Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berdamai dengan Gempa di Jalur "Ring of Fire" Pasifik, Mungkinkah?

29 Februari 2024   05:00 Diperbarui: 29 Februari 2024   18:59 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di daerah saya, di ujung paling barat Pulau Jawa kerap dilanda bencana alam. Beragam rupa bencana itu diantaranya gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi dan lain sebagainya, pernah terjadi. Bahkan sering!

Menurut para pakar dan ilmuwan, daerah tempat saya tinggal termasuk dalam wilayah Ring of Fire, kawasan Cincin Api yang rawan dengan bencana alam, terutama gempa bumi.

Ya, sebagaimana daerah lain di Indonesia, hampir seluruh wilayah negeri kita tercinta ini sangat berpotensi terdampak gempa bumi.

Hal itu lantaran posisi geografisnya yang berada di pertemuan tiga lempeng utama dunia, Eurasia, Indo Australia dan Pasifik atau populer dengan sebutan Jalur Cincin Api Pasifik.

Nah, belum lama ini, kami merasakan getaran (baca: guncangan) malam hari diakibatkan gempa bumi bermagnitudo 5,7 skala richter. Jarak pusat gempa dengan tempat kami tinggal sekira 100 km.

Menurut Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofikasika (bmkg.go.id) pusat gempa berada di laut 85 km Barat Daya Bayah, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Kedalaman gempa 10 Km.

Fenomena ini terjadi pada hari Minggu sekira pukul 20:07:03 WIB. “Tidak berpotensi tsunami #BMKG,” cuit twitter X @infoBMKG pada 25 Februari 2024.

Melalui cuitannya @infoBMKG menyebut kegempaan dirasakan di sejumlah daerah seperti Cilacap (Jawa Tengah), Serang (Banten), Panimbang, Cigeulis (Pandeglang) hingga Lembang (Jawa Barat)

Foto : dokumentasi bmkg.go.id
Foto : dokumentasi bmkg.go.id

Sejumlah akun media sosial X juga menyebut getaran terasa di Sukabumi, Bandung, Cilegon, maupun seputaran kawasan Jabodetabek seperti Tangerang, Depok, dan Bekasi.

Tak hanya itu, BMKG juga melaporkan usai gempa pertama 20:07:03, berikutnya terjadi gempa lagi dengan magnitudo yang lebih rendah sebanyak 39 kali gempa susulan hingga Senin 26 Februari 2024 siang.

Beruntung, gempa yang terjadi hari itu hanya skala ringan. Getaran dirasakan hanya terbatas dalam rumah. Terasa getaran seolah-olah ada kendaraan besar (truk) lewat melintas.

Bahkan untuk gempa susulan yang lebih kecil, getaran mungkin tidak dirasakan kecuali dalam keadaan luar biasa oleh beberapa orang saja. Makanya, gempa susulan relatif tidak dirasakan jika saja tidak ada laporan BMKG.

Baca juga: Bisakah Kita Hidup Tanpa Listrik?

screenshot twitter X @infoBMKG
screenshot twitter X @infoBMKG

Berbeda halnya dengan fenomena gempa bumi yang terjadi pada 23 Januari 2018 silam. Siang itu terjadi gempa berkekuatan 6,1 skala richter.

Meski tidak menyebabkan tsunami, gempa utama yang berpusat di Lebak, Banten, telah memporakporandakan ribuan bangunan rumah di sejumlah lokasi yang berdekatan dengan pusat gempa.

Di tahun yang sama pada 22 Desember 2018 di pesisir wilayah Provinsi Banten pernah dilanda tragedi tsunami yang dahsyat. 

Konon fenomena tsunami itu terjadi akibat kombinasi gempa vulkanik dan letusan Gunung Anak Krakatau (GAK) yang berimbas menelan ratusan korban jiwa kala itu. 

Dan dampak terparah dirasakan di pesisir pantai wilayah Kabupaten Pandeglang. Sekira 50 km dari tempat saya tinggal.

Bencana tsunami ini tak hanya menerjang pesisir Provinsi Banten, tetapi juga merambah hingga menerjang sebagian pantai Provinsi Lampung. 

Maka tersebab itu bencana ini kemudian disebut Tsunami Selat Sunda, yang kisah pilu dari tragedinya diabadikan dalam film video dokumenter Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPN). 

Nah, persoalannya, hingga kini, belum ada perangkat teknologi yang mampu memprakirakan kapan dan di mana tepatnya sebuah bencana akan gempa akan terjadi lagi.

Alhasil, bencana ini cepat atau lambat akan terus bertubi-tubi terjadi lagi di sekitar kita. Oleh karena itu, mau tidak mau, kita harus menerima dan sigap menghadapi kenyataan ini. 

Caranya gimana?  

Salah satu langkah yang masih bisa dikerjakan adalah beradaptasi terhadap lingkungan sekitar dengan melakukan mitigasi bencana berbasis kearifan lokal

Baca juga: Menu Makanan Favorit Keluarga

Kentungan di Pos Ronda / Dokumentasi Pribadi
Kentungan di Pos Ronda / Dokumentasi Pribadi

Lalu, adakah kearifan lokal yang mendidik dan mengajarkan masyarakat untuk berdamai dengan alam yang rawan dengan bencana ini?

Saya yakin, setiap daerah dan setiap tempat yang mendiami atau menghuni suatu wilayah rawan gempa pasti memiliki kearifan lokal untuk memitigasi potensi bencana alam yang dipercaya mampu meminimalkan dampak gempa.

Misalnya dalam kearifan lokal di tempat desa saya tinggal. Kalau ada angin kencang, terasa gempa bumi atau hujan lebat yang datang menerpa.

Maka ketua RT atau Pak RW akan menabuh alat kentungan (kentongan) yakni alat pemukul yang terbuat dari batang bambu atau batang kayu dengan lubang memanjang di tengahnya.

Kentungan ini biasa digunakan sebagai alat pendamping ronda (patroli menjaga keamanan kampung) yang berfungsi sebagai alat komunikasi tradisional yang berfungsi untuk menyampaikan informasi.

Di daerah saya memukul kentungan dalam pos ronda merupakan bahasa sandi untuk mengetahui adanya alarm bencana alam, pencurian, dan lain-lain seperti, pada bulan Ramadan, kentungan digunakan untuk membangunkan orang sahur.

Biasanya, jumlah setiap pukulan kentungan memiliki arti berbeda. Misal jika dipukul per satu kali, menandakan ada sebuah informasi (kerja bakti, gotong royong, bersih-bersih kuburan)

Kemudian jika dipukul per dua kali terus menerus, biasanya ada kasus pencurian. Sedangkan saat dipukul tiga kali, ada informasi bencana atau bahaya.

Dalam hal peringatan bencana, tujuannya jelas. Selain berharap seluruh warga kampung selamat dari bahaya juga untuk mengingatkan penghuni kampung agar siaga dan waspada. Jangan larut dan hanyut dalam kesibukan saat alam kurang bersahabat.

Sedangkan saat gempa yang datang secara tiba-tiba tanpa bisa diprediksi. Reaksi dan teriakan spontan warga umumnya meneriakan kalimat lini-lini-lini.

Bagi saya, perilaku teriakan lini (gempa, dalam bahasa sudah pen.adalah upaya untuk mengingatkan sesama warga bahwa saat ini sedang terjadi gempa bumi. "Mari kita siaga dan waspada serta berupaya untuk menyelamatkan diri." Begitu kira-kira pesan yang hendak disampaikan.

Dan jika akan terjadi potensi bencana yang lebih parah, perilaku ini diharapkan sebagai bagian dari peringatan dini agar masyarakat bersiap untuk menyelamatkan diri dan harta bendanya ke lokasi yang lebih aman.

Baca juga: Cara Urang Kanekes Menjaga Kearifan Lokal untuk Kelestarian Lingkungan

Rumah Panggung di Pedesaan / Dokumentasi Pribadi
Rumah Panggung di Pedesaan / Dokumentasi Pribadi

Nah, sekarang bagaimana meminimalkan risiko korban jiwa dan kerugian harta benda akibat gempa?

Harus dipahami bahwa yang paling berbahaya dari gempa bukanlah peristiwa gempanya. Melainkan robohnya bangunan rumah tersebab gempa yang justru bisa mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan harta benda.

Hal itu sebenarnya sudah diantisipasi oleh para orang tua kami sejak dahulu, diantaranya dengan mendirikan rumah panggung adat sunda.

Sayangnya, rumah-rumah panggung di desa saya sekarang sudah mulai jauh berkurang, berganti dengan struktur bangunan batu semen yang lebih permanen.  

Secara umum konstruksi bangunan adat sunda berupa rumah panggung sepertinya sudah dirancang mampu menahan guncangan saat gempa bumi terjadi.

Struktur bangunannya memang menggunakan kayu balok dan bambu dengan sistem ikatan antar komponen bangunannya serta lantai panggung yang tingginya sekira 60 centimeter.

Dengan sistem struktur seperti ini, bila terjadi guncangan gempa, bangunan hanya bergoyang dan tidak mengalami kerusakan.

Lantai panggung setinggi 60 centimeter rupanya dimaksudkan untuk menjaga bangunan tetap utuh mesti jatuh ke permukaan tanah, apabila terjadi tanah longsor.

Bangunan rumah panggung adat sunda seperti ini yang sampai sekarang dipertahankan oleh masyarakat Suku Baduy di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak. Dan terbukti sangat efektif menghadapi goncangan ketika gempa bumi terjadi.

Baca juga: Mereka yang Menjadi Ujung Tombak Pelayanan Kesehatan Hewan di Ujung Kulon

Rumah Sederhana di Pedesaan / Dokumentasi Pribadi
Rumah Sederhana di Pedesaan / Dokumentasi Pribadi

Terus bagaimana dengan konstruksi rumah kita yang sekarang?

Di kampung saya hampir seluruh bangunan rumah permanen bentuknya sederhana dan tidak ada dijumpai bangunan rumah dengan konstruksi gedung bertingkat.

Menurut para ahli bangunan, rumah satu lantai atau rumah tinggal sederhana seperti ini relatif aman bila diguncang gempa. Asalkan struktur bangunannya memiliki bingkai konstruksi beton yang kuat. Sehingga memungkinkan dinding tidak pecah saat terjadi gempa.

Adapun secara teknis, pembangunan rumah tahan gempa sebenarnya sudah dirancang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan terdapat pula panduan khusus bagaimana membangunan rumah sederhana tipe standar satu lantai (tidak bertingkat)

Ya, ini artinya sebenarnya pemerintah sudah membuatkan panduan rumah sederhana tahan gempa. Hanya yang jadi persoalan adalah masalah implementasinya. Belum sepenuhnya panduan tersebut bisa diadopsi dan diterapkan oleh masyarakat.

Padahal, kekokohan bangunan rumah tahan gempa sangat vital diperhatikan mengingat dapat meminimalkan risiko korban jiwa dan kerugian harta benda, jika terjadi gempa.

Sampai disini, kayaknya perlu komitmen lebih besar dari pemerintah dan keseriusan stakeholders terkait dalam upaya mengedukasi masyarakat agar membangun konstruksi rumah sesuai panduan yang dibuat pemerintah.

Dengan demikian penanganan mitigasi bencana gempa bisa dilakukan secara konprehensif dan tidak hanya bertumpu pada mitigasi pasca terjadinya bencana saja.

Istilahnya, melakukan pencegahan adalah upaya yang lebih baik dan lebih bijak. Dan untuk itu tentu harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Apalagi, masyarakat Indonesia akan selalu hidup berdampingan dengan gempa.

Salam Literasi

Ade Setiawan, 26.02.2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun