“Jangan sekalipun berpikir kau pantas disebut Salao!*”
—buku itu bicara meski tiada suara.
Wanita tua yang duduk di ujung sampan
meremas dayung erat-mengerat
bibirnya bergetar-gentar dan memaksa menjawabi
imajinya sendiri.
“Kalau bukan begitu, lantas apa?
Aku sudah lelah-menyerah menanggung derita-usahamu.”
“Berhenti bicara begitu. Andai aku masih—”
belum usai pangkal kalimatnya mengalir
wanita tua itu berdiri mengentak.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!