Mohon tunggu...
Ade Ubaidil
Ade Ubaidil Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bermimpi punya helikopter pribadi. Jadi bisa pergi ke manapun sesuka hati. Tanpa takut ditilang polisi... kwkwkw

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[PUISI] Seorang Wanita dan Buku — yang Sama Tuanya

14 Mei 2016   20:48 Diperbarui: 14 Mei 2016   21:17 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


source image by: klik di sini

Barangkali Santiago tengah

terduduk di jembatan kayu,

di ujung pikirannya.

Mengayun-ayunkan kaki bersamaan

dengan bocah lelaki di sebelahnya.

Ia meneguk bir kaleng sedang

Manolin, bocah itu, menyesap soda

yang sama dinginnya. Tenang mendengarkan

kisah yang terus diulang-ulang soal

singa di Afrika; sesekali diselingi

perdebatan tentang tim bisbol terkuat

dalam Liga Amerika.

Lalu langit senjakala

karang, ombak dan lompatan lumba-lumba

tak lebih dari siluet para pemaki di pesisir.

Buku tua yang digemari wanita tua itu—yang entah sudah

bilangan ke berapa dibacanya, juga hampir

dihafalnya walau beberapa

tulisannya karam atas air asin

—seolah menjelma lelaki

dengan mata tajam-menghunjam.

             “Jangan sekalipun berpikir kau pantas disebut Salao!*”

             —buku itu bicara meski tiada suara.

Wanita tua yang duduk di ujung sampan

meremas dayung erat-mengerat

bibirnya bergetar-gentar dan memaksa menjawabi

imajinya sendiri.

              “Kalau bukan begitu, lantas apa?

              Aku sudah lelah-menyerah menanggung derita-usahamu.”

              “Berhenti bicara begitu. Andai aku masih—”

belum usai pangkal kalimatnya mengalir

wanita tua itu berdiri mengentak.

              “Andai kau masih apa? Hidup? Begitu?”

katanya seolah buku yang tergeletak itu

adalah suami yang dahulu dicintainya

yang belum rela ia lepas kepergiannya.

              “Kau tak lebih baik dari Santiago Si Lelaki Tua malang itu

              kau lebih menyedihkan, memilih melompat dan menyerah pada lautan,”

                          ...tak ada yang pantas dibanggakan, hatinya lemah melanjutkan.

             Tiba-tiba kembali di telinganya terdengar

             suara bom ikan milik cukong bersahutan.

Santiago beserta Manolin pergi

menyeberang dari pikiran ke pikiran

para istri nelayan yang ditinggal

mati suaminya. Keduanya mengabarkan

bahwa hidup sangat sederhana untuk dijalani

dan dipilih

: berlayar mengikuti arus

atau belajar melawannya.

Gaduh tabuh beduk subuh

para pelawat berkumpul-riuh

di rumah kayu yang tak lagi

berpenghuni.

Cilegon, 24 Desember 2015





  *) Salao bermakna sebuah keadaan terburuk dari ketidakberuntungan—istilah yang dikutip dari novela berjudul, “The Old Man and The Sea (1952)” karangan Ernest Hemingway.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun