Beragam suku.. sumber: muhammadarikops.blgospot.com
“Di mana langit di pijak maka di situ langit dijunjung”.
Sebuah filosofi yang harus selalu diingat dan diterapkan di mana pun kita berada. Hari ini tepat hari 1 tahun perjuangan untuk terus belajar di tanah rantau. Iya, saya berasal dari bumi Sumatera dan sekarang kuliah di salah satu kampus pendidikan di tanah Jawa dan jujur saya merasa nyaman di sini, namun saya tetap saja merindukan untuk pulang di kota tanah kelahiran.
Selama satu tahun saya tinggal bersama dosen saya, dosen yang dulu mengajarkan banyak ilmu di jenjang sarjana dan sekarang bersedia “menampung” saya untuk tinggal bersama. Saya banyak mendapat pengarahan dari beliau yang juga alumni dari kampus yang sama.
Tanggal 10 Mei 2016 ini rumah kontrakan yang kami sewa di wilayah Bantul sebentar lagi akan jatuh tempo sehingga saya harus mencari kosan untuk tempat tinggal nantinya. Rumah kontrakan yang kami tinggali saat ini letaknya lumayan jauh dari kampus sehingga kami harus lebih pagi untuk berangkat kuliah.
Dalam pencarian kosan hari ini saya ditemani temen satu kelas saya yang juga berniat untuk mencari kosan di sekitar kampus. Namanya Nasrudin dan berasal dari Ngawi (Jawa Timur). Dia banyak mengajarkan saya adat-istiadat dan belajar memahami serta berkomunikasi memakai bahasa Jawa. Berbekal informasi teman satu kampusnya, dia mendapatkan info salah satu kosan di sekitar kampusku untuk laki-laki ada yang kosong sehingga kemarin malam dia mengecek situasi dan fasilitas di kosan tersebut. Setelah survey dari kosan tersebut, sang bapak kosan (pemilik kossan) menawarkan kosan tersebut dengan harga Rp. 2.600.000 per tahun apabila sendiri dan Rp. 3.000.000 untuk biaya per tahun. Harga yang lumayan terjangkau untuk mahasiswa seperti kami, mahasiswa yang berjuang sekolah dengan biaya sendiri.
Setelah bersepakat, hari ini saya yang ingin melihat situasi kossan tersebut karena secara informasi yang saya dapat dari Nasrudin dari segi harga dan lokasi kossan ini sudah oke. Pagi ini sebelum kuliah saya menyempatkan untuk mengecek situasi di kossan tersebut dan bertemu dengan bapak kossan (pemilik kos). Saya mulai menyapa serta memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia dengan intonasi nada (logat) Sumatera kemudian menanyakan situasi dan lingkungan sekitar kosan, mulai lokasi masjid, penyewa kosan lain, rumah makan dan lain-lain.
Dari segi bahasa, wajah, dan gaya berbicara tampaknya saya sangat mudah dikenali bahwa berasal bukan dari Jawa sehingga Bapak Kos terlihat sedikit “pekewuh”atau ngak enak hati. Mungkin karena sebagian kabar yang beredar orang di luar Pulau Jawa pada umumnya dikenal sedikit keras atau tidak terlalu mengenal kesopanan sehingga sebagian orang sangat sensitif mendengar daerah asal seseorang berasal dari tanah Sumatera. Padahal, tidak semua orang Sumatera keras atau tidak mengenal kesopanan. Hal ini saya anggap sebagai pandangan yang secara umum tidak semuanya benar dan sedikit berbau rasis karena melihat seseorang dari daerah asalnya semata bukan dari sikap yang ditunjukkannya oleh orang tersebut.
Setelah banyak menanyakan situasi kosan tersebut, saya bertanya mengenai harga kosan tersebut apabila menyewa dalam waktu satu tahun. Bapak kosan menjawab bahwa harganya untuk sewaan per tahun sebesar Rp3.000.000,00 untuk satu penyewa dan Rp4.000.000,00 untuk dua orang penyewa. Hal ini membuat saya sedikit terkejut dan menanyakan harga yang sempat ditawarkan kepada teman saya Nasrudin bahwa harganya tidak semahal tersebut. Kemudian Pemilik kosan menjawab bahwa semalam dia salah memberi harga untuk kosan tersebut.
Salah satu teman Nasrudin pun kami tanyakan masalah harga kosannya karena kamarnya terletak di sebelah kamar yang rencananya kami sewa. Ternyata harganya sama dengan harga yang ditawarkan pertama, yaitu Rp2.600.000,00 per tahun apabila sendiri dan Rp3.000.000,00 untuk biaya per tahun. Akhirnya saya tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena telah diperbolehkan melihat situasi kossan tersebut. Setelah sedikit berdiskusi, ternyata sering kali mahasiswa yang berasal dari luar Jawa "dimahalkan” harga kosannya karena sebagain orang menilai mahasiswa luar Jawa memiliki banyak uang ketika dia berkuliah di Jawa.
Sedikit membuat saya bersedih dan termenung, bagaimana bisa sebuah harga kosan berbeda dan dibedakan karena sang calon penyewa bukan berasal dari Jawa. Bukankah kita sama-sama orang Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di tanah negeri Ibu Pertiwi.
Orang Sumatera Mendapat Citra yang tidak terlalu baik
Sebelum saya pastinya banyak orang Sumatera yang berkuliah di tanah Jawa. Dominan hal yang harus dilakukan adalah adaptasi dengan kultur yang lumayan berbeda dari tanah kelahiran. Salah satunya orang Sumatera dalam berbicara kerap kali menggunakan nada intonasi yang tinggi tetapi nada tinggi tersebut bukan karena marah. Hal ini merupakan kebiasaan yang berasal dari tanah kelahiran dan perbedaan inilah yang sebenarnya menjadi keunikan setiap daerah di Indonesia.
Mungkin puluhan juta orang yang berkuliah sebelum saya ada saja yang membuat ulah atau membuat citra daerah tidak begitu baik dipandang secara umum. Namun, setiap orang memiliki sifat yang berbeda-beda dan semoga nantinya orang lain lebih melihat seseorang bukan dari asal daerahnya saja, tetapi juga dari sikap dan bagaimana dia sebenarnya mau belajar untuk beradaptasi dan memahami kultur di mana dia berada.
Apakah kami berbeda? Jawabannya jelas tidak.
Orang Sumatera Dinilai Memiliki Uang yang Banyak
Hal yang saya nilai sedikit lucu karena sebagian orang berpendapat kami mahasiswa yang belajar di tanah Jawa datang dengan uang dan fasilitas yang lengkap. Padahal, banyak mahasiswa Sumatera yang memutuskan untuk menimba ilmu di Jawa karena mereka memiliki mimpi yang besar untuk belajar dan mengembangkan diri membangun tanah Sumatera nantinya.
Dengan perbedaan harga makanan pokok mencapai dua kali lipat antara Jawa dan Sumatera, sebagian orang berpendapat kami adalah lumbung uang berjalan yang dapat dimanfaatkan. Padahal, kami berjuang dengan uang pas-pasan dan kami mampu bertahan di sini, menahan rindu dengan keluarga karena kami hanya dikuatkan oleh Allah SWT dan doa tulus orang tua dari rumah. Doa agar anaknya dapat cepat berkumpul dengan keluarga besar kembali dan berkontribusi dengan ilmu yang dipelajarinya selama di bangku kuliah.
Kejadian naiknya harga kosan yang saya alami juga banyak dialami oleh mahasiswa lain. hal yang membuat saya sedikit bersedih. Setelah mendapat pemahaman dari Nasrudin, saya sedikit tercerahkan bahwa hal seperti ini sudah biasa terjadi. Tulisan ini saya buat bukan untuk mendiskriminasikan suatu daerah, tetapi saya ingin membuka mata orang lain bahwa jangan melihat seseorang hanya dari daerah asalnya atau record orang sebelum dirinya. Hal yang membuat saya sedih karena saya merasakan sedikit "dibedakan” padahal saya sama. Saya juga anak Indonesia yang berusaha kuliah dengan biaya sendiri dan hal yang menguatkan langkah saya di sini adalah cita-cita untuk terus maju.
Semoga nantinya tidak banyak lagi orang yang berpendapat bahwa sikap, kesopanan kami rendah. Menganggap kami kuliah dengan dipenuhi banyak fasilitas dan uang yang banyak dan semoga nantinya banyak orang yang memahami bahwa perbedaan kultur merupakan keistimewaan dari negeri ini dan jangan anggap kami berbeda, kami sama, kami anak bangsa ini. Bhineka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H