Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Omnibus Law dan Upaya Konstitusional

12 Oktober 2020   12:41 Diperbarui: 12 Oktober 2020   12:45 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Adhe Ismail Ananda

Diskursus mengenai penolakan omnibuslaw cipta kerja semakin deras digaungkan pasca DPR-RI men- SAH kan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan menggunakan berbagai alasan pertimbangan. 

Sebagaimana yang telah penulis sampaikan sebelumnya (melalui tulisan Omnibus Law, Solusi Atau Polusi?), bahwa inti dari konsep Omnibus Law adalah menciptakan satu regulasi yang dibentuk untuk menggantikan lebih dari satu regulasi yang sudah ada sebelumnya.

Omnibus Law Cipta Kerja mungkin adalah salah satu produk hukum yang juga menyita perhatian dan respon public secara massif pasca reformasi. Bagaimana tidak, sejak awal di gaungkannya wacana konsep omnibus law melalui pidato kenegaraan presiden jokowi dodo, telah menuai pro dan kontra. Perjalanan panjang Omnibus Law Cipta Kerja menciptakan banyak dinamika. 

Sejak awal di temukannya pasal yang secara jelas melanggar prinsip dasar hierarki peraturan perundang-undangan dengan cara memberikan ruang kepada pemerintah untuk mengganti atau merubah UU melalui Peraturan Pemerintah yang kemudian itu di klarifikasi bahwa kesalahan pengetikan, kemudian dinamika-dinamika lainnya hingga aksi people power secara besar-besaran yang menolak pengesahan dari UU Omnibus Law Cipta Kerja dengan tagar #MOSITIDAKPERCAYA, namun cara yang paling formal dalam penolakan terhadap UU adalah dengan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi.  

Dalam bahasa Inggris Amerika Serikat, upaya hukum untuk menggugat atau menguji bentuk norma hukum melalui peradilan sama-sama disebut sebagai judicial review. 

Dalam mengadili gugatan-gugatan perkara tata usaha negara terhadap keputusan-keputusan administrasi negara, para hakim Amerika Serikat juga menggunakan istilah judicial review. 

Dalam sistem yang berlaku di Inggris pun istilah pengujian terhadap keputusan-keputusan administrasi negara yang bersifat individual and concrete (beschikking) ini juga disebut judicial review. 

Hanya saja, di Inggris tidak dikenal adanya mekanisme judicial review terhadap undang-undang (legislative acts) yang ditetapkan oleh parlemen. Sebaliknya, justru bangsa Amerika Serikatlah yang pertama mengembangkan mekanisme judicial review atas undang-undang buatan Kongres, dimulai dengan putusan atas kasus Marbury versus Madison pada tahun 1803.

Dalam konsep pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan judicial preview. 

Review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali, yang berasal dari kata re dan view. Sedangkan pre dan view atau preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari sempurnanya keadaan objek yang dipandang itu.

Dalam hubungannya dengan objek undang-undang, dapat dikatakan bahwa saat ketika undang-undang belum resmi atau sempurna sebagai undang-undang yang mengikat untuk umum, dan saat ketika undang-undang itu sudah resmi menjadi undang-undang, adalah dua keadaan yang berbeda. 

Jika undang-undang itu sudah sah sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya dapat disebut sebagai judicial review. Akan tetapi, jika statusnya masih sebagai rancangan undang undang dan belum diundangkan secara resmi sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya tidak dapat disebut sebagai judicial review, melainkan judicial preview.

Mekanisme Judicial Review dapat dilakukan baik untuk menguji proses pembentukan UU (Uji Formil) maupun menguji substansi UU (Uji Materiil). Terkait Uji Formil, sampai saat ini belum ada permohonan pengujian yang dikabulkan oleh MK. 

Sementara Uji Materiil, menjadin pertanyaan apakah MK dapat membatalkan keseluruhan isi dari UU ???? Jawabannya bisa, pernah terjadi di UU Ketenagalistrikan. Pengujian konstitusional UU Omnibus Law Cipta Kerja, kita bisa mencontoh Negara Perancis. 

Dalam sistem Perancis, yang berlaku adalah judicial preview, karena yang diuji adalah rancangan undang-undang yang sudah disahkan oleh parlemen, tetapi belum disahkan dan diundangkan sebagaimana mestinya oleh Presiden. 

Jika parlemen sudah memutuskan dan mengesahkan suatu rancangan undang-undang untuk menjadi undang-undang, tetapi kelompok minoritas menganggap rancangan yang telah disahkan itu sebenarnya bertentangan dengan konstitusi, maka mereka dapat mengajukan rancangan undang-undang itu untuk diuji konstitusionalitasnya di la Conseil Constitutionnel atau Dewan Konstitusi. Dewan inilah yang akan memutuskan apakah rancangan undang-undang bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar.

Jika rancangan undang-undang itu dinyatakan sah dan konstitusional oleh Conseil Constitutionnel, barulah rancangan undang-undang itu dapat disahkan dan diundangkan sebagaimana mestinya oleh Presiden. 

Jika rancangan undang-undang tersebut dinyatakan bertentangan dengan undang-undang dasar, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat disahkan, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai undang-undang.

Model pengujian seperti ini bisa saja di terapkan dalam pengujian formil terkait dengan proses pembentukan undang-undang, dimana undang-undang yang cacat secara formil tanpa keterlibatan dan partisipasi public maka haruslah dilakukan pembahasan ulang. 

Jika uji materiil atau terhadap substansi dari undang-undang haruslah dilakukan dengan cermat. Harapannya, MK bisa lebih berperan dan fokus juga pada pengujian formil, bukan hanya pada uji materiil.

Netralitas MK akan di pertaruhkan disini. Sebab dalam forum-forumresmi kenegaraan, pemerintah sangat massif mengkampanyekan dukungan terhadap konsep omnibus law. 

Bahkan presiden jokowi dodo dalam agenda penyampaian Laporan Tahunan MK 2019, pernah menyampaikan dan meminta kepada MK untuk mendukung omnibus law. 

Selain itu revisi UU MK atas usulah pemerintah yang salah satu ketentuannya memperpanjang usia pension hakim MK menjadi 70 tahun, sehingga banyak yang berspekulasi bahwa ini adalah cara saling tukar menukar kepentingan. 

Tetapi kita selalu berharap dan optimis bahwa lembaga peradilan harus dapat jernih menilai apa dampak dari putusan yang diambil nantinya, para hakim tetap menjaga komitmen dan sumpahnya diatas kitas suci dan berlandaskan konstisusi untuk tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga konstitusi dan pelindung hak-hak warga Negara yang dirugikan .

Mau apapun perjuangannya, entah turun kejalan atau menyuarakan gagasan akademis, harus kita dukung selama tidak dilakukan dengan cara-cara anarki. Dan pastinya upaya-upaya konstitusional melalui jalur peradilan sangat penting untuk kita dukung bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun