Mohon tunggu...
Ade Tanesia
Ade Tanesia Mohon Tunggu... Freelancer - Antropolog

Pemerhati Budaya

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Mengenang Edhi Sunarso, Pematung Kesayangan Bung Karno

7 Juli 2024   12:00 Diperbarui: 7 Juli 2024   12:11 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang menarik untuk memperoleh bentuk patung, biasanya Bung Karno sendiri yang akan memperagakan dirinya untu kdijadikan model. "Nanti dia beraksi sambil mengembangkan dua tangannya dan berteriak 'selamat datang'. Lalu kita disuruh sket dirinya. Nggak sekali dua kali tuh. Kalau dia lihat kurang bagus, dia akan ulang lagi agar gayanya lebih dinamis. Jika sket sudah bagus, maka kita langsung membuat maket," kenangnya. Setelah patung Selamat Datang, maka Edhi Sunarso diminta untuk membuat patung pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng. "Kalau patung itu modelnya saya. Jadi jika diperhatikan mirip saya wajahnya," katanya sambil tertawa.

Patung Irian Barat selesai, lalu Edhi Sunarso diminta untuk membuat patung Dirgantara yang akan diletakkan di bunderan Pancoran. Idenya berasal dari pertanyaan, jika Amerika dan Soviet bangga dengan pesawatnya, lalu apa yang bisa dibanggakan dari Indonesia? manusianya. Bung Karno pula yang memperagakan gaya Gatot Kaca Mental Bentolo atau Gatot Kaca yang sedang jejak, mengambil ancang-ancang untuk terbang dan lepas landas. Itu adalah simbol dari semangat dan patriotisme bangsa Indonesia. Pada tahun 1964, patung itu sebenarnya sudah selesai di Jogja. Lalu pecah peristiwa G30S, sehingga patung yang baru dibayar sekitar 5 juta itu terhenti. Edhi Sunarso sendiri harus menjual benda-benda berharganya untuk menutupi biaya pembuatan patung yang nilai keseluruhannya sejumlah Rp. 12 juta. Secara politis, patung itupun diisukan sebagai monumen cukil matanya Gerwani oleh orang-orang yang anti Bung Karno. Saat yang bersamaan, Bung Karno sudah mulai sakit-sakitan. Kendati demikian saat pemasangan Bung Karno masih tetap datang. "Hanya dua kali Bung Karno datang, lalu ia dirumahkan. Ketika patung ini selesai dipasang, beliau sudah menjadi jenazah. Inilah monumen terakhir yang tidak pernah dilihat dan diresmikan oleh Bung Karno. Juga biayanya tak pernah dilunasi oleh pemerintah. Bung Karno sempat menyuruh bawahannya untuk menjual mobilnya untuk menutupi pembayaran patung itu, tetapi hanya sekitar 1 juta. Bagi Edhi Sunarso, bekerjasama dengan Bung Karno merupakan pengalaman yang sangat berkesan.

Perjalanan Edhi Sunarso memang sangat panjang. Kini usianya telah mencapai 72 tahun. Di tahun ini pula ia berbahagia karena bisa merayakan "kawin emas" dengan isteri tercintanya Kustiyah. Untuk mengingat asal usulnya, maka ia pun merenovasi rumah orang tuanya di salatiga yang telah diwariskan padanya. Sebuah rumah yang sebetulnya asing baginya, karena ia tidak pernah dibesarkan di sana. Di masa tuanya pula ia berencana untuk menunaikan hajinya pada tahun 2006. Tubuhnya masih bugar sehingga ia tetap bekerja dari jam 08.00 pagi -- 16.00 sore di studionya di kawasan Jombor, Jogjakarta. Seluruh pencapaiannya ditanggapi dengan kerendahan hati. Saat ia berkata "aku hanyalah titik kecil dari seluruh peristiwa besar yang lainnya". (Ade Tanesia, Pecinta Seni)

Catatan: Ini adalah tulisan lama yang pernah dimuat di Majalah Visual Art. Saat itu, Edhi Sunarso masih hidup dan saya mewawancarainya di studionya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun