Oleh Adha Nadjemuddin
Senin dini hari, 17 Agustus 2015, pukul 00.15 WITA saya terbangun dari tidur. 10 jam lagi detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI akan dikumandangkan di seluruh seantero nusantara melalui mimbar upacara bendera. 10 jam lagi duplikat sangsaka merah putih dikibarkan.
Pada tanggal yang sama 70 tahun lampau, Soekarno dan Hatta sedang berada di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat. Proklamator itu, pada 16 Agustus 1945 disembunyikan oleh para tentara pembelah tanah air di Desa Rengasdengklok, setelah itu esok paginya dibawah ke Jakarta untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI.
Soekarno bersama istrinya Fatmawati dan puteranya Guntur (ketika itu baru berusia sembilan bulan) disembunyikan di rumah Djiauw Kie Siong. Mereka tidur sekamar di rumah berdinding papan, sementara Hatta tidur di kamar lain.
Demikian jauhnya tempat Soekarno dan Hatta “diamankan” sebelum esok harinya membacakan teks proklamasi. Itu kondisi 70 tahun lampau dimana belum ada kendaraan mewah dan canggih seperi sekarang mengangkut Bung Karno dan Bung Hatta dari Rengasdengklok ke Jakarta. Belum ada pula patroli pengawalan.
Era sekarang, presiden, gubernur, bupati/walikota, pejabat negara lainnya, sudah dijamin dengan kendaraan mewah beserta pengawal hebat dan terlatih. Diangkut menggunakan mobil mewah, ber-AC, dan segala fasilitas lainnya. Tempat pelaksanaan upacara 17 Agustus juga amat dekat dari kediaman.
Upacara dilaksanakan di tempat teduh di bawah lindungan gedung megah. Kadang jika cuaca panas panitia menambahkan mesin pendingin atau kipas angin agar undangan tidak gerah sehingga gincu dan bedak tamu undangan tidak luntur. Pakaian batik atau jas yang dikenakan seharga ratusan ribu tidak dibasahi keringat. Demikian halnya minyak rambut pria tidak mengilapkan dahi dan membasahi kopiah karena sejak dari rumah sudah terlindungi oleh AC mobil. Intinya dulu para pejuang pembela tanah air dan masyarakat Indonesia amat susah. Belum ada AC yang bisa menyurutkan keringat mereka.
Begitu kontrasnya kondisi kehidupan kita ber-Indonesia dulu dan kini. Yah, sungguh jauh berbeda. Ada yang bilang jangan samakan dulu dengan sekarang. Dulu jadul dan kita masih hidup dalam tekanan penjajah dan ekonomi yang serba sulit. Dulu tugas pendahulu kita berjuang, sekarang mengisi perjuangan itu dengan gegap gempita, tawa dan canda seperti panjang pinang dan berbagai kegiatan gembira lainnya.
Apakah karena alasan itu, lalu cara ber-Indonesia kita sekarang hidup dengan foya-foya, membelanjakan uang daerah tanpa mempertimbangkan kebutuhan perioritas atau tidak, sementara di sisih lain masih banyak masyarakat hidup susah.
Apakah karena sekarang kita sudah merdeka dan modern, lalu seenaknya membelanjakan uang daerah untuk memenuhi barang dan jasa fasilitas pejabat negara dan daerah. Apakah semaunya pemerintah membeli ini dan itu hanya dengan alasan fasilitas penunjang kinerja. Apakah dengan adanya fasilitas serba lengkap dan modern itu kinerja sudah baik sesuai harapan rakyat.
Kalau dulu para tokoh pejuang tanah air mengorbankan jiwa dan raganya untuk tanah air, sekarang kita berjuang keras bagaimana mendapatkan sesuatu dari tanah air. Merampasnya dengan cara halus atas nama program daerah, padahal terselip untung di sana. Bahkan kita tega menjual tanah air melalui kebijakan izin-izin eksploitasi sumber daya alam. Padahal melalui izin itu terselip uang sogok, komisi, pembagian saham untuk kantong pribadi.