Pesatnya perkembangan teknologi, terutama ponsel pintar, memudahkan masuknya ideologi-ideologi asing yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Tanpa penyaring yang memadai, pengaruh ini berpotensi merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Singgih Januratmoko, menyebut era digital memperbesar risiko penyebaran paham radikal dan gaya hidup individualis.Â
"Kini, radikalisme agama hingga kebebasan yang melampaui batas dapat menjangkau masyarakat luas melalui teknologi ponsel," ujarnya saat berbicara dalam acara Sekolah Virtual Kebangsaan (SVK) yang diselenggarakan DPP LDII, Sabtu (23/11).
Menurutnya, media sosial yang menjadi ciri utama era media baru telah menjadi alat efektif bagi kelompok-kelompok tertentu untuk menyebarluaskan pengaruh mereka.Â
"Hedonisme, konsumerisme, hingga nilai-nilai yang bertentangan dengan moral bangsa kita dipromosikan secara masif. Bahkan keluarga kita bisa menjadi sasaran," tegas Singgih kepada lebih dari 1.500 peserta SVK yang hadir secara daring dari berbagai provinsi.
Acara SVK sendiri merupakan kerja sama antara DPP LDII dan MPR yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai kebangsaan, seperti Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.Â
Singgih menekankan pentingnya keterlibatan organisasi masyarakat dalam menjaga bangsa dari ancaman ideologi transnasional.
KH Chriswanto Santoso, Ketua DPP LDII, menambahkan bahwa globalisasi dan pasar bebas telah menantang kedaulatan negara-bangsa.Â
"Hanya negara yang kuat yang mampu melindungi rakyatnya dari pengaruh negatif globalisasi," ujarnya.
Namun, tantangan ini tidak hanya datang dari luar. Chriswanto mengingatkan bahwa dinamika internal bangsa, seperti kesenjangan sosial dan menurunnya moralitas, juga dapat melemahkan semangat kebangsaan.Â
"Penurunan kualitas kehidupan berbangsa sering kali disebabkan oleh pengabaian nilai-nilai Pancasila," jelasnya.
Pandangan serupa juga disampaikan akademisi Yudi Latif. Ia menyebut Pancasila sebagai filsafat hidup yang harus diwujudkan dalam praktik sehari-hari.Â
"Nilai-nilai seperti gotong-royong, musyawarah, dan kerja sama harus menjadi pedoman dalam berpolitik maupun kehidupan bermasyarakat," kata Yudi.
Ia menilai komunitas seperti LDII memiliki peran strategis dalam menjaga nilai-nilai Pancasila.Â
"Negara harus bermitra dengan komunitas adat, budaya, pendidikan, dan agama agar Pancasila tetap hidup dalam kehidupan kita," pungkasnya.
Dapat sama-sama kita tarik kesimpulan bahwa era media sosial menuntut kerja sama yang kuat antara negara dan masyarakat untuk menghadapi tantangan kebangsaan. Peran organisasi seperti LDII menjadi salah satu jangkar penting dalam menjaga semangat nasionalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H