Mohon tunggu...
Ade Tanesia
Ade Tanesia Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Budaya

Antropolog

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Colliq Pujie, Penyalin Naskah Kuno La Galigo

9 September 2024   22:49 Diperbarui: 11 September 2024   10:31 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah keluarga Colliq Pujie berupa rumah panggung khas masyarakat Sulawesi Selatan. Terbuat dari kayu yang kuat serta berdiri kokoh. Di depannya ada sebuah patung gambaran wajahnya untuk mengingat betapa besar jasanya. Saya membayangkan ia adalah seorang perempuan anggun yang tangguh.  Dalam hidupnya, Colliq Pujie memang seorang pejuang sejati. Ketika ia merasakan tekanan belanda terhadap Kerajaan ayahandanya, ia memilih untuk berjuang.  

Pelabuhan bandar niaga di Desa Pancana (Foto: Ade Tanesia)
Pelabuhan bandar niaga di Desa Pancana (Foto: Ade Tanesia)

Ia sangat kritis dan menentang kebijakan Belanda yang merugikan rakyatnya. Namun kekritisannya justru membuat Belanda melihatnya sebagai sosok yang membahayakan. Colliq Pujie akhirnya diasingkan di Makasar agar pengaruhnya tidak menjalar di kerajaan Tanete. Sementara anaknya sendiri yang kemudian diangkat menjadi Ratu Tanete lebih berpihak pada Belanda. Di dalam perjuangannya menentang belanda, Colliq Pujie  menciptakan aksara bilang-bilang, semacam kode rahasia untuk  melakukan konsolidasi. 

Di dalam  pengasingannya, Colliq Pujie bertemu dengan Frederic Matthes, seorang misionaris dan linguist asal Belanda. Frederic Matthes juga seorang penerjemah Alkitab, dan memiliki kepentingan untuk memahami alam pikir kebudayaan masyarakat Bugis. La Galigo merupakan epos yang bisa menggambarkan nilai-nilai budaya masyarakat Bugis, sehingga penulisan dan penyusunan La Galigo sangat dibutuhkan dalam pekerjaan misionaris. 

Colliq Pujie yang sangat  memahami aksara bugis dan bahasa sastra dalam La Galigo menjadi sosok tepat untuk melakukan proyek literasi ini.  Kolaborasi penyalinan ulang La galigo dari oral ke tulisan berlangsung selama 20 tahun dan menghasilkan 12 jilid dengan 2.851 halaman.  Dengan adanya naskah La Galigo secara tertulis, kebudayaan masyarakat Bugis memang bisa terselamatkan. Naskah ini kemudian dibawa ke Belanda, dan sebagian tersimpan di Museum Leiden sampai saat ini.  Berkat Colliq Pujie, maka naskah teks La Galigo merupakan epos kuno terpanjang di dunia, mengalahkan mahabarata. Inilah sumbangan terbesar Colliq Pujie bagi Indonesia, khususnya masyarakat Bugis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun