Mohon tunggu...
Ade Tanesia
Ade Tanesia Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Budaya

Antropolog

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kemegahan IKN & Nestapa Masyarakat Adat Balik

12 September 2024   08:01 Diperbarui: 12 September 2024   11:42 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya sudah harus mengosongkan rumah, padahal belum mendapat uang kompensasi. Anak-anak akhirnya saya sebar ke keluarga lain." Inilah ungkapan teman saya dari Suku Balik yang tinggal di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Rumahnya berada di ring 1 kawasan IKN sehingga terkena dampak pembangunan IKN. Sayangnya dalam pembangunan ini banyak masyarakat adat yang berada di sekitar ring 1 "dipaksa" pindah. 

Ada beberapa keluarga yang tetap bertahan meski rumahnya sudah berbatasan dengan tembok bendungan Intake yang dibangun untuk pasokan air di kompleks IKN.   Kawasan IKN bukanlah wilayah tanpa penduduk. Di sana hidup masyarakat adat dari berbagai suku, dan transmigran yang mayoritas dari Pulau Jawa. Masyarakat adat yang terbanyak di  ring 1 di Kecamatan Sepaku adalah masyarakat adat Suku Balik. 

Sekilas Sejarah Masyarakat Adat  Balik

Sebelum Sepaku ditetapkan sebagai wilayah inti IKN Nusantara, tidak banyak yang tahu tentang Suku Balik. Identitasnya sering dianggap sub Suku Paser, namun masyarakat adat Suku Balik sendiri menolak bahwa mereka bagian dari Suku Paser. Dahlia Yati mengatakan bahwa perbedaan itu ada pada aspek bahasa, dialek, dan juga Suku Balik merupakan bagian dari Kerajaan Kutai Kertanegara. "Kami dibilang Paser Balik sejak wilayah Sepaku menjadi bagian dari Kabupaten Penajam Paser Utara," ujar Pak Rimba (66), salah satu tokoh adat Suku Balik.

Ritual penyambutan tamu oleh tetua adat Suku Balik (Foto : Ade Tanesia)
Ritual penyambutan tamu oleh tetua adat Suku Balik (Foto : Ade Tanesia)

Konon Suku Balik awalnya bermukim di wilayah Balikpapan. Wilayahnya menjadi bagian dari  daerah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara. Ada sebuah cerita turun temurun bahwa Suku Balik kerap membuat papan untuk menyuplai kebutuhan Kerajaan Kutai. Suatu waktu, Suku Balik diminta untuk menyumbangkan  papan putih ke Kerajaan Kutai Kartanegara. Sesampainya di Kerajaan Kutai Kartanegara, mereka menyerahkan papan tersebut, namun papan itu ikut pulang bersama para pengantar papan tersebut dari belakang. Papan itu diantar kembali ke Kerajaan Kutai, namun ikut pulang kembali lagi ke tempat Suku Balik. 

Atas kejadian ini akhirnya Kerajaan Kutai menyebut wilayah Suku Balik dengan sebutan Balikpapan. Selain menjadi penopang kebutuhan papan di masa Kerajaan Kutai Kartanegara, masyarakat adat  Suku Balik juga memberikan tenaga dalam pembangunan infrastruktur,  sementara di masa belanda mereka ikut serta dalam pembangunan Jalan Setrat.  Lebih lanjut Mulianti menjelaskan  ketika sebuah perusahaan minyak Belanda memulai mengeksplorasi minyak bumi di Balikpapan, masyarakat adat  Suku Balik ini memilih mundur ke pedalaman. Hal ini disebabkan mereka semakin sulit untuk mencari makan, berburu binatang buruan yang  makin terdesak. 

Mereka bergerak mundur menyisir sungai. Cabang-cabang sungai yang diingat antara lain adalah Sepaku, Pemaluan, Rico Sotek. Desa Pemaluan (dulu: Maridan) dan Binuang (dulu: Belalang) adalah kampung-kampung yang dibuka oleh Suku Balik. Wilayah Sepaku kemudian menjadi ruang hidup terakhir bagi masyarakat adat Balik sampai sekarang. 

Masyarakat Adat Balik biasanya hidup di dekat sungai, dan Sungai Sepaku merupakan ruang hidup yang strategis bagi mereka. Sepaku adalah sebutan dalam bahasa Balik.   Sepaku berasal dari penggalan kata "Se" yang bermakna sebagai ajakan, sedangkan "Paku" merujuk pada makna Sayur Pakis.  Jika dikombinasikan keduanya menjadi "Sepaku" yang didalam dialek Bahasa Balik bermakna "Daeh Taka Pok Sepaku" atau artinya adalah "kesana kita mencari pakis". Penamaan ini berangkat dari kondisi alam yang banyak tanaman pakis. 

Dalam perjalanannya, masyarakat adat Suku Balik juga mengalami tekanan yang hingga kini masih tetap diingat oleh  generasi mudanya. Salah satunya adalah  gerombolan Ibnu Hajar yang mengejar serta melakukan kekerasan terhadap warga masyarakat adat Balik. Gerombolan Ibnu Hajar atau yang lebih dikenal sebagai Gerombolan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) adalah gerakan yang lahir sekitar 1950-an di Kalimantan Selatan, yang tidak setuju dengan konsep negara Indonesia.  

Kejaran dari para gerombolan ini membuat banyak keluarga harus berlari dan tinggal di hutan-hutan dalam waktu yang cukup lama. Pak Rimba bercerita bahwa para gerombolan ini kadang membunuh, merampok, sehingga banyak warga yang lari ke hutan. Ia sendiri lahir saat pelarian orang tuanya ke hutan sehingga mereka menamai dirinya Rimba. 

Transmigrasi Pemerintah menjadikan Sepaku sebagai wilayah sasaran penempatan transmigran. Penempatan transmigrasi dimulai pada 26 Agustus 1975 di Desa Bukit Raya yang sebelumnya adalah Desa Sepaku Satu (1).  Jumlah transmigran seluruhnya  4.000 Kepala Keluarga. Secara keseluruhan terdapat lima gelombang transmigrasi yang sebagian besar berasal dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jakarta, dan Bali. Kedatangan para transmigran mengakibatkan masyarakat adat Suku Balik harus berbagi ruang hidup dengan para pendatang. 

Secara umum mereka menerima para pendatang, namun dalam perkembangannya jumlah penduduk pendatang semakin berkembang dan masyarakat adat Balik menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Perdagangan juga kebanyakan dikuasai oleh kaum pendatang, sementara masyarakat adat Suku Balik tetap mengupayakan kebun dan ladang untuk penghidupan. 

Tidak hanya datangnya gelombang transmigran, sejak tahun 1970-an, terdapat beberapa perusahaan yang bergerak di bidang kayu datang ke wilayah Sepaku. Perusahaan pertama yang beroperasi pada saat itu adalah PT. International Timber Coorporation Indonesia (ITCI). Bagi masyarakat adat Suku Balik, kedatangan perusahaan lebih banyak merugikan masyarakat, antara lain menghabisi lahan warga dan keanekaragaman hayati serta satwa buruan. Keberadaan perusahaan kayu ini meninggalkan jejak dengan adanya sebutan wilayah Sepaku Logdam. 

Ini menjadi penanda era eksploitasi kayu dan hutan secara besar-besaran di awal tahun 1970-an. Menurut beberapa warga, eksploitasi ini tidak disertai dengan penanaman kembali sehingga kayu-kayu berharga yang ada di hutan mengalami kepunahan secara massif.  Setelah PT. ITCI, terdapat beberapa perusahaan lainnya yang masuk ke wilayah Benuo Sepaku, seperti PT. Delong, PT. Sita, dan kemudian transisi PT. ITCI menjadi PT. ITCI HUTANI MANUNGGAL (IHM). Sementara perusahaan lainnya adalah PT. Argo Indo Mas (Perkebunan Kelapa Sawit) pada tahun 2000, dan PT. Palma (Perkebunan Kelapa Sawit) di tahun 2012.

 

Hilangnya  Ruang Hidup

Gempuran berlapis yang dialami oleh masyarakat adat Suku Balik yaitu gelombang transmigrasi dan masuknya  industri ekstraktif dari berbagai perusahaan mengakibatkan  ruang untuk mencari penghidupan semakin berkurang. Awalnya dalam memenuhi aspek-aspek penghidupannya, masyarakat Suku Balik Sepaku memiliki  ruang hidup yang luas terdiri dari hutan, sungai, pemukiman, tempat ritual, dan tempat keramat. Sayangnya ruang hidup ini berangsur-angsur makin menyempit, dan bahkan dengan pembangunan IKN mereka terancam direlokasi artinya kehilangan ruang hidupnya. 

Kalau pun ada kompensasi penggantian tanah dan tumbuhannya sangat kecil karena kebanyakan masyarakat adat rata-rata tidak mempunyai sertifikat tanah. Kini harga ditentukan oleh pemerintah, dan jika mereka tidak mau menerima maka bisa berperkara ke pengadilan. Tapi bagi masyarakat kecil, menyewa pengacara, mengurus ke pengadilan bukan hal yang mudah, juga membutuhkan uang yang tidak sedikit. 

Lalu apa arti peradaban baru yang dicita-citakan ibukota baru ini ? Sebuah peradaban biasanya dibangun oleh masyarakat, bukan tercipta secara instan. Impian sebagai smart city, green city bukan sekadar fisik, melainkan sejalan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat serta rasa keadilan warga yang tinggal di sebuah kota. Yang terjadi cara membangun ibukota negara ini seperti membangun kota satelit seperti BSD atau PIK. Menggusur warga setempat, dan mengisinya dengan perumahan2 mewah. Hal ini sangat terlihat ketika presiden mengajak warga Singapura untuk membeli tanah di IKN. Sangat aneh, warganya sendiri digusur sementara orang luar disuruh tinggal di sana. 

Dengan cara pandang semacam ini, bagaimana mungkin membuat label "smart city" sementara penduduk di kota tersebut masih banyak yang tertinggal dalam pendidikan.  Atau label "Green city" sementara ruang hidup masyarakat dibabat habis. Lalu untuk siapa ibukota nusantara ? di berbagai media kita menyaksikan bagaimana masyarakat sulit memperoleh air bersih, sementara kompleks istana dan kementrian sudah memperoleh air bersih. Masyarakat juga ingin mendapatkan air yang layak dan tak harus beli. 

Artinya bendungan yang dibangun dengan menggusur rumah masyarakat itu diperuntukkan untuk siapa. IKN yang dalam beberapa tahun terakhir  dibangun secara spartan seakan tidak memprioritaskan masyarakat yang hidup di kawasannya.  Seharusnya fasilitas umum seperti rumah sakit yang layak air bersih, pemerataan listrik diprioritaskan lebih dahulu sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat di sana. Setelah itu baru pembangunan istana dan perkantoran pemerintah. 

Pada masa pemerintahan baru kelak, diharapkan keberlanjutan pembangunan IKN lebih memprioritaskan masyarakat adat dan warga lain yang tinggal di sekitarnya. Masyarakat adat sangat mengharapkan mereka tidak direlokasi, melainkan keberadaannya diakui dan diberikan hak atas ruang hidupnya. Bagi masyarakat transmigran yang sudah terbiasa hidup dengan berdagang, mungkin akan lebih mudah beradaptasi. Namun bagi masyarakat adat yang hidupnya tergantung pada kebun dan sungai tentunya sulit untuk dicerabut dari lingkungan alamnya. Jika ingin membangun peradaban baru, sebaiknya pemerintah membangun lebih dulu ekosistem masyarakat yang sudah tinggal di sana, dan bukan malah merelokasi mereka dengan semena-mena. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun