Media sosial itu ibarat mata pedang yang tajam dikedua sisinya. Ia akan sebaik penggunanya. Jika digunakan untuk hal yang positif maka baik pula media sosial tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika media sosial dimanfaatkan untuk hal yang tidak sehat, maka hasilnya pun akan buruk. Bukan saja seburuk bagi penggunanya, melainkan berdampak negatif bagi orang lain yang berinteraksi dengannya.
Oleh karena itu ada peringatan populer yang kerap digaungkan oleh pegiat media sosial agar bijak bermedia sosial.
Peringatan tersebut bukan tanpa alasan. Betapa banyak pengguna media sosial yang terlibat kasus pelanggaran hukum lantaran mengunggah kata-kata, foto, dan video lantaran dianggap haters.
Perilaku haters sendiri dimaknai sebagai cerminan sikap negatif dan tidak sehat di dunia maya, cenderung menghasilkan konplik, dan merugikan hubungan sosial baik secara individu maupun kelompok.
Nah, belakangan setelah media sosial digunakan secara luas di semua kalangan, dengan segala akses kemudahan yang didapatkan di dunia maya, ternyata menimbulkan aspek kecanduan yang konon kabarnya dapat mengganggu mental penggunanya, betulkah?
Hal tersebut yang diperingatkan para pakar kesehatan jiwa dan psikolog kepada para pengguna media sosial untuk tak cukup sebatas menghindari perilaku haters, lebih dari itu ada konsekuensi kesehatan mental yang ditimbulkan jika seorang pengguna media sosial tidak bisa memeneg dengan baik.
Lantas, kenapa media sosial bisa menimbulkan kecanduan?
Diawal kemunculannya, media sosial ditujukan untuk bersosialisasi antara satu orang dengan individu lainnya melalui jejaring sosial di dunia maya.
Lalu, cara kerja media sosial semakin meningkat dengan saling membangun komunitas, membuat kolaborasi, hingga berbagi informasi.
Selanjutnya, kini media sosial sudah memasuki seluruh aspek kehidupan sehari-hari, baik sosial, budaya, ekonomi, politik, ideologi, maupun agama.