besar pada pemerintah untuk bertindak.

Kekuasaan pemerintah ini semata-mata adalah untuk memajukan dan mencapai pemenuhan HAM. Pemerintah tidak lagi hanya menjaga agar seseorang tidak melanggar atau dilanggar haknya, namun harus mengupayakan pemenuhan hak tersebut. Demikan pula dalam pemenuhan hak atas kesehatan, merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan vaksin dan memberikan vaksinasi kepada warga negaranya sebagai bentuk pemenuhan terhadap hak katas kesehatan.

Upaya vaksinasi bukan hanya menjadi domai pemerintah saja, tetapi melibatkan partisipasi masyarakat yang menjadi kewajiban masyarakat untuk meningkatkan kesehatannya sendiri dan vaksinasi tersebut merupakan bentuk melindungi diri pribadi, keluarga dan lingkungan. Sebagaimana dalam pasal 10 UU Kesehatan, bahwa setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat baik fisik, biologi mampun social.

Kemudian pasal 11 menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Sementara pasal 12 menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban, menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Artinya, dari ketiga rumusan pasal dalam UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan ini merupakan landasan hokum bagi masyarakat sebagai warga negara untuk di vaksinasi sekaligus melekat kewajiban untuk ikut serta dalam vaksinasi.

Dengan demikian, dalam hal ini menjadi kewajiban bagi setiap warga negara utuk turut serta mewujudkan kesehatan masyarakat. Walaupun ketika berbicara mengenai hak memperoleh kesehatan memberikan hak kepada setiap orang untuk secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya, lantas tidak secara langsung menghilangkan kewajiban kita untuk menghormati hak asasi orang lain dan menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk melindungi dan memajukan hak tersebut sebagaimana ketentuan diatas.

Singkatnya, bahwa yang menjadi pembatas dalam pemenuhan hak seseorang adalah hak orang lain. Apalagi dalam kondisi darurat kesehatan akibat pandemic covid-19 ini memang mengharuskan kesamaan sikap dan kesadaran kolektif untuk memutus mata rantai penyebaran pandemic covid-19. Oleh karena itu, berangkat dari bangunan kontruksi yuridis diatas makan vaksinasi merupakan suatu kewajiban sebagai bentuk kongkretisasi penghargaan dan penghoormatan bagi hak orang lain untuk mendapatkan pemenuhan kesehatan yang layak.

Ketika program vaksinasi covid-19 merupakan sebuah kewajiban, maka jika ada oknum warga negara yang menolak untuk di vaksin ataupun menghalang-halangi proses vaksinasi sebagai salah satu bentuk dari upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh/Herd Imunity sehingga mampu mencegah laju penyebaran covid-19 tentunya dapat dikenakan sanksi (pidana) sebagi konsekuensi dari tindakannya tersebut sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pidana dalam UU No. 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular. Tetapi disini sanksi pidana sifatnya ultimum remedium, artinya sanksi ini nantinya adalah upaya terakhir ketika upaya lainnya tidak berfungsi.

Oleh karena itu pendekatan penegakan hokum yang digunakan dalam program vaksinasi ini adalah pendekatan persuasive seperti soalisasi dan kegiatan edukasi lainnya, khususnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya vaksinasi. Jika kesadaran kolektif ini sudah terbangun maka tanpa upaya paksa penerapan sanksi pidana tidak perlu lagi dilaksanakan.

Oleh karena itu jika vaksinasi itu diwajibkan dan berpotensi ada sanksi hukumnya bagi yang menolak dan menghalang-halangi, maka yang paling terpenting untuk diperhatikan adalah bagaimana memberikan perlindungan hukum bagi warga negara yang di vaksin ketika nantinya menimbulkan kerugian bagi dirinya, mengingat daya penerimaan tubuh setiap manusia terhadap vaksin itu berbeda-beda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun