Mohon tunggu...
Ade Tanesia
Ade Tanesia Mohon Tunggu... Freelancer - Antropolog

Pemerhati Budaya

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Indonesia Bermartabat Lewat Sepak Bola

7 Juli 2024   10:45 Diperbarui: 8 Juli 2024   10:10 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Tribunnews.com 

Di tengah maraknya gaung simbol anak muda dalam panggung politik nasional, dunia sepak bola Indonesia justru menawarkan sebuah panggung lebih bermakna yang menginspirasi kaum muda bangsa ini. Derasnya kritikan atas anak muda yang secara instan dikarbit, maka sepak bola nasional justru sarat akan kisah anak-anak muda yang gigih berproses untuk mencapai kemenangan di setiap pertandingannya.

Selama puluhan tahun federasi sepak bola Indonesia (PSSI) tidak dikelola dengan akuntabel sehingga sulit sekali mencapai tingkat teratas di level ASEAN. Pada beberapa tahun terakhir, PSSI membenahi dirinya, diangkatnya pelatih nasional Shin Tae-yong menjadi momentum kebangkitan Sepak Bola Indonesia. 

Sepak bola Indonesia di tahun 2024 telah menjadi oase ketika rakyat semakin apatis dengan degradasi etika dalam praktik politik. Kekhawatiran akan pembangunan mental generasi muda Indonesia dengan diperagakannya demokrasi siasat tanpa malu, mendapatkan harapannya melalui perjuangan para punggawa muda sepak bola.

Jika disimak, maka hampir seluruh pemain timnas Garuda (non-naturalisasi) berasal dari keluarga sederhana. Pratama Arhan asal Blora yang kini kondang bak seleb, mengawali karirnya sejak kecil di mana orangtuanya harus berjuang hanya untuk membelikannya sepatu bola. Rizki Ridho, sang kapten Timnas Garuda yang selalu tenang di lapangan, memulai kecintaannya pada sepak bola dari gang-gang sempit sekitar rumahnya.

Ayahnya mengatakan bahwa dirinya sampai khawatir jika Rizki Ridho bermain bola sampai di pinggir jalan raya. Fadly Alberto, pemain U-16 yang menjadi striker andalan timnas, ternyata tinggal di rumah tidak layak di atas lahan milik Perhutani di Bojonegoro. Remaja keturunan Papua ini dibesarkan oleh ibunya sendiri yang bekerja serabutan sebagai ART di sekitar tempat tinggalnya.

Artinya pemain-pemain Timnas Garuda yang sekarang mengguncang Indonesia mungkin dulunya anak-anak kecil yang sering kita lihat bermain di gang-gang kampung, atau yang memanfaatkan sepetak tanah kosong di desa-desa.

Tentunya keberhasilan mereka juga ditunjang oleh pelatih hebat, baik di klub maupun nasional yang sekarang dipegang oleh Shin Tae Yong, pelatih asal korea selatan. Namun proses yang dilewati tentu tidak mudah karena hampir semuanya harus mengorbankan masa remajanya.

Marselino Ferdinan yang baru saja disemat sebagai Atlet baru terbaik versi Indonesian Sports and Entertainment Awards 2024, mengatakan bahwa orangtuanya sangat disiplin, bahkan waktu tidurnya pun diatur. Ia tidak merasakan keseruan khas remaja yang dialami oleh teman-teman sebayanya.

Artinya proses untuk teguh berkomitmen, disiplin, pantang menyerah telah dipupuk sejak belia. Olahraga seperti sepak bola juga menjunjung tinggi "fairness" sehingga kecurangan dianggap aib besar. Menerima kekalahan juga proses memperkuat mentalitas seseorang.

Dalam antropologi dikenal istilah inisiasi yang hidup pada berbagai suku bangsa di dunia, termasuk nusantara. Inisiasi adalah proses seseorang yang akan memasuki babak atau tahapan baru dalam kehidupannya.

Proses ini sering kali harus melewati ujian-ujian yang cukup sulit, misalnya mereka diasingkan dari masyarakatnya dan harus mampu bertahan. Tradisi kuno ini telah menciptakan metode untuk membangun mental seseorang menjadi manusia yang berintegritas. Tradisi penggemblengan inilah yang semakin surut di era modern.

Sekolah memang merupakan salah satu institusi yang menempa mentalitas seseorang. Tapi kita tahu bahwa proses ini sering kali dilewati melalui berbagai jalan pintas dan kualitas moral guru yang tidak merata. Sepak bola yang dikategorikan sesuai kelompok usia bisa menjadi wadah inisiasi bagi kaum muda untuk membangun mentalitas yang kuat. 

Pemain Ke-12 dan Menjadi Indonesia

Suporter sepak bola Indonesia juga sebuah gejala yang fenomenal. Perannya sangat penting dalam membakar semangat para pemain di lapangan. Para pemain Timnas Garuda selalu berterima kasih kepada para suporter usai pertandingan, baik menang atau kalah. Ultras Garuda, salah satu klub suporter terbesar dan ada di berbagai kota selalu hadir di setiap pertandingan di Indonesia. Tidak heran suporter kemudian disebut "pemain ke-12."

Melalui mereka pula nasionalisme sebagai bangsa menemukan bentuknya. Dengan adanya teknologi digital, maka nasionalisme begitu cepat menjalar ke berbagai pelosok Indonesia. Di setiap pertandingan, maka kita menjadi satu bangsa, baik offline maupun online.

Fenomena ini seperti yang didalilkan oleh Benedict Anderson mengenai "imagined community" bahwa bangsa adalah komunitas terbayang yang mempunyai kesadaran sebagai suatu entitas dengan adanya wilayah yang berdaulat, bahasa yang sama, dan nilai-nilai hidup bersama yang diyakininya. Bahkan prasyarat utama sebagai entitas bangsa yang tidak dimiliki pemain naturalisasi (pemain yang memiliki darah Indonesia yang mengubah kewarganegaraan menjadi WNI), telah diganti nama-nama ala Indonesia oleh para pencinta sepak bola, seperti Nathan Tjoe-A-On dipanggil mas Tejo, Ragnar disebut Wak Haji, Jay Idzes dipanggil Bang Jay.

Kesadaran ini  terus menerus diproduksi dan direproduksi, dan industri adalah salah satu yang mampu menduplikasinya. Percetakan massal, dan sekarang media sosial merupakan mekanisme untuk reproduksi kesadaran nasionalisme satu bangsa. 

Di dalam dunia sepak bola terkini, reproduksi ini terus berlangsung karena tidak hanya memperkuat identitas kebangsaan, tetapi juga menghasilkan cuan yang besar. Berapa perputaran uang dari penjualan merchandise yang bisa menghidupi UMKM, penjualan tiket, dan lain-lain. Reproduksi citra para pemain juga memungkinkan warga mengidentikkan dirinya dengan pemain kebanggaannya.

Orang miskin yang tak mampu sekolah, bisa memiliki harapan karena pemain-pemain itu berasal dari keluarga yang tidak berbeda nasib dengan dirinya. Pencapaian Timnas Garuda yang gemilang serta membuat sejarah dalam beberapa tahun terakhir juga merasuk cara pandang kaum muda bahwa setiap orang di negeri ini bisa memiliki cita-cita besar dan kaya.

Ada sebuah keyakinan "saya bisa kelak menjadi pemain seperti Marselino" ketimbang bermimpi "saya suatu saat bisa menjadi presiden" karena kini panggung politik sarat dengan nepotisme.

Kaum muda juga diajarkan bahwa pencapaian itu melalui proses panjang yang tidak mudah. Timnas Garuda menjadi pilihan panutan ketimbang para pemimpin atau politisi yang integritasnya semakin merosot.

Jika kita berbicara soal Pancasila, maka hilirisasi nilai-nilainya justru terwujud dalam ruang laga sepak bola, bukan ruang elit politik. Di dalam sepak bola, mereka menyatukan jiwanya untuk mengatakan "Kami Indonesia!" ***

(Ade Tanesia, pencinta sepak bola) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun