Oleh Adha Nadjemuddin
Saat pikiran ini hendak saya tuangkan dalam tulisan, dari hati kecil terbesit permohonan maaf yang dalam kepada ulama besar pendiri Perguruan Islam Alkhairaat Habib Idrus bin Salim Aljufri. Kepada seluruh turunan beliau dan Kepada seluruh keluarga besar Alkhairaat dimana saja.
Saya melihat ada nuansa kebatinan yang telah terbangun erat antara Wali Kota Palu Rusdy Mastura dengan Habib Saggaf Aljufri, Ketua Utama Alkhairaat. Kebetulan nuansa itu secara politik menguntungkan Rusdy Mastura menjelang pemilihan gubernur. Setidaknya tiga faktor yang menguatkan jalinan itu.
1. Kawasan Wisata Religi
Gagasan itu muncul karena setiap tahun, kompleks Alkhairaat di jalan Sis Aljufri selalu dikunjungi puluhan ribu masyarakat dari berbagai penjuru nusantara untuk Haul Guru Tua (Panggilan Habib Idrus bin Salim Aljufri). Di sana juga ada cagar budaya yang penting diabadikan berupa sekolah Alchairaat dan makam Guru Tua beserta turunannya. Itu antara lain potensi besar yang harus dijaga dan terus dilestarikan sepanjang hayat.
Panggilan hati nurani warga untuk menghadiri Haul Guru Tua, tidak sekadar memperingati jejak-jejak perjuangan Guru Tua, tetapi telah menjadi tradisi perjalanan rohani bagi warga Alkhairaat. Dan itu mengakar sekaligus menjadi daya tarik dan simbol kekuatan Kota Palu.
Pemerintah berkewajiban melestarikan seluruh rangkaian tradisi itu. Tidak saja sekadar mempertahankan tradisi tetapi sekaligus sebagai potensi destinasi wisata religi di tengah minimnya tempat wisata di Kota Palu.
Peluang itulah ditangkap Wali Kota Palu Rusdy Mastura dan ditindaklanjuti dengan peraturan daerah dan didukung dengan anggaran melalui berbagai program. Kota Palu sebagai pusat kegiatan Alkhairaat, maka pemerintah wajib menjaga itu. Gagasan ini harus diteruskan kepada siapapun Wali Kota Palu terpilih nanti.
Keunggulan Alkhairaat sebagai kawasan religi itu sekaligus diharapkan menggemahkan Kota Palu ke berbagai penjuru nusantara. Jika penataan lokasi wisata religi ini baik dan mengesankan tamu dari perjalanan spritual mereka, maka baiklah Kota Palu di mata para tamu-tamu Guru Tua yang datang ke kota ini. Pemerintah Kota Palu tentu saja tidak ingin memberi kesan buruk.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah juga melakukan hal sama. Melalui APBD dari tahun ke tahun, pemerintah provinsi juga membantu perbaikan sarana seperti jalan di lingkungan Alkhairaat bahkan sampai pagar. Begitu besar perhatian pemerintah pemerintah provinsi dan kota. Keputusan itu tentu saja bukan keputusan yang diambil sendiri oleh wali kota ataupun gubernur, tetapi keputusan bersama dengan DPRD. Banyak sekali pihak yang terlibat di sana. Karenanya tidak elok jika ada klaim personal terhadap niat baik mengembangan Alkhairaat.
2. Perubahan Bandara Mutiara
Jalinan kebatinan Habib Saggaf dengan Wali Kota Palu itu juga terbangun dari upaya pemerintah Kota Palu mengubah nama Bandara Mutiara Palu menjadi Bandara SIS Aljufri Palu. Nama Guru Tua diabadikan di sana. Itu akan dikenang sepanjang masa.
Perjuangan perubahan nama bandara liku-likunya cukup panjang. Selain mendapat keputusan dari DPRD, juga perlu rekomendasi dari Pemerintah Provinsi. Perjuangan itu berhasil dilalui dan tidak sedikit elemen yang terlibat di dalamnya. Wali Kota Rusdy Mastura-lah dianggap paling berperan penting.
3. Dukungan APBD Kota
Kebijakan Pemerintah Kota Palu mengalokasikan APBD ratusan juta setiap tahunnya dihibahkan ke Alkhairaat tentu saja memberi manfaat besar kepada Alkhairaat di tengah sulitnya perguruan Islam warisan Guru Tua itu membiayai kebutuhan Alkhairaat.
Bayangkan saja, Alkhairaat memiliki ribuan guru, ribuan gedung sekolah di semua tingkatan dan rumah sakit yang membutuhkan anggaran besar. Karena besarnya beban pembiayaan itu, Alkhairaat setiap tahunnya tekor Rp600-Rp800 juta untuk membiayai semua itu. Di tengah kesulitan Alkhairaat membangun sumber daya manusia di negeri ini, Pemerintah Kota Palu hadir sebagai bagian dari solusi.
Sementara di sisi lain, penguatan ekonomi Alkhairaat dari tahun ke tahun terkesan berjalan lambat bahkan cenderung stagnan. Padahal tidak sedikit orang pandai dan berduit di Alkhairaat. Penguatan ekonomi hanya habis di meja diskusi. Belakangan ini penguatan ekonomi Alkhairaat sudah mulai bergeliat. Pada Haul tahun lalu, Alkhairaat meluncurkan Kebangkitan Ekonomi Umat melalui berbagai program.
Sekilas dari rangkaian perjalanan itulah sehingga memantik keprihatinan sekaligus simpatik Habib Saggaf kepada Rusdy Mastura. Nuansa batin Habib Saggaf inilah dianggap sebagian orang telah menyeret-nyeret Alkhairaat ke ranah politik praktis. Padahal itu manusiawi.
Sama halnya dengan kita, Habib Saggaf punya hak politik. Itu hak prerogatif beliau sebagai warga negara untuk menjatuhkan pilihannya kepada siapa saja. Itulah sebabnya negara menjamin kebebasan hak seseorang untuk memilih dan dipilih tanpa terkecuali ulama atau bukan ulama. Kita punya hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Kita sama-sama hidup di negara yang sedang mencari jati diri demokrasinya ini.
Jika Habib Saggaf menyampaikan rasa simpatinya terhadap Rusdy Mastura kepada
umat, itu juga hak pribadi dari tauladan umat itu. Sama dengan tim sukses mengajak masyarakat memilih jagoannya. Hak itu melekat pada diri beliau. Tidak ada satupun undang-undang yang melarang itu, kecuali bersifat memaksa karena itu akan membatasi hak demokrasi orang lain. Hanya saja Habib Saggaf dan Alkhairaat seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Di sinilah problemnya.
Pribadi saya meyakini, warga Alkhairaat umumnya terbuka, toleran dan rasional. Warga Alkhairaat kini hidup dalam alam demokrasi. Saya juga meyakini bahwa membaiknya indeks demokrasi khususnya di Sulawesi Tengah salah satunya karena peran Alkhairaat yang tidak mau terkooptasi untuk kepentingan politik tertentu. Itulah dinamisasi Alkhairaat di tengah kemajemukan bangsa ini.
Masalahnya, suasana menjadi keruh dan melahirkan kontroversi hebat, ketika simpati Habib Saggaf ke Rusdy Mastura digiring sebagai dukungan secara organisasi. Padahal untuk keputusan organisasi, harus diputuskan melalui mekanisme organisasi. Barulah itu dianggap sebagai keputusan bersama.
Tetapi tradisi di Alkhairaat, bahwa keputusan Habib Saggaf adalah bagian dari keputusan Alkhairaat dan itu harus ditaati. Sebagai ulama tentu saja keputusan itu memberi pengaruh besar sehingga diaggap kualat bagi umat jika tidak meneruskan keputusan ulama tersebut.
Padahal begitu banyak keputusan Habib Saggaf yang tidak diributkan bahkan cenderung dilanggar, seperti merokok itu haram. Dan ini diajarkan di pesantren-pesantren Alkhairaat. Keputusan ini tidak diperdebatkan seramai kita mendebatkan dukungan Habib Saggaf ke Rusdy Mastura sebagai calon gubernur.
Masih banyak hal yang perlu kita 'ributkan'. Misalnya, bagaimana kita bahu membahu membangun ekonomi Alkhairaat sehingga sekolah Alkhairaat di kampung-kampun bisa terawat. Bagaimana kita mendorong pemerintah daerah bisa menganggarkan pembiayaan Alkhairaat seperti halnya dilakukan pemerintah kota.
Saat ini kita punya 13 kabupaten/kota. Jika setiap kabupaten menyisihkan APBD-nya Rp250 juta per tahun untuk Alkhairaat, maka ada Rp3,250 miliar pertahun. Toh anggaran itu kembali ke daerah masing-masing untuk membayar honor guru. Untuk memperbaiki sekolah. Itu juga untuk membangun sumber daya manusia di daerah itu. Anggaplah APBD itu sebagai imbal jasa pemerintah kepada Alkhairaat karena sudah berperan penting dalam membangun sumber daya manusia.
Cara lain, bagaimana anggota DPR dan DPD RI bareng-bareng mencari pos anggaran di Jakarta untuk dihibahkan ke Alkhairaat. Kita punya sembilan wakil di Jakarta. Mungkin si A mengurus di Kemenag, Si B mengurus di Kemendikbud, Si C mengurus di Kemensos, Si D melobi di Kementerian Perumahan Rakyat untuk membangun rumah-rumah guru Alkhairaat. Si E lobi pengusaha dan sebagainya.
Jika itu bisa kita lakukan, Habib Saggaf dan kita semua pasti akan tenang dan senang melihat kemajuan Alkhairaat sehingga tidak perlu ribut-ribut soal politik. Justru sebaliknya, Alkhairaat berada di depan mengibarkan bendera perdamaian dan penyejuk di tengah hebatnya demokrasi liberal hari ini.
Alkhairaat memang selalu seksi dibicarakan ketika bersinggungan dengan politik. Kontroversinya sangat hebat dan sengit. Mulut pun ikut berbusa ketika bicara Alkhairaat hubungannya dengan politik. Tetapi ketika Alkhairaat kesulitan pendanaan untuk membayar gaji guru, mengganti atap sekolah dan berbagai beban pembiayaan lainnya, kita diam.
Politisasi Alkhairaat sering kali kita jumpai. Misalnya, tidak sedikit orang mengklaim, dirinya mendapat dukungan besar dari Alkhairaat dalam konteks politik praktis. Padahal belum tentu. Mungkin saja, seseorang berkunjung ke kediaman Habib Saggaf minta restu dan dukungan doa. Lalu kegiatan itu difoto dan dipublikasi ke media masa seakan-akan Habib Saggaf mendukung dirinya. Inilah yang dihambur ke sana kemari. Habib Saggaf dan Alkhairaat lagi-lagi digiring ke ranah politik. Sungguh terlalu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H