Baru-baru ini saya berkesempatan kembali menyambangi mantan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) korban praktik pasung yang pernah dibebaskan, bahkan akhirnya bisa disembuhkan.
Ceritanya, dulu sebelas tahun lalu pada tahun 2012, Sang mantan -- sebut saja Namanya Pulan - pernah dipasung selama tiga tahun (2019-2012) sebelum akhirnya dibebaskan relawan anti pasung dan di rawat di Rumas Sakit Jiwa (RSJ) hingga sembuh.
Menurut catatan yang ada pada saya, saat itu 2012 Pulan dirawat di rumah sakit jiwa (RSJ) Grogol, Jakarta selama 2 bulan sampai pulih. Bahkan pada tahun 2014 Pulan juga sudah menikah dan kemudian memiliki putra.
Namun sayangnya, kesembuhan Pulan hanya bertahan lima tahun saja. Saat ini kondisinya kembali seperti semula. Alias di pasung kembali. Itu kejadiannya sejak 2017 sampai dengan sekarang sudah enam tahun.
Menurut cerita Sang keluarga. Pulan terpaksa di pasung kembali karena sejak 2017 awal perilakunya sudah tidak bisa dikendalikan. Sehingga dianggap dapat membahayakan dan mengganggu ketentraman warga setempat. Sementara untuk mendapatkan pengobatan lebih lanjut terkendala kemampuan ekonomi.
Menurut keluarga, selama periode 2015-2017 Pulan sudah beberapa kali dibawa berobat ke Puskesmas terdekat bahkan sampai pernah dirawat kembali di RSJ.
Inilah yang menjadi alasan kuat untuk dirawat sendiri di rumah dan dipasung. Keluarga akhirnya menyerah lantaran usaha yang menurut mereka telah maksimal dilakukan, tapi tidak ada perbaikan dan semakin parah.
Melihat kondisi seperti ini saya menjadi miris. Â Pulan -yang saat ini berusia sekira 40 tahun, warga dekat sekampung saya, saat ini terpaksa harus mendekam lagi di saung sempit yang terletak di belakang rumah, dengan posisi kaki terkungkung balok kayu.
Seperti kebanyakan korban pemasungan lainnya. Pulan terpaksa harus makan, tidur, dan buang hajat di saung tersebut tanpa alas selama bertahun-tahun. Saung yang hanya beratap plastik terpal tersebut bahkan tidak mampu memberikan perlindungan terhadap cuaca malan atau rasa dingin ketika saat hujan.
Melihat kondisinya saat ini, Pulan mungkin termasuk salah satu korban pasung yang belum beruntung.
Usaha kami sebelas tahun lalu belum sepenuhnya membuahkan hasil. Tentu saya sangat prihatin melihat kondisi sekarang karena biasa jadi Pulan hanyalah satu dari puluhan -- ratusan -- bahkan ribuan korban yang dipasung karena mengidap gangguan kejiwaan.
Saya melihat, masyarakat sekitar seolah biasa saja, bahwa mungkin pasung adalah praktik yang lumrah dilakukan terhadap orang dengan gangguan kejiwaaan demi keselamatan warga sekitar.
Baca juga :Â Jangan Lupakan Kesehatan JiwaÂ
UU Kesehatan 2023 dan Kesehatan Jiwa
Undang-undang Kesehatan No. 17 tahun 2023 sebenarnya sudah menaungi masalah kesehatan jiwa di dalamnya. UU baru ini mengatur seluruh hal yang berkaitan dengan kesehatan, seperti yang termaktub pada pasal 454 bahwa pada saat UU ini mulai berlaku maka akan mencabut 11 UU yang lama.
"Termasuk salah satunya adalah UU tentang Kesehatan Jiwa No. 18 tahun 2014, yang dihapuskan.
Namun demikian, secara spesifik pasal tentang kesehatan jiwa di UU Kesehatan No. 17 tahun 2023 sudah termaktub dalam pasal 74 hingga pasal 85 bab V Upaya Kesehatan bagian 11 halaman 39-43, ada beberapa pasal.
Pasal 74-75: upaya kesehatan jiwa, termasuk pencegahan bunuh diri. Pasal 76: hak atas pelayanan, informasi dan edukasi terkait kesehatan jiwa, larangan pemasungan, dan persamaan hak ODGJ. Pasal 77: tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah terkait kesehatan jiwa.
Berikutnya Pasal 78-80: upaya dan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa di tingkat pelayanan kesehatan dan masyarakat. Pasal 81-83: ODGJ berkenaan dengan masalah hukum. Pasal 84: pekerjaan atau jabatan tertentu yang perlu pemeriksaan kesehatan jiwa. Pasal 85: Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selain itu ada bab V bagian 11 yang spesifik tentang kesehatan jiwa, masalah kesehatan jiwa juga terdapat pada beberapa pasal yang lain yaitu pasal 434 tentang pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 bagi pelaku atau orang yang menyuruh melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan penderita gangguan jiwa.
Lalu, setelah ada UU Kesehatan tahun 2023 tersebut, akankah praktik pasung yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dapat diakhiri ?
Pada UU Kesehatan 2023 sebetulnya lebih detail memuat ancaman kurungan atau denda bagi orang yang melakukan pemasungan. Namun, kondisi di lapangan seperti diungkapkan oleh keluarga ODGJ bahwa pasung merupakan alternatif terakhir dari keluarga setelah berbagai upaya pengobatan dilakukan.
Maka, pemerintah selaku regulator, pemberi layanan dan pembiayaan kesehatan yang juga termaktub dalam UU yang baru dapat menemukan jalan keluar yang terbaik.
Hal itu dalam upaya penanganan kesehatan jiwa, dengan melibatkan berbagai pihak. Termasuk masyarakat dan keluarga dengan memperhatikan sosial budaya yang ada.
Salam sehat jiwa !
Tulisan ini saya buat untuk menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober.
Salam, Kompasianer Ade Setiawan Junior
Pasirtangkil, 4 Oktober 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H