Saat menunggu penerbangan dari Bandara Juanda, Surabaya ke Hang Nadim, Batam, Kamis (21/11) seorang perempuan berambut lurus panjang menghampiri saya di ruang tunggu. Dengan ramah, melemparkan senyum, perempuan itu memperkenalkan diri. Dia pegawai PT. Angkasa Pura Surabaya.
Dia bersama beberapa rekan sesama perempuannya, begitu tekun dan ramah bertanya kepada penumpang yang mereka pilih secara acak. Saya salah seorang yang jadi responden mereka.
Selain mewawancarai langsung penumpang dengan daftar isian yang sudah tersedia, di setiap ruang tunggu juga terdapat kotak saran. Dilengkapi dengan polpen dan meja agar setiap orang bisa nyaman memberikan saran terkait pengelolaan bandara. Tidak jauh dari meja saran itu, ada juga tersedia minuman galon dan gelas sekali pakai. Kalau ada penumpang yang haus, bisa langsung meneguk air yang ada di sana.
Sudah beberapa bulan ini survei dilakukan Angkasa Pura karena rencananya bandara Juanda akan diperluas lagi karena jumlah penumpang tiba dan berangkat di bandara itu terus naik dari tahun ke tahun. Peningkatan itu terjadi karena transportasi udara bukan lagi transportasi yang eksklusif bagi kalangan tertentu saja.
Menurut rencana, Angkasa Pura akan memisahkan terminal bandara internasional dengan terminal penerbangan domestik. Selama ini dua jalur penerbangan itu masih dalam satu pintu terminal. Ke depan terminal internasional rencananya dipindah ke bandara Juanda lama, tidak jauh dari terminal yang ada saat ini.
Pertanyaan dari petugas itu tidak pernah keluar dari frame seputar pelayanan di bandara Juanda. Mulai dari hal yang mungkin dianggap ringan sampai yang berat. Mulai dari cara petugas menyapa, melayani, sampai pada ketersediaan fasilitas bandara. Bahkan tidak hanya sebatas pelayanan petugas bandara, tapi juga termasuk pelayanan dari pelayan kedai di dalam terminal.
Mereka bertanya tidak saja menyangkut pelayanan keamanan di pintu masuk dan keluar, tapi juga kenyamanan suhu ruangan tunggu, kebersihan, dekorasi interior, kamar mandi, keterangan penunjuk tempat, kedai dan fasilitas internet gratis dan anjungan tunai mandiri (ATM). Bahkan sampai pada pelayanan petugas maskapai. Semua itu menyangkut kenyamanan kita di bandara.
Tanya menanya ke penumpang kelihatannya sepele, tapi itu sangat penting bagi perbaikan layanan publik di bandara internasional itu. Dengan cara itu, pengelola akan tahu apa yang kurang, apa yang tidak bagus, apa yang perlu dibenahi dan sebagainya.
Betapa pentingnya pelayanan itu. Coba bayangkan, hari itu saya dua kali transit. Dari Palu ke Balikpapan, lanjut ke Surabaya. Di Surabaya saya menunggu kurang lebih tiga jam, baru melanjutkan penerbangan ke Batam. Kurang lebih sembilan jam perjalanan. Lima jam diantaranya di udara. Betapa lelah dan membosankan. Sudah begitu, tak ada pula kawan yang setiap saat bisa diajak bicara.
Jika dalam kondisi perjalanan demikian. Setiap petugas yang kita jumpai susah senyum, galak pula, ditambah lagi fasilitas yang tidak nyaman, kotor, hampir dipastikan gairah orang untuk bepergian akan surut.
Saya sebagai rakyat biasa menganggap itu sesuatu yang bisa menyurutkan semangat bepergian. Bagaimana jika mereka para pelaku bisnis atau ilmuan yang hendak membuka usaha di daerah atau meneliti di daerah kita. Lalu petugas di bandara tidak memberikan pelayanan yang baik, praktis ini kesan pertama yang tidak nyaman bagi mereka.
Inilah yang penting dan harus dilakukan oleh segenap petugas di bandara Mutiara Sis Aljufri Palu. Mengingat terminal bandara yang dibiayai APBN itu sebentar lagi akan beroperasi, maka perbaikan kualitas layanan menjadi penting. Kualitas layanan harus menjadi urusan nomor satu, sebab bandara adalah pintu gerbang di daerah. Bandara akan menjadi cerminan dan simbol prilaku dan sikap orang di daerah itu.
Selama ini saya tidak pernah mendengar pelayanan di bandara Mutiara Palu melakukan survei. Mungkin karena kondisi terminalnya yang sudah tua dan banyaknya kekurangan dari pelayanan sehingga tidak perlu lagi disurvei sebab kekurangan itu sudah tampak di depan mata.
Ke depan saya mendengar pelayanan terminal bandara Mutiara Palu akan dikerjasamakan dengan perusahaan daerah sehingga tidak masuk dalam manajemen Angkasa Pura. Perusahaan daerah harus banyak belajar dari Angkasa Pura. Lakukan studi sebelum benar-benar itu dikerjakan. Perusahaan daerah jangan hanya melihat karena di sana ada potensi uang masuk lalu mengabaikan prinsip-prinsip pelayanan memuaskan.
Keinginan pemerintah Kota Palu untuk mendorong perusahaan daerah mengelola pelayanan terminal bandara patut diapresiasi, tetapi itu tidak cukup jika perusahaan daerah tidak siap dengan segala konsekuensinya. Dan itu sudah harus disiapkan sejak sekarang.
Jika saya Direktur Utama Perusahaan Daerah Palu, maka saya akan menyewa satu atau dua tenaga profesional Angkasa Pura untuk memimpin pengelolaan layanan di bandara itu. Sekali lagi, pelayanan di bandara butuh kerja profesional. Karena di sana kita menggerakkan orang, mengatur orang, dari berbagai karakter dan kelas.
Sebentar lagi, kita akan menikmati terminal bandara yang baru, terminal yang kinclong, terminal yang jauh dari kesan kumuh, jauh dari kesan sempit. Terminal yang dibangun dengan anggaran ratusan miliar itu tidak harus dikumuhkan karena pelayanan yang brengsek.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H