Mohon tunggu...
Ade Rifki
Ade Rifki Mohon Tunggu... -

i am just another anomaly,\r\nComplicated, Baba, Right Watch, love nasiuduk, love avocado, love green tea blended, love kopyor, love sawo-fruit, clasmild, iPod, pro lite, >80km/h,18th Sewer,170cm, 70 Kg

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gravitasi dan Pedal hati

17 Juli 2014   05:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:07 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rupanya sudah menjadi budaya bangsa bilamana kita sering mengelompokan diri hanya sebatas pada 'gravitasi diri'. Dialektika praktispun akhirnya kedapatan jadi objek yang sesuai untuk mengekspresikan gravitasi tersebut. Maksudnya kadang baik, namun kerap kali fatal karena dapat menciptakan conflict of interest yang sama sekali tidak ada penting. Bisa jadi kita perang saudara hanya karena anekdot sticker mobil yang cukup fenomenal macam Real Men Use Three Pedals Vs Rich Men Use Two Pedals.

Fenomena salah menyalahkan dan benar membenarkan adalah hanya sebagian kecil dari latar belakang keanehan yang kita miliki akibat dari gravitasi diri tersebut. Mereka manusia-manusia kerap kali keras menyuarakan ekspresi bathinnya namu terkadang  bisa saja kalap melupakan perasaan orang lain.

Momentum pilpres 2014 ini adalah bahan pembelajaran yang sepertinya menjadi endemik hal yang saya maksudkan. Saat semua orang mendadak menjadi rajin mengekspresikan kreasi dari ekspresi lantunan politiknya. Orang-orang menjadi rajin menghujat, mencela, denial, membanding-bandingkan, sarkas, beringas, bigos, tukang fitnah. Semuanya seperti keluar dari bisul yang selama ini mengendap dan lalu kemudian keluarlah karakter masing-masing manusianya.  Edannya hal ini dikatakan sebagai pembelajaran politik. Perihal cerdas atau tidak urusan nanti. Perihal berdampak baik atau buruk ya urusan nanti juga. Ya, saya menyebut mereka ini dengan julukan Momental Poltician. Karena memang mereka cuma musiman saja melakukan hal-hal seperti ini. Sama saja seperti tukang gorengan dan tukang lontong yang berjejer berdagang kala menjelang buka puasa.

Ya, mereka hanya ribut-ribut dan kasak-kusuk saat momen politik yang harus mereka ekspresikan, ada dan patut diperjuangkan. Masalah mengenali platform tetap nomor kesekian. Kebanyakan dari mereka ribet dan kusut saat saya tanyakan kenapa baru sekarang kalian ribut-ribut teriak sana sini tentang politik.

Bukan tanpa sebab, mereka yang selalu membawa jargon nasionalis dan patriot selalu kelagapan saat datang pertanyaan bodoh saya yang menanyakan kemana mereka saat TKI mau dipancung, atau dimana saat budaya bangsa diklaim? Mereka menjawab, ada dan kami hadir memberikan protes.

"Nenek-nenek merem mau nyeberang juga bisa protes bung!!" Pertanyaan saya dimana kalian berada saat angklung hanya teronggok di aula sekolah, atau barong yang tergantikan oleh break dance atau 'saweran'? Apa kalian sesibuk ini siang malam menyerang dan mengcounter pihak yang mengklaim?

Atau bagaimana anda menyikapi lalu-lintas saat pukul 02.00 WIB dini hari? Saya masih ingat istilah 'lampu taman' saat sebagian besar kebiasaan masyarakat kita melanggar lampu lalu lintas karena dalih jalanan kosong. Atau bagaimana anda bicara kepada pedestrian di tengah trotoar sambil anda menunggang sepeda motor anda? Saya korelasikan hal ini sebagai bentuk aplikasi patriotisme ya! Dan mereka pun akhirnya bungkam, namun entah kenapa sesaat kemudian berisik lagi dan tetap tidak tahu dan menaydari bahwa wajahnya sudah menjadi tembok.

Ya, saya punya pendapat bahwa perilaku korup sudah ada dari hal yang paling kecil sekalipun. Bahkan dengan menganalogikan dengan maket berlalu-lintas di jalan. Dalih supaya bisa cepat sampai rumah dan bermain dengan anak, maka sah dan halal hukumnya mengambil jalan pintas tersebut. Sama saja toh dengan perilaku koruptor yang menjejali kekayaan hasil korupsinya untuk kebahagian keluarga. Aneh kan kalian? Bisa-bisanya teriak-teriak patriotisme dan nasionalis. Saat anda berperilaku laiknya tikus-tikus. Bedanya anda-anda tetap saja sial jadi miskin. Miskin harta miskin hati.

Berlebihankah ketika kita berpeluh meminta kalian yang memekik agama sebagai landasan berperang dengan rival kalian untuk lebih banyak diam dibandingkan berpendapat? Padahal kalian tidak hingar bingar saat seluruh rukun Islam dinodai. Apakah kalian sesibuk membela kepentingan atau memberla jagoan kandidat presiden kalian saat Qur'an dan Haji dikorupsi baik pengadaan maupun penanganannya? Atau kah kalian jadi repot saat Masjid sebagai sarana salah satu pemenuhan rukun Islam di hancurkan? Ataukah kalian bisa sedikit saja menghormati salah satu rukun islam yaitu Puasa saat bulan suci Ramadhan dengan tidak melakukan Fitnah, gibah, dan nah dan bah bah lainnya? Sepertinya kalian buta dengan kesaksian tentang Allah sebagai Tuhanmu dan Muhammad sebagai Rasulmu saat kalian repot menerjemahkan mereka dalam dialektika duniawi yang picik dan picisan! Maka lengkap sudah rukun Islam pun kalian injak-injak dengan beringas.

Bahkan sampai akhirnya pemilihan sudah dilewati, masih saja ada oknum-oknum manusia yang masih kerepotan mencari-cari celah mengagungkan gravitasi dirinya. Membuka isu baru berupa berita panas yang berbicara tentang hasil hitung cepat. Poros sana mengklaim menang, poros sini mengklaim menang. Penuh kebencian sekali. Tidak jujur pada hatinya sendiri, sungguh orang-orang yang rugi. Wajahnya penuh dengan ketidak jujuran, pasi tidak berhasrat untuk menatap dan kosong. Babak berikutnya, adalah masuknya Gazza kedalam keributan dan politisasi makna. Bersiap untuk mengumpulkan tenaga kalian berceloteh secara horizontal dengan kawan-kawan kalian seperjuangan pada saat kemarin, hari ini, dan esok hari. Kali ini kalian akan sibuk jadi komoditas politik lain, komoditas konflik dari konflik lain.

Ya, saya maklumi kalian. Sama seperti saya memaklumi kalian yang repot membicarakan pedal mobil kalian dan menjadikan susunan pedal kalian adalah yang paling bagus. Padahal substansinya adalah apa-apa tujuan anda menginjak pedal kalian. Kalian terlalu berat dengan gravitasi diri kalian masing-masing. Kalian Egois! Patutnya kalian merampungkan dulu ikrar kalian pada Tuhan saat masih sekira 112 hari keberadaan kalian didalam rahim. Bersihkan saja diri kalian masing-masing terlebih dulu. Jangan sok suci urus ibadah orang lain saat kalian masih maklum melewatkan ibadahmu. Jangan sok nasionalis dan paling patriot saat kalian masih berkompromi untuk membohongi diri kalian setiap hari. Perbaiki saja hatimu lebih dulu, lalu keluargamu dan anak-anakmu. Bangsamu kelak juga akan meyakinimu untuk membawa perubahan baik melalui arahanmu. Dan akhirnya Dunia menunggu untuk kau tuntun dengan segala macam kebijakanmu.

“Ketika aku muda, aku ingin mengubah seluruh dunia. Lalu aku sadari, betapa sulit mengubah seluruh dunia ini, lalu aku putuskan untuk mengubah negaraku saja. Ketika aku sadari bahwa aku tidak bisa mengubah negaraku, aku mulai berusaha mengubah kotaku. Ketika aku semakin tua, aku sadari tidak mudah mengubah kotaku. Maka aku mulai mengubah keluargaku. Kini aku semakin renta, aku pun tak bisa mengubah keluargaku. Aku sadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri. Tiba-tiba aku tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti bisa mengubah keluargaku dan kotaku. Pada akhirnya aku akan mengubah negaraku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini.” Unknown Monk (around 1100 A.D.)

Sama saja kan? Substansi membangun bangsa kalian lupakan. Kalian terlalu khidmat terjebak dalam gravitasi keegoisan kalian. Kalian lupa substansi kalian sebagai manusia adalah merupakan refleksi hati nurani yang disinergikan dengan akal sehat sehingga kalian menjadi manusia seutuhnya.

(aR)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun