Kebudayaan selalu bergerak, tapi ke mana arah gerakannya? Apakah sekadar etalase pameran pembangunan ataukah justru metode yang melandasi pembangunan?
Menerjemahkan Kebudayaan: Â Etalase atau Substantif ?
Pada masa Orde Baru, kebudayaan memang lebih diterjemahkan sebagai kesenian, difungsikan sebagai komoditas pariwisata, dan dilepaskan dari makna hakikinya. Sebuah tarian yang merayakan hasil panen direduksi maknanya menjadi pertunjukan seni yang indah semata. Diambil tariannya tetapi tanah sebagai sumber kehidupan dicerabut dari masyarakatnya. Akhirnya tarian itu tidak menemukan konteks sosialnya, menjadi komoditas semata. Paradigma kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan menempatkan  adanya kebudayaan yang lebih tinggi dari yang lainnya. Posisi kebudayaan di masa orde baru memang diletakkan sebagai "etalase" semata.
Setelah reformasi, posisi kebudayaan yang menjadi satu dengan pariwisata masih belum bisa lepas dari kerangkeng "etalase." Namun dalam 10 tahun terakhir, Direktorat Jenderal Kebudayaan justru meletakkan kebudayaan sebagai hal yang substantif. 10 objek pemajuan kebudayaan adalah kategori yang menjadi "jalan masuk" untuk menggali dan merevitalisasi nilai-nilai budaya yang substantif.
Direktorat Jenderal Kebudayaan menempatkan seluruh aspek kebudayaan lokal dari beragam daerah secara setara, sehingga kebudayaan nasional bukan lagi puncak-puncak, tetapi relasi dalam keberagaman. Kebudayaan tidak semata dilihat secara fisik, tetapi persoalan-persoalannya dibedah untuk menjadi dasar kebijakan. Melalui Kongres Kebudayaan Indonesia 2018, seluruh pemangku kepentingan kebudayaan baik dari unsur pemerintah daerah, masyarakat pelaku budaya bersama-sama merumuskan tantangan dan agenda pemajuan kebudayaan. Tantangan inilah yang berusaha dijawab oleh pemerintah melalui 7 agenda pemajuan kebudayaan yang kemudian tercermin dalam Perpres 114/2022 tentang Strategi Kebudayaan.
Kebudayaan Menjawab Tantangan Pembangunan
Tantangan pembangunan di Indonesia sangat luas, dari mulai ekonomi, degradasi lingkungan, kesejahteraan, dan lain-lain.  Warisan praktek kebudayaan di berbagai suku bangsa, sebenarnya bisa menjawab tantangan tersebut jika ditempatkan sebagai hulu pembangunan. Persoalan tata kelola sumber daya alam  yang carut marut dan sering menimbulkan konflik agraria sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah memahami budaya setempat yang telah memiliki batas-batas sumber alamnya untuk kehidupan. Masyarakat adat memiliki kearifan lokal mengenai pembagian lahan produktif, lahan sakral yang tidak boleh disentuh untuk keberlanjutan ekosistem kehidupan mereka.  Sebagai contoh betapa substantifnya kebijakan kebudayaan pada 10 tahun terakhir  dapat ditinjau salah satu pokok Strategi Kebudayaan: "Memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem." Hal ini terwujud, antara lain, melalui program Sekolah Lapang Kearifan Lokal yang dijalankan Direktorat Kepercayaan & Masyarakat Adat.Â
Dengan mengambil fokus pangan lokal, Sekolah Lapang Kearifan Lokal yang diselenggarakan selama 2023-2024 telah mengajak anak muda untuk menemu-kenali keberagaman pangan lokal yang ada di desanya. Â Mengenali pangan lokal berarti belajar memahami pula tanah dan siklus serta tata cara tanam masyarakat, ritual, sastra lisan, tarian, dan objek pemajuan kebudayaan lain yang menyertainya. Pada titik inilah melindungi keanekaragaman hayati berarti melestarikan beragam aspek budaya lainnya.
Di Flores Timur, misalnya, program itu menjadi jalan untuk menjawab ketergantungan masyarakat terhadap beras. Flores Timur merupakan wilayah kering sehingga produksi beras tidak berlimpah, tetapi ada banyak tanaman lain seperti umbi-umbian, kacang, jagung, dan ikan sebagai sumber protein. Ketergantungan terhadap beras menyebabkan beragam pangan lokal tidak terlalu diminati lagi oleh masyarakat. Walhasil pengeluaran untuk membeli beras merupakan beban ekonomi masyarakat, dan menjadi penyebab kurang gizi pada anak-anak. Sekolah Lapang Kearifan Lokal menjadi sarana penyadaran kembali akan pentingnya kembali menghidupkan beragam pangan lokal yang sehat. Sehingga ritual, seni bukan sekadar bentuk artistik, tetapi juga jalan yang memperkuat relasi manusia dengan tanah sebagai sumber kehidupannya.
Pelestarian juga berarti melakukan inovasi sehingga tetap relevan dalam kehidupan masa kini. Pengembangan atau inovasi juga dilakukan melalui program Kemah Budaya Kaum Muda, yang melibatkan anak muda untuk bereksperimen menciptakan inovasi teknologi berbasis sumber daya dan kearifan lokal yang dimiliki daerah.  Salah satunya adalah kelompok anak muda dari Sumatera Utara yang dapat mengolah getah  kemenyan menjadi bahan dasar produk wewangian seperti parfum atau aromaterapi. Dengan inovasi pengolahan pohon kemenyan, masyarakat bisa lebih tangguh menolak industri yang menghancurkan lingkungan dan mempertahankan tanah adat yang menjadi tempat tumbuhnya pohon Kemenyan.
Tantangan Pemerintah Baru
Pada titik ini, dapat dilihat bahwa kebijakan kebudayaan dalam sepuluh tahun terakhir ini bukan lagi sekadar etalase, melainkan memperkuat ekosistem budaya untuk menggerakkan nilai-nilai budaya yang substantif dengan berbagai aksinya. Sesuai dengan strategi kebudayaan, pemerintah telah memainkan peran sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan yang memperkuat ekosistem budaya masyarakat.
Kini yang menjadi pertanyaan, bagaimana arah kebudayaan pemerintahan baru yang telah menjadi kebudayaan sebuah kementerian tersendiri.  Apakah memperkuat ekosistem kebudayaan hingga ke akar-akarnya dan merata di seluruh Indonesia? Ataukah sekadar menjadikan kebudayaan sebagai kosmetik dan glorifikasi semata. Dalam pidato perdananya Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan budaya di Indonesia merupakan kekayaan luar biasa disamping nikel, batu bara, minyak, dan gas. Sehingga ia ingin menjadikan Indonesia sebagai "Ibukota Kebudayaan Dunia." Cuplikan pidato ini setidaknya bisa menjadi jejak arah kebijakan kebudayaan pemerintah baru, yaitu mengutamakan diplomasi kebudayaan dan memperlakukan kebudayaan sebagai bentuk material karena ia menyetarakan  kebudayaan  dengan nikel, batu bara, yang biasanya disikapi sebagai potensi industri ekstraktif. Memposisikan kebudayaan sebagai produk yang siap ditaruh di etalase untuk glorifikasi bukan hal baru karena pernah dilakukan oleh rezim orde baru.  Namun paradigma ini justru mereduksi nilai budaya, karena kebudayaan terjebak pada kulit luarnya saja. Sebaliknya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Dirjen Kebudayaan telah menempatkan kebudayaan sebagai hulu pembangunan.  Artinya kebudayaan tidak dilihat sekadar produknya, tetapi juga nilai-nilai yang ditransformasikan terus menerus lintas generasi. Para pelaku budaya antardaerah melakukan berbagai kerja kolaboratif, karena itulah arena untuk memperkuat  identitas bangsa Indonesia. Nilai dan praktek kebudayaan masyarakat juga ujung tombak yang menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran sumber alam untuk kehidupannya.  Sebagai pemerintah baru yang menyatakan dirinya keberlanjutan, maka publik berharap apa yang dirintis selama sepuluh tahun terakhir tidak dihilangkan atau terputus karena jutaan pelaku budaya di seluruh Indonesia telah memetik manfaatnya.***Â
(Ade Tanesia, Pegiat Budaya, Antropologi Universitas Indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H