Mohon tunggu...
Ade Ramdan Gumelar
Ade Ramdan Gumelar Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Epidemiolog Kesehatan

Cogitationis poenam nemo patitur

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pernikahan: Sebuah Prespektif Trigakomedi Filosofis

2 Oktober 2024   06:21 Diperbarui: 2 Oktober 2024   06:24 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Satu hal yang perlu kalian tahu tentang Shindi adalah bahwa dia sangat sederhana. Bagi dia, makan tempe goreng di sore hari setelah seharian bekerja di Puskesmas sudah merupakan momen bahagia. "Cuma tempe, kok," katanya sambil tersenyum. But then again, isn’t that what Camus meant when he said we must imagine Sisyphus happy?

Menikah bagi Shindi adalah soal bersyukur atas hal-hal kecil. Dan saya mulai menyadari, mungkin benar apa yang dikatakan para filsuf: kebahagiaan bukan soal pencapaian besar, tapi bagaimana kita memaknai hal-hal sederhana. Jika tempe goreng bisa membuat Shindi bahagia, maka seharusnya saya juga bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil seperti... mungkin, tidak rebutan remote TV di malam hari?

Pernikahan kami jelas bukan cerita dongeng. Shindi harus bekerja di Puskesmas Tomo yang jauh dari rumah, dan itu sering kali membuat saya merasa khawatir. Saya sering bertanya, bagaimana nanti ketika kami sudah menikah? Akan seperti apa hidup kami yang dijalani?

Di sini, saya kembali teringat kata-kata Kierkegaard tentang "leap of faith." Menikah adalah sebuah lompatan keyakinan. Saya tidak tahu seperti apa masa depan kami nanti, tapi saya percaya bahwa jika Shindi bisa mengatasi kesulitan pekerjaan di Tomo atau di perkuliahannya, dia pasti bisa mengatasi segala tantangan dalam pernikahan kami.

Shindi mungkin tidak membaca filsafat, tapi dia menjalankannya setiap hari. Dalam setiap tawa, dalam setiap keluhan sederhana tentang pekerjaannya, saya melihat refleksi dari filsafat hidup. Menikah dengannya bukan hanya soal cinta, tapi juga soal bagaimana kami bisa mengatasi absurditas hidup bersama. Menikah itu seperti pekerjaan sanitasi lingkungan: selalu ada masalah yang harus dihadapi, tapi jika kita bisa menjaganya tetap bersih, segalanya akan baik-baik saja.

Jika Sartre bilang bahwa kebebasan itu penting dalam hubungan manusia, maka Shindi adalah bukti hidup dari itu. Dia tidak pernah mencoba mengubah saya. Dia membiarkan saya menjadi diri sendiri, dengan segala kekurangan saya. Mungkin itulah yang dimaksud Sartre dengan “kebebasan dalam keterikatan.”

Kierkegaard juga berbicara tentang lompatan iman dalam hidup. Menikah dengan Shindi, bagi saya, adalah lompatan iman terbesar yang pernah saya ambil. Saya tidak tahu akan jadi seperti apa, tapi saya tahu, selama Shindi ada di sebelah saya dengan senyum sederhananya, saya akan baik-baik saja.

Menikah itu seperti hidup dalam novel absurditas. Ada momen di mana segalanya terasa aneh, membingungkan, bahkan lucu. Namun, di tengah segala absurditas itu, ada kebahagiaan yang muncul. Menikah dengan Shindi mungkin akan penuh dengan tantangan—jarak, pekerjaan, rutinitas—tapi saya percaya, dengan filosofi hidupnya yang sederhana dan kuat, kami akan baik-baik saja.

Lagipula, dalam hidup ini, siapa yang tidak sedikit gila?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun