Terik matahari melepas panasnya yang meresahkan tubuh saat memasuki wilayah Desa Pancana. Tidak ada yang istimewa dengan Desa Pancana. Namun inilah desa yang bersejarah karena konon menjadi tempat Kerajaan Tanete yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.Â
Dan dari rahim kerajaan Tanete, lahir seorang perempuan luar biasa dari tanah bugis, namanya Arung Pancana Toa Ratna Kencana Colliq Pujie Mattinroe Ri Tucae, atau terkenal dengan nama Colliq Pujie. Ia adalah putri Raja Tanete,Â
Kerajaan Tanete tidak sebesar Kerajaan Gowa atau Bone, namun sangat strategis karena memiliki bandar niaga kedua yang besar setelah bandar di Makasar. Sisa bandar tersebut masih terlihat dengan deretan perahu-perahu yang diparkir.Â
Selain itu masih tersisa pembagian kawasan masa lalu dimana ada kampung  Tionghoa, Melayu, Arab, yang menunjukkan Desa Pancana pernah menjadi tempat bagi beragam bangsa untuk melakukan perdagangan di masa itu.Â
Bandar niaga yang strategis ini menyebabkan Kerajaan Tanete cukup diperhitungkan oleh Belanda, sehingga di tahun 1834 Belanda merebut paksa Kerajaan ini melalui perang dengan La Patau yang menjadi Datu di Tanete.Â
La Patau yang tidak sudi tunduk pada Belanda lalu mengangkat La Rumpang Megga sebagai gantinya. Sejak saat itu pemerintahan Raja Tanete, baik secara politik maupun administratif, sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Belanda. Hal ini menimbulkan berbagai konflik yang terjadi di kerajaan Tanete baik konflik Internal maupun eksternal. Dari situasi itulah Colliq Pujie putri dari La Rumpang Megga justru tampil sebagai aktor perlawanan dan menentang Belanda.
Sesampainya di Desa Pancana, kami bisa memasuki rumah panggung kayu milik keluarga Colliq Pujie. Hanya rumah biasa khas bugis, namun terpampang foto-foto tua keturunan Kerajaan Tanete. Namun diantara foto tersebut, tak ada satupun foto Colliq Pujie yang termasyur itu. "Colliq Pujie tidak memiliki foto, hanya lukisan yang merupakan rekaan wajahnya," ujar temanku.
 Lalu mengapa tak ada fotonya, sementara begitu banyak foto keluarganya. "Ya...Colliq Pujie melawan belanda, sehingga ia juga enggan menggunakan teknologi foto yang berasal dari belanda saat itu," sambung temanku.  Jika di internet kita mencari Colliq Pujie maka yang muncul foto seorang perempuan yang sedang duduk di singasana. "Itu bukan Colliq Pujie, melainkan anaknya yang menjadi Raja Tanete," ungkap temanku. Kami pun menyebrang ke rumah lain dimana kursi singasana itu masih tetap dipelihara.Â
Rumah keluarga Colliq Pujie berupa rumah panggung khas masyarakat Sulawesi Selatan. Terbuat dari kayu yang kuat serta berdiri kokoh. Di depannya ada sebuah patung gambaran wajahnya untuk mengingat betapa besar jasanya. Saya membayangkan ia adalah seorang perempuan anggun yang tangguh. Â Dalam hidupnya, Colliq Pujie memang seorang pejuang sejati. Ketika ia merasakan tekanan belanda terhadap Kerajaan ayahandanya, ia memilih untuk berjuang. Â
Ia sangat kritis dan menentang kebijakan Belanda yang merugikan rakyatnya. Namun kekritisannya justru membuat Belanda melihatnya sebagai sosok yang membahayakan. Colliq Pujie akhirnya diasingkan di Makasar agar pengaruhnya tidak menjalar di kerajaan Tanete. Sementara anaknya sendiri yang kemudian diangkat menjadi Ratu Tanete lebih berpihak pada Belanda. Di dalam perjuangannya menentang belanda, Colliq Pujie  menciptakan aksara bilang-bilang, semacam kode rahasia untuk  melakukan konsolidasi.Â
Di dalam  pengasingannya, Colliq Pujie bertemu dengan Frederic Matthes, seorang misionaris dan linguist asal Belanda. Frederic Matthes juga seorang penerjemah Alkitab, dan memiliki kepentingan untuk memahami alam pikir kebudayaan masyarakat Bugis. La Galigo merupakan epos yang bisa menggambarkan nilai-nilai budaya masyarakat Bugis, sehingga penulisan dan penyusunan La Galigo sangat dibutuhkan dalam pekerjaan misionaris.Â
Colliq Pujie yang sangat  memahami aksara bugis dan bahasa sastra dalam La Galigo menjadi sosok tepat untuk melakukan proyek literasi ini.  Kolaborasi penyalinan ulang La galigo dari oral ke tulisan berlangsung selama 20 tahun dan menghasilkan 12 jilid dengan 2.851 halaman.  Dengan adanya naskah La Galigo secara tertulis, kebudayaan masyarakat Bugis memang bisa terselamatkan. Naskah ini kemudian dibawa ke Belanda, dan sebagian tersimpan di Museum Leiden sampai saat ini.  Berkat Colliq Pujie, maka naskah teks La Galigo merupakan epos kuno terpanjang di dunia, mengalahkan mahabarata. Inilah sumbangan terbesar Colliq Pujie bagi Indonesia, khususnya masyarakat Bugis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H