Menikah. A simple word, yet complicated. Kata yang sering muncul dalam percakapan keluarga dan teman, seperti rutinitas. Tapi ketika waktunya benar-benar datang, semuanya jadi terasa lebih… absurd. Pernikahan, pada intinya, adalah sebuah kontrak sosial. Saya, seorang pria biasa yang hidup dalam dunia pragmatis, akan segera menikah dengan Shindi, seorang wanita yang bekerja sebagai tenaga sanitasi lingkungan. Dia membersihkan dunia, sementara saya membersihkan laptop. A perfect match, isn’t it?
Kalau orang-orang seperti Nietzsche bilang hidup adalah penderitaan, mungkin dia tidak pernah harus berurusan dengan proses lamaran pernikahan, undangan, dan terutama, menghadapi birokrasi di Disdukcapil dan KUA. Tapi, saya bukan Nietzsche, saya cuma seseorang yang mencoba tidak terlihat terlalu bingung saat merencanakan masa depan dengan Shindi.
Saya dan Shindi? We’re quite the contrast. Shindi, dengan segala kesibukan di Puskesmas dan kuliahnya, selalu tampak tenang menghadapi hal-hal yang menurut saya luar biasa repot. Misalnya, dia bisa berbicara tentang bagaimana dia mengawasi air bersih, pengelolaan sampah, dan sanitasi lingkungan dengan semangat yang saya sendiri kadang tidak bisa pahami. Sementara itu, saya, dengan segala keluhan hidup sehari-hari, merasa sudah cukup puas jika berhasil memasak mie instan tanpa gagal.
Sartre mungkin benar bahwa “existence precedes essence.” Di dunia Shindi, “existensi”-nya sebagai petugas sanitasi lingkungan di Puskesmas membuat saya berpikir, apakah essence saya sebagai calon suaminya cukup? Saya, yang hidup dalam kenyamanan Wi-Fi cepat dan makanan delivery, selalu berpikir tentang bagaimana dia mampu menjalani hidup jauh di Tomo tanpa mengeluh sedikit pun.
Tapi di sisi lain, itulah kenapa saya jatuh cinta padanya. Di balik kerasnya kehidupan, Shindi punya pandangan hidup yang begitu sederhana namun dalam. Baginya, pernikahan bukanlah soal mewah atau besar-besaran. "Yang penting, kita happy," katanya. “Simple.” Tapi dalam kata-kata "simple" itu, tersimpan kebijaksanaan yang membuat saya merasa seperti filsuf kelas bawah di hadapannya.
Shindi punya filosofi hidup yang sederhana, tapi benar-benar bikin saya mikir. Dia bilang, "Nikah itu kayak sanitasi lingkungan. Nggak ada yang nyadar kalau semuanya beres, tapi kalau ada yang salah, semua orang ribut."
Itu hal yang benar-benar bikin saya ketawa pertama kali dia ngomong. But then, saya mulai berpikir. Benar juga, ya. Menikah mungkin memang seperti sistem sanitasi. Kita nggak bisa melihat semua masalahnya di permukaan. Butuh perhatian konstan, effort yang berkelanjutan, dan jika kita tidak merawatnya, seluruh sistem bisa collapse. Hegel pasti setuju bahwa pernikahan adalah dialektika yang terus-menerus: tesis (rencana awal menikah bahagia), antitesis (realitas pernikahan yang nggak seindah impian), dan akhirnya sintesis (kompromi yang nggak pernah ada habisnya).
Shindi memandang dunia pernikahan seperti dia memandang pekerjaannya di sanitasi lingkungan. Ada struktur, ada keseimbangan, dan semuanya butuh perhatian konstan. Dia bilang, “Nggak perlu semuanya sempurna, tapi yang penting kita tahu cara ngatur semuanya biar nggak kacau.”
Sartre pernah bilang, "Hell is other people." Saya rasa dia nggak pernah coba urus dokumen dari Disdukcapil, desa atau kelurhan sampai ke KUA. Begitu kami memutuskan untuk menikah, dimulailah drama yang sebenarnya. Bukan cuma urusan keluarga, tapi juga birokrasi yang membuat saya merasa seperti sedang menjalani salah satu ujian eksistensial ala Kafka.
Shindi, dengan ketenangannya, bisa tertawa saat kami menghabiskan berjam-jam menunggu di kantor kelurahan hanya untuk mendapatkan satu tanda tangan. "Ini baru pemanasan," katanya sambil tersenyum. Saya di sebelahnya sudah hampir gila karena merasa birokrasi ini tidak ada habisnya. Nietzsche mungkin pernah bilang bahwa penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup, tapi saya rasa dia belum pernah berurusan dengan sistem administrasi pernikahan.
Shindi tenang. Saya panik. Dia bilang, “Kalau kamu bisa lewatin ini, menikah akan jadi hal kecil.” Saya tidak tahu apakah itu kalimat motivasi atau ancaman halus, tapi yang jelas, saya mulai merasa hidup ini memang absurd—dan menikah adalah salah satu absurditas terbesar yang pernah saya hadapi.
Satu hal yang perlu kalian tahu tentang Shindi adalah bahwa dia sangat sederhana. Bagi dia, makan tempe goreng di sore hari setelah seharian bekerja di Puskesmas sudah merupakan momen bahagia. "Cuma tempe, kok," katanya sambil tersenyum. But then again, isn’t that what Camus meant when he said we must imagine Sisyphus happy?
Menikah bagi Shindi adalah soal bersyukur atas hal-hal kecil. Dan saya mulai menyadari, mungkin benar apa yang dikatakan para filsuf: kebahagiaan bukan soal pencapaian besar, tapi bagaimana kita memaknai hal-hal sederhana. Jika tempe goreng bisa membuat Shindi bahagia, maka seharusnya saya juga bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil seperti... mungkin, tidak rebutan remote TV di malam hari?
Pernikahan kami jelas bukan cerita dongeng. Shindi harus bekerja di Puskesmas Tomo yang jauh dari rumah, dan itu sering kali membuat saya merasa khawatir. Saya sering bertanya, bagaimana nanti ketika kami sudah menikah? Akan seperti apa hidup kami yang dijalani?
Di sini, saya kembali teringat kata-kata Kierkegaard tentang "leap of faith." Menikah adalah sebuah lompatan keyakinan. Saya tidak tahu seperti apa masa depan kami nanti, tapi saya percaya bahwa jika Shindi bisa mengatasi kesulitan pekerjaan di Tomo atau di perkuliahannya, dia pasti bisa mengatasi segala tantangan dalam pernikahan kami.
Shindi mungkin tidak membaca filsafat, tapi dia menjalankannya setiap hari. Dalam setiap tawa, dalam setiap keluhan sederhana tentang pekerjaannya, saya melihat refleksi dari filsafat hidup. Menikah dengannya bukan hanya soal cinta, tapi juga soal bagaimana kami bisa mengatasi absurditas hidup bersama. Menikah itu seperti pekerjaan sanitasi lingkungan: selalu ada masalah yang harus dihadapi, tapi jika kita bisa menjaganya tetap bersih, segalanya akan baik-baik saja.
Jika Sartre bilang bahwa kebebasan itu penting dalam hubungan manusia, maka Shindi adalah bukti hidup dari itu. Dia tidak pernah mencoba mengubah saya. Dia membiarkan saya menjadi diri sendiri, dengan segala kekurangan saya. Mungkin itulah yang dimaksud Sartre dengan “kebebasan dalam keterikatan.”
Kierkegaard juga berbicara tentang lompatan iman dalam hidup. Menikah dengan Shindi, bagi saya, adalah lompatan iman terbesar yang pernah saya ambil. Saya tidak tahu akan jadi seperti apa, tapi saya tahu, selama Shindi ada di sebelah saya dengan senyum sederhananya, saya akan baik-baik saja.
Menikah itu seperti hidup dalam novel absurditas. Ada momen di mana segalanya terasa aneh, membingungkan, bahkan lucu. Namun, di tengah segala absurditas itu, ada kebahagiaan yang muncul. Menikah dengan Shindi mungkin akan penuh dengan tantangan—jarak, pekerjaan, rutinitas—tapi saya percaya, dengan filosofi hidupnya yang sederhana dan kuat, kami akan baik-baik saja.
Lagipula, dalam hidup ini, siapa yang tidak sedikit gila?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H