Bertemu Orang Tua
Sampai di kawasan Salatiga, ia masuk ke daerah RI, namanya Suruh. Setelah bertemu dengan komandan area Suruh, ia akhirnya diajak untuk bergabung menjadi staf komandan militer Ampel. Pada bulan September 1949, secara tidak disengaja ia bertemu dengan tiga orang tentara di sebuah perayaan hari ulang tahun RI ke-4. Ternyata tiga tentara itu adalah saudara kandungnya. Mereka adalah Wiryono, seorang prajurit, Darjono seorang wakil wedana RI dan Suwarno seorang Wedana RI. Matahari belum lagi terbit, Edhi Sunarso bersama ketiga saudaranya langsung bergegas menuju desa tempat orang tuanya tinggal. Mereka berjalan kaki sepanjang 30 km dan baru sampai pada jam 8 pagi.
Saat berhadap-hadapan muka dengan orang tuanya, tak ada tangis, pun tak ada pelukan. "Kami masing-masing tidak bisa bicara. Selama ini mimpiku untuk bertemu orang tua dengan perasaan dicintai dan dicium, sama sekali tidak terjadi. Rasanya hanya kosong. Aku nggak bisa bertahan lama di rumah orang tua, karena selalu merasa sebagai orang terbuang. Apalagi melihat kakak dan adik yang semuanya disekolahkan.
Sementara, aku, lapar harus kurasakan sendiri, sakit kurasakan sendirian, apalagi sekolah. Hari pertama, hari kedua semakin mencekik. Lalu aku kembali ke komandan di Ampel dan minta keluar untuk melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta. Lalu aku pamit pada orang tua. Tentu mereka berusaha menahanku, tetapi bagaimana lagi, aku hanya bisa bertahan satu minggu. Aku hanya berjanji pada diri sendiri bahwa akan kembali setelah menjadi orang, setidaknya selevel dengan saudara saya lainnya," tutur Edhi Sunarso dengan lirih.
Menjadi Pematung
Kembali Edhi Sunarso harus berjalan kaki menuju Jogjakarta, melewati rintangan-rintangan di setiap daerah kekuasaan belanda. Sesampainya di sana, ia mencari komandannya dari pasukan Siliwangi. Ternyata pasukan ini telah long march kembali ke Bandung, ia disarankan untuk mendaftar ke kantor KUDP (Kantor Urusan Demobilisasi Prajurit).
Waktu itu bulan April 1950. Edhi Sunarso berada di persimpangan jalan saat ia ditanya apakah mau terus jadi tentara atau sekolah. Ia sendiri sudah bosan jadi tentara. Saat sedang menentukan pilihannya, ia kerap bermain di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang letaknya di depan bioskop Permata, Jogjakarta.Â
"Senang sekali melihat mereka menggambar. Saya teringat di penjara. Mereka gambar di pasar, saya ikut gambar juga," ungkap Edhi Sunarso. Masih segar dalam ingatannya, saat dirinya sedang asyik menggambar, seorang pria menepuk pundaknya seraya berkata "aku heran, kau sebenarnya di sini sedang ngapain? You tentara kan?".Â
Edhi Sunarsopun menjelaskan bahwa dirinya telah ditinggal pasukannya long march ke Bandung. "You bisa gambar? Kenapa nggak sekolah saja?," lanjut pria itu. Tentu saja tanpa adanya ijazah SD, tak mungkin ia bisa mendaftar ke sekolah tinggi. "Tapi gambar you bagus. Orang sunda yah?," tanya laki-laki itu. Edhi Sunarso hanya mengangguk pelan. "kalau gitu, besok aku akan bilang direktur. kalau diterima jadi siswa mau nggak?", tanya laki-laki itu. Mata Edhi Sunarso langsung berbinar-binar, dunia serasa terbuka baginya. Tanpa tedeng aling-aling, ia langsung menyatakan kesediaaannya.
Itulah pertemuan pertamanya dengan Hendra Gunawan. Sebuah pertemuan yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidupnya. "Bagi saya Hendra Gunawan dan isterinya seperti orang tua. Dari merekalah saya memperoleh kasih sayang yang selama ini saya dambakan,"ungkapnya mengenang kebaikan hati keluarga Hendra Gunawan. Ia tinggal di rumah Hendra Gunawan yang juga menjadi markas sanggar Pelukis Rakyat. Dengan gaji dari KUDP sebesar Rp. 150,- per bulan, ia ikut membantu Hendra Gunawan untuk menghidupi sanggar Pelukis Rakyat. "Pelukis rakyat itu hanya dapat subsidi dari pemerintah sebesar Rp. 12,- per bulan. Kalau sudah tanggal tua, Bu Mien, istri Hendra Gunawan mulai menggadaikan kain-kain. Inilah gambaran Pelukis Rakyat tahun 1950-an," imbuhnya.
Bersama para seniman lain, ia sering diajak ke Kaliurang untuk mematung batu, karena saat itu belum ada teknik cor, semuanya memakai tanah liat.Baginya tak ada malam, karena siang malam ia terus menumpahkan hidupnya untuk menggambar dan mematung. Tidak heran jika saat tahun ketiga ia diperbolehkan untuk ikut ujian dan dinyatakan lulus sehingga bisa menjadi mahasiswa biasa. Pada tahun 1952, Edhi Sunarso mengikuti sayembara patung sedunia di London bernama Public Ballot dimana ia menjadi pemenang kedua dengan patung berjudul "The Unknown Political Prisoner" yang kini tersimpan di Museum Tate, London. Ia kemudian melanjutkan sekolah di ASRI sehingga bisa memperoleh ijazah 2. Dengan bekal ijazah dan prestasi yang dimilikinya, Edhi Sunarso bisa mendapat beasiswa dari Unesco untuk sekolah di Santini Ketan, India. Selama dua setengah tahun studi di negeri Mahatma Gandhi itu, ia memperoleh Gold Medal dari pemerintah India. Sebuah penghargaan kesenian pertama yang diberikan India kepada orang asing. Sekembalinya dari India, di tahun 1959, Edhi Sunarso menjadi guru tetap di ASRI. Saat itu pula ia mengembangkan teknik cor gips dan semen. Pada tahun 1960, ia pun diberikan tanggung jawab untuk mengembangkan jurusan seni patung di ASRI.
Bung Karno dan Patung-Patung Bersejarah
Nama Edhi Sunarso di kancah nasional semakin melambung. Tiba-tiba ia pun mendapat panggilan dari Bung Karno. "Sebenarnya saya sudah pernah bersalaman dengan Bung Karno saat peresmian monumen tugu muda Semarang. Tapi entah darimana Bung Karno mendapatkan nama saya," ungkap Edhi Sunarso merendah. Bersama Henk Ngantung, ia bertemu dengan Bung Karno yang mengutarakan rencananya untuk membuat patung besar untuk menyambut peserta Asean Games. "Waktu itu Bung Karno bilang gini 'Di, aku mau buat patung, tingginya 9 meter. Patung selamat datang untuk menyambut olah ragawan Asian Games Bahan perunggu', terus saya bilang 'Pak, saya belum pernah bikin patung perunggu. Jangankan 9 meter, 10 cm pun belum pernah". Dia bilang lagi 'Kau punya national pride nggak? Kau senang kalau yang buat patung seniman dari Italia. Pokoknya senang tidak senang, kamu harus lakukan. Aku dengar kau pernah masuk penjara untuk bela negara. Aku beri waktu satu minggu untuk berpikir. Tapi kalau kembali harus dengan jawaban SANGGUP! Demikian obrolan saya dengan Bung Karno saat itu," ungkap Edhi Sunarso menirukan gaya bicara Bung Karno.
Sepulangnya dari Jakarta, maka yang langsung ditemui oleh Edhi Sunarso adalah Pak Gardono, kakak dari pematung G. Sidharta. Bersama beliau pula, keduanya menemui mantan pekerja bengkel PJKA yang sanggup membantu proses pengecoran dan penyediaan bahan dengan memakai ketel bekas lori. Untuk peralatan, ia pergi menemui teman-teman eks tentara di Solo. Setelah semua bahan siap, maka ia pergi ke Jakarta menemui bung Karno. Saat ditanya soal biaya, Edhi Sunarso bingung karena dirinya belum pernah menghitung biaya pembuatan perunggu. Lalu Bung Karno memberinya modal awal dan kalau ada keperluan lagi ia bisa langsung minta ke Jakarta, yaitu ke Hutama Karya yang menjadi rekanan pemerintah. "Jika membeli karya, Bung Karno memang seringkali bayarnya mencicil. Jadi dari gajinya, ia akan menyisihkan untuk membayar cicilan pada seniman-seniman yang karyanya dibeli.Nanti Dullah yang akan bayar ke seniman-seniman. Pernah suatu saat Bung Karno datang ke rumah saya. Melihat lantai rumah yang tak bertegel, Bung Karno langsung bilang 'Di, saya belikan tegel, tapi aku ambil satu patungmu'," ungkap Edhi Sunarso tertawa.