Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Dilema Netralitas ASN Menjelang Pemilu Serentak 2024

8 November 2023   19:56 Diperbarui: 8 November 2023   19:59 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang pesta demokrasi pemilihan umum -- pemilu -- yang bakal digelar serentak 14 Februari 2024, isu persoalan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) kerap menjadi sorotan tajam berbagai pihak.

Status ASN sebagai abdi negara dan abdi masyarakat tak jarang menjadi tolok ukur penyelenggaraan sebuah ajang pemilihan pemimpin, baik tingkat nasional presiden dan wakil presiden maupun kepala daerah gubernur, bupati dan walikota. Termasuk dalam proses pemilihan wakil rakyat DPD, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Sampai-sampai untuk hajatan 2024 sejak dua tahun lalu sebelum pemilu serentak telah disiapkan surat keputusan bersama -- SKB - oleh pemerintah tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan kepala daerah.

Begitupun setiap akan pemilihan kepala daerah, para kepala daerah pun mengeluarkan aturan yang terkait netralitas ASN.

Lalu seberapa efektif aturan-aturan tersebut bisa dipraktikan di lapangan?

Jawabannya kita semua sudah tahu. Pasalnya pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah ini bukan untuk kali pertama. Sudah berkali-kali. Bahkan rutin lima tahun sekali.

Jadi, sudah langganan netralitas ASN dipersoalkan setiap pesta demokrasi.

Inilah dilemanya. Satu sisi seorang ASN dituntut terbebas dari intervensi politik praktis. Pada sisi lainnya ASN, dengan jabatan tertentu dipilih oleh pejabat politik seperti gubernur, bupati, atau walikota. Sehingga ASN harus loyal  kepada atasannya. Termasuk Ketika diajak berpolitik praktis.

Kalau tidak loyal, bisa saja sewaktu-waktu diganti dan dicopot dari jabatannya. Dan itu sudah biasa -- umum - terjadi. Sehingga dengan demikian menjadi "hil yang mustahal" meminta semua ASN netral dalam proses pemilihan langsung seperti sekarang ini.

Ibaratnya, ada atau tanpa SKB tentang netralitas ASN itu menjadi dilema. Kalau bersikap netral -- sesuai aturan - dianggap tidak mendukung. Dalam praktik politik, tidak mendukung bisa dikatakan lawan. Siap-siap saja disanksi atasan

Jika ikut berpolitik praktis akan berhadapan dengan aturan netralitas dan bersiap menerima sanksi juga. Itu jika ketahuan dan ada yang melaporkan.

Oleh sebab itu, meski sudah diwanti-wanti, namun kasus pelanggaran atas netralitas ASN ini masih saja mengemuka. Dan dimungkinkan -- dipastikan - akan tetap terjadi pada pemilu nanti. Konon katanya Inilah yang disebut ketidaksempurnaan dalam demokrasi.

Lalu bagaimana sih idealnya ASN bersikap menghadapi dilema ini?

Baca juga : Ini 5 Hal dalam UU ASN Baru yang Perlu Diketahui, Berikut Penjelasannya!

Semua Serba Salah

Saya meyakini dalam setiap episode kehidupan pasti ada saat kita mempunyai dilema dalam menentukan pilihan. Ini bukan tentang ASN saja. Siapapun kita. Profesi apapun. Dimanapun kita berada.

Pasti dilema itu ada. "Dimata mereka, tidak ada satupun tindakan kita yang benar. Semua salah!"

Penggalan kalimat itu saya dengar dari salah satu kisah hikmah dari Luqman yang cukup temasyhur saat menunggangi keledai dengan sang anak yang memberikan pelajaran penting bagaimana hidup sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial disaat yang bersamaan.

Kisah Penunggang Keledai

Suatu hari, Luqman berkata "Wahai putraku! Berusahalah melakukan hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi agama dan duniamu. Terus berusahalah hingga kau mencapai puncak kebaikan"

"Jangan pedulikan apapun kata orang! Karena memang tidak akan pernah ada jalan untuk memuaskan dan melegakan semua orang. Tidak akan ada juga cara untuk menyatukan hati dan pikiran mereka. Itulah fakta hidup ditengah orang banyak dengan berbagai kepentingannya masing-masing"

"Mari kita buktikan!" Kata Luqman sambil menarik tali kekang keledainya.

Awalnya, Luqman menunggangi keledai. Sedangkan anaknya disuruh untuk berjalan sambil memegang tali keledai. Benar saja. Tidak lama kemudian orang-orang yang mereka temui berkomentar.

"Anak kecil itu menuntun keledai, sedang orang tuanya duduk nyaman di atas keledai. Sungguh bodoh dan egois orang tua itu, masak anak kecil dibiarkannya berjalan kaki sementara dia menunggangi kuda!" ujar orang-orang tersebut.

Mendengar komentar orang-orang disepanjang jalan tersebut, Luqman berkata kepada anaknya. "Puteraku, coba kau dengar, apa yang mereka katakan tentang kita!" kata Luqman kepada anaknya

Setelah berkata begitu, Luqman meminta anaknya untuk bergantian posisi. Sekarang Luqman yang menuntun keledai, sedangkan sang anak naik di punggung keledai.

Ditengah perjalanan, mereka kembali menjadi pembicaraan orang."Sungguh buruk perangai dan akhlak anak itu, masak orangtua dibiarkannya berjalan menuntun keledai, sementara dia duduk manis di punggung keledai," kata orang-orang itu.

Mendengar komentar orang-orang dijalan, Luqman pun kembali berpesan kepada anaknya, "Anakku, dengarlah sekali lagi, apa saja yang mereka katakan," ujarnya.

Setelah melewati orang-orang tadi, sekarang Luqman meminta anaknya untuk ikut naik ke punggung keledai. Jadi, sekarang keduanya sama-sama duduk diatas punggug keledai yang terlihat kecil dan kurus tersebut.

Di tengah perjalanan, mereka kembali menjadi omongan orang-orang yang mereka temui di sepanjang perjalanan. "Betapa dungu dan egois bapak dan anak itu! kasihan sekali keledai tunggangan mereka yang kecil dan kurus begitu dinaiki berdua," ujar mereka.

Mendengar komentar orang-orang dijalanan, kembali Luqman meminta anaknya untuk mendengar dengan baik komentar orang-orang tersebut."Dengar dan perhatikan dengan seksama, apa yang mereka katakan, anakku!" Kata Luqman lembut kepada anaknya.

Setelah berkata begitu, lantas Luqman mengajak anaknya turun dari punggung keledai. Sekarang keduanya sama-sama berjalan menuntun keledainya.

Ditengah perjalanan, keduanya kembali bertemu dengan orang-orang yang masing-masing ragam ekspresi berbeda demi melihat perilaku Luqman dan anaknya.

"Sungguh dungu bapak dan anak itu! Sama-sama berjalan menuntun keledai, kenapa keledainya tidak dinaikki saja biar perjalanannya tidak melelahkan! Atau setidaknya si anakkah yang dinaikkan, biar bapaknya yang menuntun keledainya," kata mereka dengan ragam pendapat yang berbeda-beda.

"Anakku, kau dengar sendiri bukan, semua perkataan mereka kepada apa yang kita lakukan dari awal! Dimata mereka, tidak ada satupun tindakan kita yang benar. Semua salah!" Kata Luqman kepada anaknya.

Kesimpulan

Dari kisah tersebut kesimpulannya adalah, bahwa dalam hidup ini kita harus punya prinsip, pendirian yang kuat dan harus tegas.

Lakukan saja apa yang bermanfaat bagimu dan agamamu. Jangan terlalu ambil pusing dengan perkataan orang lain.

"Aku berharap kau bisa mengambil sendiri pelajaran berharga dari perjalanan kita dengan keledai ini," kata Luqman mengakhiri kisahnya sambil mengikat keledai pada sebuah tiang.

Bagaimana Kompasianer masih punya dilema?

Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini!

Salam Literasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun